“Gila! Ini kado atau gunung?” Aku baru saja menutup pintu penthouse dan ternganga melihat tumpukan kado di ruang tamu. “Dari fans kamu, Om?”
Dengan sombongnya Tanaka mengangkat bahu kemudian kembali fokus bermain ponsel lagi. Aku yang merasa hari ini adalah hari keberuntungan segera saja menaruh tas di atas meja dan memulai kesibukan dengan membongkar kado untuk melihat isinya.
“Baju. Boneka. Cokelat. Celana. Tas. Gelang. Astaga, kutang! Mau diapain ini, Om?” Kugoyang-goyang penutup gunung perempuan itu. “Ukuran jumbo ini. Merknya juga terkenal.”
“Paling dikasih nanti. Ke staf atau siapa pun terserah, yang penting bukan kamu.”
“Hah, kenapa?!” Tentu saja aku nge-gas karena Tanaka keterlaluan sekali padaku. “Kutang, Om, kutang! Aku perempuan, lho. Penting ini buatku.”
“Coba kamu letakin benda itu di dadamu, aku mau lihat.”
Dan dengan bodohnya aku menurut. “Nih. Terus apa lagi, Om?”
“Sudah kuduga itu tidak akan muat. Terlalu besar sedangkan asetmu kurang lebih terlihat seperti telur.”
Mataku mendelik kesal pada Tanaka, tidak lupa aku melipat kedua tangan di depan d**a untuk menutupinya. “Kurang ajar! Jangan hanya melihat dari sampul, tapi lihat dari isinya.”
“Mana? Coba buka, biar aku melihat dan menilainya langsung untuk membuktikan apakah kata-kataku tadi benar atau salah.”
“Manusia c***l!” Satu buah kado besar kulempar tepat mengenai wajah Tanaka. “Tobat, Om. Mati udah di depan mata, masa kamu mau gini-gini aja. Di neraka nggak ada AC, lho.”
“Gadis sialan!”
“Kamu juga sialan. Bahkan lebih sialan dari aku.”
“Ehm.” Seseorang berdehem. Saat menoleh, aku menemukan Mbak Zha berdiri sambil bersidekap memandangi kami. “Sampai kapan kuping saya berhenti mendengar kata sialan di sini?”
“Sampai Mia terlihat cantik di mataku dan aku dibuat tertarik padanya,” jawab Tanaka. “Tapi sepertinya itu mustahil.”
“Eh sial–” Hampir aja kelepasan lagi. Kalau itu terjadi, aku yakin Mbak Zha akan memelototkan matanya padaku. “Udah stop, kok, Mbak.”
Menggunakan kakinya Mbak Zha menendang beberapa kado yang menghalangi jalan kemudian menuju sofa tunggal untuk duduk. “Kalian berdua dengarkan saya bicara. Khususnya kamu, Naka, simpan ponselmu.”
Bak titah raja, Tanaka langsung menurut. Aku pun begitu. Kami sama-sama menaruh fokus pada Mbak Zha sekarang.
“Ini tentang penyakitmu,” ujar Mbak Zha memulai. “Untuk mencegah penyebaran, kita harus segera mengambil tindakan operasi. Saya sudah berbicara banyak hal dengan Dokter Sintia beberapa hari yang lalu.”
Aku melirik Tanaka dan melihat fokusnya berpindah ke arah lain, lebih tepatnya sedang melamun.
“Operasi sudah dijadwalkan dalam waktu dekat ini. Dokter Sintia bilang kamu harus melakukan Pre-op Registry dan melakukan pemeriksaan tambahan.”
“Mbak kenapa mengambil keputusan tanpa seizinku?” Tanaka langsung bertanya dingin. Auranya terlihat berbeda. “Jangan mentang-mentang manajer dan Mbak berhak memutuskan seenaknya. Ayolah, yang sakit aku, bukan Mbak. Jadi, berhenti melakukan ini itu tanpa meminta persetujuanku.”
“Terus kamu mau gimana, Naka? Menunggu sampai naik ke stadium dua? Tiga? Atau kamu akan menunggu kematianmu dengan pasrah begitu saja? Usiamu masih muda, bahkan saya tau kamu terlalu mencintai pekerjaanmu. Hanya gara-gara kanker p******a, bukan berarti kamu melupakan itu semua. Ada banyak orang yang mendukungmu, Naka. Ada banyak yang menanti comebackmu.”
Melihat mata Mbak Zha berkaca-kaca, aku nggak tahan untuk nggak ikut-ikutan sedih. Iya, benar, sangat disayangkan kalau Tanaka menyerah begitu aja. Ada banyak pencapaian yang harus dia capai. Bahkan kalau aku tidak salah mengingat, Tanaka pernah bilang di salah satu majalah yang mewawancarainya, Tanaka ingin jadi aktor internasional, bukan hanya sebatas nasional.
“Naka, Mbak mohon,” lirih Mbak Zha. “Kalau bukan untuk kami, lakukan untuk dirimu sendiri. Terlalu banyak yang bersedih saat kehilanganmu nanti dan jangan sampai itu terjadi.”
Tanaka bangkit akan melangkah pergi, sesaat matanya melirik pada Mbak Zha meskipun posisinya tetap memunggungi. “Lakukanlah.”
Mbak Zha terkesiap sejenak, selanjutnya sebuah senyuman terbit di bibirnya. “Terima kasih, Naka.”
Tidak ada jawaban lagi dan Tanaka benar-benar berlalu. Aku mendengkus melihat itu, tapi diam-diam memuji kalau keputusan yang Tanaka buat sekarang sangatlah keren.
***
Di tanganku ada selembar catatan sementara saat ini ekpresiku menganga. Bayangkan saja, belanjaan yang akan dibeli banyak dan yang membeli hanya aku sendiri. Mbak Zha sekarang jadi ikut-ikutan seperti Tanaka, menyebalkan. Ya aku tau kalau aku pembantu, tapi setidaknya berperikemanusiaanlah pada pembantu.
Ketimbang menggerutu dan ujung-ujungnya susah sendiri, mending aku mengajak seseorang dan membagi kesusahan dengannya. Buru-buru aku mengambil ponsel dan langsung menghubungi Alka.
“Met, gue share lock dan lo ke sini sekarang!”
“Ngapain? Mumpung libur ini dan gue bebas nggak ketemu lo. Udah enek banget.”
“Kampret! Pokoknya gue nggak mau tau, ke sini secepatnya!”
“Og–” Aku mematikan sambungan sebelum Alka menyelesaikan kata-katanya. Emang dia punya kesempatan untuk menolak? Oh, tentu tidak, Jamet!
***
“Kim lo gila, ya! Bos lo lebih gila lagi.”
“Kan! Kalau seandainya lo nggak datang, mungkin gue beneran jadi gila.” Aku mengusap keringat di pelipis dan banyak-banyak minum air mineral untuk menghilangkan haus. “Bayangkan, ya, Met, di rumah itu yang tinggal gue sama dia aja, tapi belanjaan udah kayak satu kelurahan.”
“Terus ini semua diapakan?” Alka menunjuk-nunjuk kantong yang berjejer di depan kami. “Kalau bawa pake motor mana bisa. Emang lo ke sini nggak diantar sopir?”
“Naik gojek gue. Majikan laknat, emang.”
“Lo juga mau-maunya dilaknatin.” Alka menggerutu sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dan gue juga mau-maunya ikut dilaknatin lo.”
Aku nyengir dan melingkarkan lengan di pundak Alka. “Lo memang terbaik, Met. Alapiu pul.”
“Halah, taik! Najis dibilang cinta sama cewek tepos depan belakang.”
Segera saja aku mencubit keras mulut Alka. “Enak bener, ya, kata-kata yang keluar dari sini. Bapak Alka memang pantas diberi hadiah.”
“Ah, sialan lo, Kim!” Diusap-usap Alka bibirnya yang memerah. “Kenapa dulu gue mau-maunya temenan sama lo.”
Sekali lagi aku mencubit Alka di bagian perutnya. “Mulut ampas! Cepat bantu angkat ini dan pesenin gue taksi online!”
Raut wajah Alka menunjukkan protes, tapi akhirnya dia menurut walau pun tampak kentara sekali tidak ikhlasnya. Saat kami keluar dari swalayan, mobil yang terparkir tidak jauh dari sana membunyikan klakson berkali-kali. Aku mengenalinya karena ini salah satu koleksi Tanaka yang terparkir di basement apartemen.
“Bentar, Met, kayaknya nggak jadi.” Aku menyuruh Alka berhenti dan tidak lupa untuk meletakkan belanjaan di bawah. “Lo harus pulang sekarang. Gue bisa terusin sendiri dari sini.”
“Serius, Kim?”
“Iya, malah dua rius. Ayo sekarang lo pulang.” Aku mendorong-dorong Alka. “Mendadak gue merasa kuat dan nggak butuh bantuan lo.”
Kukira Alka akan menolak, nyatanya ... “Dari tadi, dong! Aelah telat banget lo, Kim.” Setelah dengan semangatnya menjawab, Alka mengacak-acak rambutku kemudian menjauh sambil melambaikan tangan tanpa menoleh. “Semoga selamat sampai rumah, ya. Gue belum siap denger berita lo meninggal setelah ini.”
“Mulut kurang ajar!” teriakku. Hanya tawa Alka terdengar sebelum dia menghilang menuju parkiran khusus motor. Kini giliran aku yang menghampiri pemilik mobil yang dari tadi klakson-klakson tanpa mau turun.
“Monmaap buka pintunya.” Dua kali ketukan dan tidak ada tanda-tanda kaca mobil akan turun. “Buka pintunya atau aku sendiri yang buka pake batu.”
Berhasil. Rupanya harus diancam dulu baru mau menurut.
“Sudah puas pacarannya, Mia?”
“Maksud, Om?” Aku bertanya dengan nada dibuat-buat. “Darimana kesimpulan itu datang, coba?”
“Haha-hihi saling merangkul dan mengacak-ngacak rambut, bukankah itu tindakan pasangan yang sedang pacaran?”
“Ah masa bodo. Mending sekarang Om bantu aku bawa belanjaan ke mobil terus kita pulang setelahnya.”
“Sebelum kamu meminta, bolehkah aku bertanya sesuatu, Mia?”
“Silahkan.”
“Posisiku ini apa?”
“Bos. Majikan. Tuan rumah,” jawabku.
“Dan posisimu?”
“Asisten rumah tangga.”
“Kalau kamu tahu itu, kenapa berani-beraninya kamu memerintahku?”
“Ya ‘kan nggak ada salahnya. Belanjaannya ‘kan untuk Om, bukan untukku saja.” Terus-terusan aku menjawab dan ngeyel dengan kehendakku. “Ayo, cepat! Nanti orang-orang tau kalau Tanaka ada di sini dan mereka akan heboh.”
“Ah, gadi–”
“–s sialan.” Aku melanjutkan sendiri dan segera menarik Tanaka keluar dari mobil. “Gini dong dari tadi, ‘kan nggak buang-buang waktu.”
Tanaka mendengkus pasrah begitu saja saat kuseret.
***
Pukul dua pagi aku terbangun dan merasa haus sekali. Saat menuju dapur, aku kaget melihat asap mengepul dari arah ruang tamu. Kalau nggak si om berarti hantu. Tapi, masa hantu ngerokok?
Iseng aja aku menghampiri dan nggak begitu kaget saat menemukan Tanaka mengisap hikmat batang nikotin. Di depannya ada sebotol anggur yang tutupnya sudah terbuka, begitu juga gelas yang sudah ada jejak-jejak bekas dituangkan.
“Nggak ada akhlak, ya, Anda!”
Rupanya Tanaka kaget dengan kehadiranku. Buktinya jepitan rokok sempat terlepas dari tangannya dan jatuh tepat di lantai. Sebelum Tanaka kembali mencomot, aku segera berjongkok dan memadamkannya.
“Om, sini yuk mepet dinding biar aku benturin kepalanya.”
“Apa, sih, Mia.” Tangan Tanaka mengibas-ngibas dan kembali menyandar tubuhnya di sofa. “Rokok-rokok.”
Sepertinya sudah mabuk. “Tadi minum berapa gelas?” Aku mengambil botol dan makin berdecak saat tau isinya hanya tersisa sedikit. “Perlu nggak, nih, diabisin? Atau sekalian botolnya aku pukulin ke kepala Om?”
“Berisik!” Tanaka memejamkan matanya. “Udah malam, Mia. Kamu harus tidur.”
Aku geleng-geleng kepala. Kubereskan lebih dulu gelas yang ada di atas meja dan nggak lupa membuang botol anggur lengkap dengan rokoknya ke tempat sampah. Aku membiarkan Tanaka sejenak di ruang tamu dan ke dapur untuk minum.
Kembalinya aku langsung memapah Tanaka, yang ternyata sulit sekali karena perbedaan tinggi dan bobot badan kami.
“Om lo nyadar nggak kalau badan lo mirip hulk?” Suwer aku nggak bohong, badan Tanaka benar-benar berat. Aku bahkan sempoyongan membawanya. “Besok gue mesti minta bonus sama lo. Awas aja kalo nggak dikasih!”
Beruntung kamar tidak Tanaka nggak begitu jauh dan pintunya emang sudah terbuka lebih dulu. Yang bagian sulitnya hanya memasuki cela pintu, sisanya lancar meskipun tergopoh-gopoh.
Kududukkan lebih dulu badan Tanaka di sisi ranjangnya. Setelah itu kudorong pelan agar dia berbaring. Tidak lupa kakinya kuangkat ke atas kasur. Yaampun, punya pembantu kayak gue beruntung banget si Tanaka.
“Kalau Mbak Zha tau lo mabok-mabokan, gue bakal kena marah lagi, Om.” Sambil menggerutu aku menarik selimut untuk menutupi badan Tanaka sebatas pinggang. “Mana besok harus ke rumah sakit lagi. Bakalan kena triple kill.”
Setelah semuanya beres, aku berdiri sambil bertolak pinggang memandangi Tanaka. “Lo benar-benar ahlinya nyusahin orang, Om.” Saat aku berbalik ingin keluar, tanganku digenggam dan tentu saja itu membuatku urung melangkah. “Ada apa lagi?”
“Aku takut, Mia.” Tanaka ngomong tapi matanya terpejam. “Aku ... takut, Mia.”
Aku menarik napas dan menatap sesaat genggaman tangan Tanaka yang makin lama makin melonggar. Sebelum terlepas, aku menahannya dan menepuk-nepuk seolah untuk menyalurkan kekuatan.
“Nggak pa-pa, Om. Semuanya baik-baik aja.”
***
Sebelum masuk ruang rawat, Tanaka lebih dulu bertemu Dokter Sintia untuk mengetahui detailnya tentang operasi. Mbak Zha tidak bisa datang lebih awal bersama kami karena harus mendampingi artis untuk pemotretan. Jadi, sekarang hanya ada aku dan Tanaka saja yang sekarang duduk berhadapan-hadapan dengan Dokter Sintia.
“Kita akan mengetahuinya lebih lanjut setelah operasi nanti,” ujar Dokter Sintia, menatap Tanaka dan aku bergantian. “Kamu memiliki dua pilihan yang harus diambil sebelum melakukan operasi.” Dokter Sintia menggeser layar komputernya agar kami bisa melihat sebuah gambar yang aku tidak tahu itu apa. “Memotong ini sebagian untuk menyingkirkannya agar tidak menyebar atau memotong seluruh bagian. Semua keputusan ini tergantung padamu, Naka.”
“Apa yang terjadi kalau dipotong seluruhnya, Dokter?” Tanpa sadar aku menyuarakan pertanyaan yang muncul di otakku. “Akankan itu bermasalah nanti?”
“Tidak, hanya saja ...” Dokter Sintia seolah ragu mengatakannya. “Hanya saja ...”
“Tidak perlu dilanjutkan,” potong Tanaka. “Berusahalah untuk tidak menghilangkannya. Saya tidak yakin lagi apakah bisa menjadi pria normal setelah sebagian itu hilang.”
“Hanya ini cara untuk memutus akar sebelum menyebar.”
Tanaka mengusap wajahnya berulang kali sampai memerah, dan menjawab, “Lakukanlah. Lakukanlah memotong bagian setengah itu. Kalau semua pria memiliki dua d**a, maka setidaknya aku harus memiliki satu setengahnya.”
“Jika memotong sebagian, maka ada lagi perawatan selanjutnya. Kamu juga harus melakukan kemoterapi, Naka. Dan semua itu harus dilakukan secara rutin ke rumah sakit selama enam bulan.”
“Terserah, saya tidak peduli lagi, Dokter. Yang paling penting lakukan itu semua sebaik mungkin.”
Sesaat Dokter Sintia terlihat sibuk mencatat-catat sesuatu kemudian mendongak kembali menatap Tanaka. “Baiklah. Operasi dua hari lagi. Saya harap kamu tidak memperburuk kondisi tubuhmu, Naka.”
Hanya mengangguk sekali, Tanaka langsung pergi tanpa permisi. Aku yang tertinggal-lah yang mewakilinya.
“Terima kasih banyak, Dokter Sintia. Kami permisi.”
“Sama-sama,” jawabnya ramah.
***
Saat menuju ruang rawat yang terletak di lantai paling atas, aku dan Tanaka mendapat tatapan penasaran orang-orang. Mungkin saja mereka merasa aneh karena pakaian yang dikenakan Tanaka serba hitam dan tentu saja tertutup, atau mungkin saja heran karena baru saja melihat laki-laki keluar dari ruang dokter spesialis onkolog.
Ponsel di dalam tasku berbunyi dan aku buru-buru mengambilnya. Nama Mbak Zha muncul di layar dan segera aku menerima panggilan.
“Iya, Mbak?”
“Di mana, Kim. Saya sudah di ruang rawat Naka.”
“Sebentar lagi kami ke sana.”
“Saya tunggu.”
“Oke, Mbak.” Setelah panggilan terputus, aku mempercepat langkah untuk menyeimbangi Tanaka. Kebetulan sekali lift terbuka dan tanpa membuang waktu kami langsung memasukinya.
Kupencet tombol agar lift segera menutup. Tanaka berdiri di sudut kanan sedangkan aku di sudut sebelah kiri. Meski ada jarak, bukan berarti aku mengabaikan Tanaka begitu saja.
“Om, kamu oke?”
Tanaka melirik sekilas kemudian fokus lagi menatap ke depan.
“Kata ibuku jangan memendam sendiri. Katakan saja. Selagi ada yang mau mendengarkan dan menampung, untuk apa dipendam.”
“Tau apa kamu, Mia? Saya baik-baik saja dan akan terus merasa baik-baik saja nanti.”
“Oh ya?” Aku maju selangkah dan menatap terang-terangan Tanaka. “Terus, siapa ya yang ngomong ‘aku takut, mia’ ‘aku takut, mia.”
Tanaka memalingkan wajah dan mengumpat pelan. Aku terbahak melihatnya.
***