Diguncang Ujian

1100 Words
Celah jendela menjadi satu-satunya tempat bagi cahaya matahari masuk ke kamar ukuran kecil dengan barang berhimpitan tak ada sela. Wanita itu masih mendengkur halus dengan posisi memeluk guling. Mengabaikan matahari yang kian meninggi. Untuk hari ini lagi-lagi Ara menganggur di rumah. Ia sengaja bangun siang sebagai bentuk pembalasan atas tangisnya semalam. Ya, setelah pulang dari interview, Ara menangis. Bohong jika bilang Ara wanita kuat. Ia hanya berpura-pura kuat di depan mantan suaminya. Kenyataannya? Bulir bening itu jatuh juga. Apalagi menginjak malam. segala bentuk overthingking menghantui dan membuatnya terisak kembali. jadi Jangan heran kalau mata sembab menghiasi wajahnya pagi ini. Sebuah dering memenuhi indra pendengaran. Dering pertama, Ara tidak memperdulikannya. Dering kedua, Ara mulai merasa terganggu tapi tetap mengabaikannya. Lalu dering ketiga dan yang terakhir. Dengan malas Ara meraih handphone nya. “Siapa sih!” Panggilan dial dengan nama Radit terpampang. Radit adalah adik kandung Ara yang sedang menempuh kuliah di kota S. Sejak Ayah mereka meninggal enam tahun yang lalu. Ara membiayai penuh sekolah Radit. Itu sebabnya masa setelah perceraian dengan Wira adalah masa terberat karena setahun setelah bercerai satu-satunya orangtua Ara meninggal. Itu sebabnya Ara sangat membenci Wira. Dia meninggalkan banyak luka yang membekas sangat dalam. “Hallo?” sapa Ara dengan suara serak. “Baru bangun?” “Humm….” “Memang tidak kerja?” “Aku dipecat.” “Ha? serius?” “Iya… kamu kenapa telepon pagi-pagi?” “Emh… uang semester ku….” Ah iya! Kenapa Ara bisa lupa! “Iya, nanti Kakak transfer. Uang saku mu masih?" “Hehe, habis.” “Ya sudah. Nanti siang ya. masih ada kan untuk sarapan?” “Masih Kak.” “Oke, sudah ya. Kakak tutup.” Panggilan ditutup. Ara beringsut dari posisi tidurnya. Ia duduk di tepi ranjang sembari menatap langit-langit kontrakan. “Tabungan ku cukup tidak ya buat menutup uang saku Radit beberapa bulan ke depan?” “Aku tidak yakin bisa dapat pekerjaan mapan dalam waktu dekat. setidaknya uang saku Radit harus ada. Aku khawatir dia tidak makan di sana.” Hanya Radit yang Ara punya saat ini. walaupun adiknya terkesan manja, Ara tidak pernah mengeluh. Ia sudah berjanji pada mendiang Ayah dan Ibu nya untuk menjaga Radit. Apalagi Ara sudah pernah mengalami menjadi mahasiswa yang hidup serba pas-pasan sampai terserang tipes setiap akhir bulan. Ara tidak ingin hal itu menimpa adiknya juga. Karena itu lah Ara tidak boleh membuang-buang tenaga meratapi semua kesialan ini. Ara harus bangkit. Ya! seperti dulu. Mencuci piring pun tak masalah. Yang penting Ara bisa menutupi uang saku Radit terlebih dahulu. Dengan pemikiran seperti itu akhirnya Ara mendapat pekerjaan di sebuah tempat makan yang menyediakan bakso dan mie ayam sebagai menu utamanya. Berkat bantuan teman sejawat, Ara bisa langsung bekerja karena tempat makan itu sedang kekurangan orang untuk melayani pelanggan. “Pesan mie ayam dan bakso ya," sahut seorang ibu-ibu. "Iya Bu." "Mie ayam baksonya satu ya. Kuahnya dipisah!" "Baik Bu." "Baksonya dibungkus ya. Kecap dan sausnya jangan lupa!" "Siap Bu." "Aduh lama banget sih pelayanannya! Saya tidak jadi pesan!" Kira-kira seperti itulah pekerjaan Ara. Diburu pelanggan yang tidak sabaran. Apalagi jika di jam istirahat begini pasti pelanggan membeludak. Tangan Ara harus secepat kilat menyajikan bakso dan mie ayam. Kadang tangannya sampai tersiram kuah panas akibat memenuhi permintaan pelanggan. Jam menunjukkan angka 18.30 menit. Masih sisa tiga jam setengah lagi untuknya bisa pulang. Ya, tempat makan bakso dan mie ayam ini tutup jam sembilan malam. Sungguh pekerjaan ekstra untuk gaji yang tidak.seberapa. Tapi Ara bisa apa? Mengeluh? Apa dengan mengeluh seseorang akan kasihan dan memberinya uang? Itu tidak akan terjadi kecuali di dalam drama atau n****+. "Ugh! Tanganku," desis Ara. Waktu jam pulang sudah tiba. Ia hendak pulang dengan berjalan kaki. Sebenarnya Ara punya motor. Tapi tempat kerjanya ini tidak jauh dari kontrakan. Dari pada boros bensin lebih baik Ara jalan saja. Sekalian cari udara malam. "Mungkin karena hari pertama. Tidak apa. Nanti juga terbiasa," gumam Ara menyemangati diri. "Setelah ini aku akan mandi dan--Hm?" kening Ara berkerut ketika mendapati seorang paruh baya sedang duduk di teras kontrakan. "Kok Ibu pemilik kontrakan di sini?" Ara langsung menghampiri Ibu pemilik. Hendak mengetahui maksud gerangan datang ke kontrakannya di jam larut seperti ini. "Permisi Bu," sahut Ara sopan. "Oh, nak Ara sudah pulang ya?" "Hehe. Iya Bu." "Kok pulangnya malam? Tumben sekali." "Hehe. Iya Bu. Saya pindah kerja. Di pekerjaan baru ini pulangnya agak larut memang." "Oh begitu...." "Emh.... mari masuk Bu," tawar Ara sopan. Bisa dibilang hubungannya dengan Ibu kontrakan tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat juga. Mungkin sekedar saling sapa saha jika bertemu. Entah kenapa kehadiran Ibu pemilik membuat feeling Ara tidak enak. Pasalnya dia tidak pernah datang mendadak seperti ini. Pasti ada sesuatu yang mengharuskannya datang. "Maaf ya mengganggu waktu istirahat mu," basa-basi Ibu pemilik. "Hehe. Tidak apa Bu. Emh.... ngomong-ngomong ada apa ya Bu? Tumben sekali." "Ehem.... begini nak Ara. Sebenarnya saya berat mau bilang seperti ini. Besok anak saya mau pulang dan menetap. Tapi Nak Ara tahu sendiri kalau rumah Ibu sudah penuh sama cucu-cucu. Jadi, saya tidak bisa mengontrakkan rumah ini lagi." "Nak Ara tidak perlu khawatir. Uang sewanya akan ibu kembalikan sesuai biaya sewa per bulan. Nak Ara kan bayar full satu tahun. Jadi kalau dihitung sampai bulan ini jadi Nak Ara sudah tinggal selama delapan bulan. Nanti biaya sewa dua bulannya akan Ibu kembalikan." Jujur Ara ingin sekali menurunkan sudut bibirnya yang terpaksa ia angkat sehingga membentuk senyuman palsu hanya untuk menghargai wanita paruh baya ini. Bagaimana bisa dia berpikiran cetek seperti itu?! Bukankah sudah ada perjanjian di awal? Ini sama saja Ara diusir secara halus. Melawan? Oh dear! Ara tidak punya kekuatan untuk membela diri lagi. Fisiknya lelah! Batinnya tersiksa. Mentalnya diuji ribuan kali. Mungkin ini lah waktunya meledak. Namun lagi-lagi harus ia pendam. Hembusan nafas terdengar berat. Tidak adil! Tapi Ara harus menerimanya. Ara tidak ingin memperpanjang masalah ini. "Baiklah Bu. Tapi aki boleh minta tolong beri waktu sampai aku dapat kontrakan baru?" "Baiklah. Ibu beri waktu seminggu ya?" "Humm. Terimakasih Bu." "Ya sudah. Nanti uang sisanya Ibu tranfer ke rekening mu saja ya?" "Iya Bu." Pergilah! Pergi! Ara ingin segera membenamkan wajahnya ke bantal dan berteriak sekuat tenaga. "Kalau begitu Ibu permisi dulu." "Iya Bu." Tak ada respek sedikit pun. Ara yang notabane nya memiliki tata krama baik sampai rela tak mengantar Ibu pemilik sampai depan rumah. Ia menutup pintu kontrakan dan segera berlari ke.kamar. "Aaarrrggghhhhh!" "Huhuhuu.... hiks... huuuuhuuu..." "Kenapa hidup ku jadi seperti ini. Hiks. Apa salah ku? Hiks." Lagi, malam ini dipenuhi tangis pilu. Ditemani rembulan dan bintang yang seakan menjadi saksi atas bulir bening berjatuhan. Ara tertidur dengan posisi meringkuk dengan jejak air mata di pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD