BAB 6

2183 Words
Saat kelopak mata Tanaka terlihat bergerak, aku langsung heboh memanggil suster yang kebetulan baru saja keluar setelah memeriksa tabung infus. “Sepertinya pasien akan sadar, Sus. Matanya bergerak!” Tidak hanya sampai di situ, aku bahkan menarik lengan suster dan menyeretnya masuk mendekati brankar Tanaka. “Lihat-lihat, kelopak matanya berkedip, kan?!” “Pasien, apa Anda mendengar suara saya?” Suster langsung menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Tanaka. “Apa Anda mendengar suara saya?” ulangnya. Perlahan mata Tanaka mulai membuka, walau pun dilihat agak kesusahan karena efek dari obat bius masih belum hilang. “Pasien, jawab pertanyaan saya. Apakah Anda mendengar suara saya?” “Y ... ya,” sahut Tanaka serak. Beberapa kali kepalanya bergerak ke sisi kiri dan kanan kemudian berkedip lagi. “Apakah ... saya ... baik-baik ... saja?” “Operasi Anda sudah selesai dan Anda sudah melewati saat terburuk,” jawab Suster ramah. “Kami akan langsung memindahkan Anda kembali ke ruang perawatan.” Samar kulihat sudut bibir Tanaka terangkat, sebelum kemudian Tanaka kembali memejamkan matanya lagi. Aku tentu saja langsung panik melihat itu, tapi suster langsung bilang tidak apa-apa karena efek dari obat bius memang membuat mengantuk. “Dokter akan memberitahu detailnya saat pasien dipindahkan kembali ke ruang rawat.” “Baik, Sus. Terima kasih banyak,” ucapku dan mengangguk sekali. “Sama-sama. Saya permisi.” Suster balas mengangguk setelah itu berlalu. *** Setelah Tanaka dipindah ke ruang perawatan, Mbak Zha datang bersama satu buah kotak kue berukuran sedang dan sebuket bunga. Alisku mengerut bingung, tapi terjawab sudah ketika bunga diletakkan di sebelah Tanaka dan kotak kue diletakkan di atas meja, ditambah penjelasan yang dengan sukarela Mbak Zha katakan. “Naka menyukai bunga ini karena ini merupakan bunga kesukaan almarhum ibunya. Sedikit terkesan peminim, tapi itu memang kenyataannya. Jika saja kamu tau, hampir semua parfum Tanaka beraroma serupa bunga ini.” Oh, ya? Aku kurang memperhatikan sampai ke sana kalau hal yang menyangkut Tanaka. di pikiranku hanya ada bagaimana cara mengerjakan semua pekerjaan dengan baik dan mendapatkan gaji plus bonus yang besar. “Apa yang Dokter Sintia katakan, Kimi?” “Ah, itu ... katanya setelah Naka sadar, empat jam kemudian baru boleh minum. Dan lagi, suster akan kembali untuk memeriksa tekanan darahnya.” Mbak Zha mengangguk sekali. “Kamu sudah makan?” Yaampun saking aku sibuk dan khawatirnya dengan operasi Tanaka, aku sampai melupakan hal sepenting ini. “Belum, Mbak,” jawabku nyengir. “Silahkan isi perutmu dulu. Dari sini saya yang mengambil alih.” “Oke, Mbak. Kalau gitu saya ke kantin dulu.” Aku pergi hanya dengan membawa ponsel, untuk uang sudah tersedia di dalam casingnya. Jam-jam segini rumah sakit tidak seramai pagi dan siang. Dokter atau pun perawat sudah terlihat santai karena tidak banyak lagi pasien yang harus diperiksa. Di kantin aku hanya membeli roti dan air mineral. Sisanya aku kembali untuk mengisi perut. Bukan ke ruang rawat Tanaka, lebih tepatnya ke rooftop. Saat sibuk mengunyah, aku dikagetkan dengan seruan seseorang, “Sudah ada yang menempati, ternyata. Padahal ini tempat rahasia dan tidak ada yang tahu.” Untuk sesaat aku terpesona dan lupa mengunyah roti di mulutku. Pria yang berdiri tepat di samping kananku ini memiliki postur yang tinggi, walau pun masih tinggi Tanaka. Tapi, yang membuatku tertegun adalah, matanya terlihat sipit dari balik kacamata, hidungnya mancung sekali, kulitnya putih bersih dan bibirnya terlihat merah alami. Seketika aku langsung teringat arti surah Ar-Rahman ayat 13, ‘maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?’ Benar-benar tipe pria yang membuat mata dan hati adem saat pertama kali melihatnya. “Halo, boleh saya bergabung?” Aku berdehem dan menelan paksa semua roti yang ada di mulutku. “Ha-halo. Silahkan, tempat ini bukan milik saya, kok.” “Tentu saja,” jawabnya. “Saya tidak menyangka kamu mengetahui tempat ini juga. Tadinya saya kira hanya saya sendiri yang jadi pengunjung tetap tempat ini. Tapi, ternyata saya salah.” Pria itu mendekat, aku refleks bergeser memberi cela untuknya duduk. “Sendirian saja?” “Tadinya sendiri, tapi sekarang tidak lagi.” Aku meletakkan botol air mineral yang memang dari awal kupegang. “Mau roti?” ‘Tidak, terima kasih.” Tangannya merogoh kantong celana dan tidak lama satu kotak rokok keluar dari sana. “Mau rokok?” Tawaran terlucu yang pernah kudapatkan dari orang asing. “Apa dari tampang saya menggambarkan orang yang perokok?” “Hanya berbasa-basi saja.” Berikutnya sebuah pemantik keluar dari saku baju dan tanpa meminta izin lebih dulu, pria itu menghidupkan rokoknya dan mulai menyesap dengan santai. “Pasien di sini atau ada keluarga yang sakit?” “Salah dua-duanya. Majikan saya lah yang sakit.” “Pegawai yang baik.” “Salah juga. Sebenarnya pekerjaan dan sifat saya tidak baik, tapi majikan saya tetap mempertahankan saya.” “Hebat.” “Bukan hal yang membanggakan karena sejujurnya saya tidak suka bekerja padanya.” “Baiklah, untuk orang yang baru mengenal, kita atau lebih tepatnya kamu terlalu terbuka pada saya. Nama pun belum saling tahu tapi pembicaraan kita sudah banyak sekali.” “Kalau begitu, kenapa tidak memperbaikinya saja? Dimulai dari berkenalan.” Agresif banget jadi cewek. Dasar aku! “Kimia Avantika.” Batang rokok dipindahnya ke tangan sebelah kiri, kemudian dia menyambut uluran tanganku. “Unik sekali. Aku Yudistira.” Nama yang sangat cocok. Terdengar gagah dan memang kenyataannya benar-benar gagah di mataku. “Spesialis apa di sini?” “Pediatri. Dari mana kamu tahu kalau saya dokter?” Aku mengangkat bahu. “Dari pakaian dan juga ... aura.” “Saya hampir melupakan tentang pakaian, tapi, aura? Itu terdengar lucu sekali.” Dia tersenyum geli kemudian mematikan rokoknya. “Kali ini giliran saya yang menebak. Kamu pasti anak kuliahan semester awal.” “Salah. Saya semester enam. Oh iya, perlukah saya memanggil dengan embel-embel ‘pak’? Menilik dari penampilan, umur Anda sepertinya berada di awal tiga puluhan.” “Tebakan yang tepat. Panggil nama saja supaya saya tidak merasa terlalu tua untuk mengobrol denganmu.” “Kalau begitu, bolehkah saya juga meminta untuk tidak berbicara formal? Rasanya kaku sekali.” “Silahkan.” Aku tersenyum senang, tentu saja! Secara ada om-om hot di depan mata. Karirnya bagus dan coba lihat, di jadi manis kedua tangannya tidak ada cincin sama sekali. Suatu keberuntungan yang sangat jarang ditemui. “Kenapa merokok sedangkan kamu adalah dokter?” “Memang ada yang mengatakan kalau dokter tidak boleh merokok, Kimi?” Ah, sialan! Namaku terdengar seksi sekali saat dia mengucapkannya. “Tidak ada, sih. Hanya saja terlihat ganjil. Terlebih kamu dokter anak.” “Aku tidak merokok di depan pasien, Kimi. Aku hanya merokok di tempat yang menurutku memang pantas untuk merokok.” “Lalu, di si–” Kata-kataku terpotong saat terdengar bunyi ponsel. Nama yang tertera di layar adalah nama Mbak Zha. Aku langsung menghela napas berat dan mau tidak mau mengakhiri pembicaraan menyenangkan ini. “Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini.” “Majikanmu?” tanya Yudistira. “Apa setelah ini kita bisa bertemu lagi?” Hei, tawaran yang menyenangkan sekali. “Tentu saja. Aku masih satu sampai dua hari lagi di sini. Kita bisa bertemu di tempat ini atau di mana saja.” “Syukurlah.” Kukumpulkan semua bungkus roti dan juga botol air mineral yang sudah kosong, kemudian aku bangkit. “Aku peergi dulu. Senang mengenalmu, ... Yudistira.” Yudistira hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang terlihan sangat menawan di mataku. Astaga, kalau saja aku lebih berani dan lebih barbar, maka aku akan memberikan sebuah kecupan di pipi Yudistira sebagai tanda perkenalan. Tapi ... mana mungkin itu terjadi! Kalau sampai terjadi, berarti aku sudah gila! “Sampai bertemu lagi.” Aku melambaikan tangan dan benar-benar pergi setelah puas-puas melihat wajahnya. Bukan bermaksud ganjen, tapi pria matang memang lebih menggoda dari segala-galanya. *** “Dari mana kamu?” “Dari kantin.” Tentu saja aku nggak mau jujur. Emang Tanaka siapa sampai aku ngejelasin yang sebenarnya sama dia? “Mbak Zha ke mana?” “Sudah pulang. Sini, bantu aku geser tiang infus. Aku mau ke toilet.” Aku menurut tanpa protes, bahkan senyumku masih belum pudar sampai sekarang. “Sudah berapa lama kamu sadar, Om? Tidak boleh minum dulu sebelum empat jam.” “Aku sudah tau.” Wajah Tanaka masih terlihat pucat, bahkan aku menangkap beberapa kali bibirnya mengeluarkan ringisan saat bangkit, tapi berusaha ditahan. “Cepat bantu aku!” Bibirku mencebik pelan. Emang cuma Tanaka yang seperti ini, minta tolong sama sekali tidak ada lembut-lembutnya. Yang kupingku selalu tangkap hanyalah nada bossy-nya. Sangat jauh berbeda dengan seseorang yang baru kukenal tadi. Yudistira ... nama yang terngiang-ngiang di kepala sekarang. “Aku bantu sampai depan toilet aja, ya, Om. sisany–” “Tunggu dulu.” Langkah Tanaka terhenti, dia membalikkan badan sepenuhnya menghadapku. “Mia lebih mendekat.” “Ogah!” “Cepat, Mia! Aku mau memeriksa sesuatu.” “Meriksa apa, sih?!” Kesal aku maju selangkah, bahkan selangkah lagi. “Puas?” Tanaka mengendus-endus, bahkan sampai ke area leherku. “Kamu bau rokok!” “Om ngapain?!” Aku mendorongnya agar menjauh. “Jangan lancang, ya!” “Bilang, Mia, kamu melakukan apa sampai ada bau rokok di tubuhmu?!” “Katanya mau ke toilet, kan?” Aku mengalihkan pembicaraan. “Cepat. Kamu baru selesai operasi, Om. Nggak boleh banyak gerak.” Mata Tanaka menyorot penuh permusuhan. Selanjutnya, tidak ada kata-kata lagi yang keluar karena Tanaka memilih berbalik melanjutkan tujuannya. Dari gerak-gerik, sepertinya Tanaka kesal sekali, tapi aku nggak peduli. Sebenarnya cukup kaget juga melihat Tanaka begitu menuntut penjelasan tentang darimana bau rokok ini berasal. Tapi, itukan privasi. Terserahku, dong, mau jelasin atau nggaknya sama dia. *** Pertama kalinya aku disuruh Mbak Zha ke Starlight Entertainment untuk mengambil berkas yang harus Tanaka baca dan juga membawa semua kado-kado dari fansnya. Untung dibantu Bang Irfan, kalau nggak, maka aku akan kesulitan karena kado yang dibawa banyaknya bukan main. Heran juga sama fans, kenapa hobi memberi hadiah? Belum tentu ‘kan semua dipakai. Terlebih, aku tahu selama ini kado-kado yang diterima Tanaka lebih banyak dibagi-bagikan pada staf ketimbang diaambilnya. Ya iyalah dibagi, orang isinya ada yang ngaco. Seperti tempo hari ada kutang. Buat apa coba?” “Bang, emang muat bawa semua kado di van?” tanyaku heran. Kami menuju parkiran dengan kedua tangan sama-sama penuh dengan paper bag. “Rasanya di dalam masih ada tiga puluh kantong lagi.” “Ya kalau tidak muat terpaksa nanti diambil lagi,” jawab Bang Irfan. “Buat apa, sih, dibawa ke penthouse? Naka ‘kan nggak peduli sama ini semua.” “Untuk menghargai, Kim. Setidaknya semua pemberian ini sampai pada Naka, sisanya terserah mau diapakan Naka.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Saat kami meletakkan semua paper bag, bagian yang kosong hanyalah jok depan tempatku dan tempat Bang Irfan duduk. Kami langsung pergi begitu semua selesai, tapi, malangnya ada kejadian yang nggak terduga. Lima orang yang sepertinya masih remaja menghadang van tiba-tiba. Bang Irfan menginjak rem mendadak dan hampir saja keningku menghantam dashboard kalau tidak ada sabuk pengaman. “Mereka siapa, Bang?” tanyaku kaget campur panik. Pasalnya, mereka menghadang dengan tatapan penuh penuntutan, sementara bagian hidung dan mulut ditutupi masker. “Nggak ada yang kena, kan? Sumpah nggak lucu kalau kita dibawa ke kantor polisi!” “Tenang, Kim. Sepertinya mereka fansnya Naka. Kamu diam di sini, Abang yang akan keluar. Jangan sekali-sekali menampakkan wajah, kalau tidak kamu akan jadi sasaran mereka.” Bang Irfan melepaskan sabuk pengamannya kemudian keluar setelah itu. Aku memandangi dengan penuh kecemasan, sebab aku tau kalau ada bermacam-macam fans di dunia ini, salah satunya fans setia yang kelewat batas, atau lebih tepatnya fans fanatik. Mereka bisa jadi mimpi buruk bagi orang yang diidolakan atau bahkan lebih parah bagi orang terdekat si idola. Saat pandanganku hanya terkunci ke depan, tanpa diduga pintu di sebelahku diketuk secara membabi buta. Ternyata, itu adalah salah satu dari anggota mereka yang lain. Tahu apa yang patut disyukurkan dalam keadaan seperti ini? Kaca Van ini satu arah, mukaku tidak akan terlihat oleh mereka. Tapi, tetap saja aku takut karena ini benar-benar mencekam. Saat mereka tau ada cewek di dalam van Tanaka, maka aku akan mengucapkan selamat tinggal pada hidup tenang. “Kim, kita pergi sekarang!” Bang Irfan masuk tergesa-gesa. Fans Tanaka mengikuti bahkan menggedor-gedor kaca van. “Mereka remaja yang gila!” Aku melihat ada garis merah panjang di tangan Bang Irfan. Sepertinya bekas cakaran. “Kita kecolongan! Semoga mereka tidak mengikuti sampai ke penthous.” Bang Irfan melajukan van dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku sampai berpegangan dan mengamati belakang untuk mengetahui apakah mereka benar-benar berbuat nekat. “Bang, itu mobil yang warna kuning mencurigakan!” Bang Irfan melirik dari kaca spion dan langsung berdecak keras. Jantungku dibuat deg-degan saat kecepatan bertambah, dan jalan yang kami lalui berlawanan dengan arah menuju penthouse Tanaka. Gila! Pertama kalinya aku mengalami kejadian seperti ini! Selanjutnya semoga nggak ada lagi, sebab aku ingin hidup damai tanpa ada gangguan dari siapa pun! *** Karena sekarang jadi kebiasaan tidak bisa tidur lebih awal, aku memilih mandi dan membuat coklat panas untuk teman bergadang. Oh iya, Tanaka sudah pulang dari rumah sakit, tapi, Dokter Sintia berpesan untuk tidak melakukan aktivitas yang berlebihan takutnya akan terjadi pendarahan. Saat melihat pintu balkon terbuka, aku berpikir membuat dua coklat hangat karena aku tahu Tanaka juga belum tidur. Rona wajahnya kembali seperti semula meski ada beberapa kali kutangkap ringisan yang keluar. “Masih belum tidur, Om.” Tanaka menoleh ketika aku mendekatinya. Lalu, saat kusodorkan mug, Tanaka menyambut tanpa mengeluarkan sepatah kata. “Angin malam tidak baik. Saranku kamu harus ke dalam sekarang, atau paling tidak setelah menghabiskan coklatmu.” Masih tidak ada jawaban, tapi, Tanaka mulai menyesap coklat hangatnya. Kami berdiri bersisian di pembantas balkon. Tatapan otomatis mengarah pada sebuah gedung pencakar langit yang aku tau adalah perusahaan furnitur. Di depan sana ada foto Tanaka yang terpajang besar sekali, karena Tanaka-lah yang mengiklankan salah satu produk termahal mereka. “Sejak kapan wajahmu terpampang di situ, Om? Saran aja, sih, sebaiknya rambutmu jangan gaya yang itu. Sangat jelek di mataku.” Ketika aku melirik, Tanaka memandangiku dengan alis naik sebelah. “Oh iya, aku nggak sengaja ngelihat Mbak Lena nonton dramamu tepat di adengan ciuman. Itu gimana, sih, Om? Aku sebenarnya terpaksa ngomong ini, tapi kamu jago dalam hal itu. Setidaknya ada satu yang paling kusukai di antara semua aktingmu.” Alisnya makin naik, bahkan posisi Tanaka kini sepenuhnya menghadapku. Tangan kanannya menopang pipi, seolah sedang fokus mengamati. “Lawan main yang paling kamu suk–ngapain, sih, Om?” tanyaku heran. “Perasaan dari tadi mandangin aku mulu.” Rasanya mulutku sudah berbuih tapi Tanaka tetap tidak menjawab. Alhasil, aku jadi capek sendiri. “Udahlah, aku mau masuk dulu. Capek nggak ditanggepin.” Aku mengibaskan tangan dan berbalik. Baru satu langkah, lenganku dipegang tiba-tiba bahkan diputar dengan mudahnya oleh Tanaka. “Apa lag–” Kata-kata itu tertelan kembali dan aku terpaku saat benda asing mendarat pas di bibirku. Waktu seolah berhenti dan kupingku mendadak berdenging. Ap-apa-apaan ini?! “Manis,” bisik Tanaka, kemudian menjauhkan wajahnya. “Aku suka ekspresimu. Selamat malam, Mia.” Demi hiu, piranha dan buaya yang ada di laut, itu adalah ciuman pertamaku! TANAKA KAWINDRA BERENGSEK!!! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD