Tajamnya Tangga Kesuksesan

1105 Words
Sebuah wine tersaji apik di sebuah meja dekat jendela yang memperlihatkan pemandangan kota dari lantai delapan. Apartemen mewah yang hanya memiliki dua puluh unit dan dihuni oleh orang-orang berpengaruh. Menjadi tempat tinggal Wira setelah dirinya sukses. Tidak mudah untuk sampai dititik ini. Banyak lika-liku dan jalan berbatu yang Wira lewati. Dari yang mengemis, makan roti sisa kemarin. Bahkan di musim dingin Wira tidak mampu sekedar membeli kaus kaki untuk melindungi dari hawa dingin. Setelah bercerai, ia terbang ke Kanada untuk mengadu nasib. Menenteng segudang harapan yang nyatanya kandas ulah teman seperjuangan yang menipunya setelah sampai di negeri orang. Memaksa Wira menjadi pengemis di awal kedatangannya. Sampai ia bertemu dengan Kenzo. Seorang berkewarganegaraan Indonesia yang sedang menempuh study. Berharap takdir berubah? Tidak! Kenzo yang saat ini bekerja menjadi sekretaris Wira ternyata tak kalah menyedihkan. Ia mahasiswa dengan beasiswa penuh. Kepintarannya tak diragukan. Satu-satunya yang meragukan adalah bagaimana cara ia memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan ia sendiri berangkat ke Kanada tanpa persetujuan orangtuanya. Ya, Kenzo berasal dari keluarga tidak mampu. Namun ambisinya setinggi langit sampai nekat berangkat ke negeri orang tanpa sepeser pun saku. Selama ini ia bekerja paruh waktu dari satu tempat ke tempat lain. Karena merasa senasib. Kenzo mengajak Wira yang hampir mati membeku ke apartemen murahnya. Sejak itulah dua laki-laki itu saling mengenal dan mengerti ambisi masing-masing. Secara kebetulan jalan mereka sama. Mereka seperti dua pejantan yang sedang menjelajah seisi negeri. Mencoba segala hal. Jatuh lalu bangkit lagi. Sakit lalu sembuh. Menangis lalu tertawa. Terus seperti itu sampai istilah usaha tidak akan mengkhianati hasil benar terjadi. Kini Wira menjadi pengusaha sukses. Walau dijalani berdua, Kenzo tidak keberatan memberi kursi pemimpin padanya. Lagi pula, Kenzo pernah berujar, ia tidak mau menandatangani banyak dokumen karena itu sangat melelahkan. Dan begitulah kursi pemimpin diduduki Wira. Seorang billioner termuda di umurnya yang belum genap 30 tahun. Siapa yang tidak bangga? Orang-orang mengakui Wira sebagai rookie genius yang berkecimpung di dunia teknologi. Ya, seiring perkembangan zaman. Teknologi semakin dibutuhkan. Wira tahu potensi itu dan mencoba melibatkannya ke dunia bisnis. Sayang sekali orang yang dicintai pada masanya tidak setuju. Perpisahan lah yang menjadi jalan tengah mereka. "Kak, apa ada lagi yang Kakak butuhkan?" sahut Kenzo. Sekretaris Wira. "Emh.... bagaimana dengan wanita itu?" tanya Wira. Ini adalah rahasia antara Kenzo dan Wira saja. Sebenarnya diam-diam Wira memantau pergerakan mantan istrinya, Ara. Entah kenapa setelah pulang dari Kanada dan mendengar kabar mantan istrinya dalam kondisi baik-baik saja membuat Wira geram. Wira juga sempat memergoki Ara tengah makan berdua dengan seorang lelaki di suatu restoran. Padahal dirinya berjuang mati-matian bertahan di dunia bisnis layaknya hutan rimba. Melihat senyum cerahnya bersama laki-laki lain sontak membangkitkan kebencian. Itu sebabnya Wira memberi sedikit pelajaran. Agar mantan istrinya tahu pahitnya dunia. "Sesuai intruksi. Aku sudah melakukan apa yang Kakak suruh. Saat ini dia bekerja melayani pelanggan di tempat bakso dan Mie ayam. Lalu, aku juga sudah menyuruh si pemilik kontrakan mengusir Nona itu. Ku dengar si pemilik kontrakkan memberi waktu seminggu untuknya pindah." "Tck! Seharusnya langsung diusir malam itu juga!" ketus Wira. "Ah... maaf Kak. Ku pikir tindakan itu sudah kelewatan untuk seorang wanita." "Tidak apa-apa. Dia bukan wanita biasa! Dia itu wanita matre yang hanya tertarik dengan uang." Alis Kenzo hampir bertaut. Sebenarnya ia penasaran dengan satu hal. "Kak. Sebenarnya apa hubungan Kakak dengan wanita itu? Sepertinya Kakak punya dendam tersendiri." "...." Wira tidak merespon. Ia memilih meneguk winenya. "Apa dia mantan istri Kakak?" "Uhuk!" "Hei! Kau memang tidak bisa membuat orang santai ya!" dengus Wira seraya mengelap mulut. "Hemm... ternyata benar mantan istri. Pantas saja Kakak menggebu ingin memberi pelajaran. Ternyata wanita itu yang sudah mencuri hati bos dingin ini dan berujung diacuhkan," ledek Kenzo. "Shut up!" "Hahaha. Awas CLBK." "Apa itu?" "Cinta Lama Belum Kelar." Wira mendesis kemudian melempar jaketnya ke wajah Kenzo. Laki-laki berumur 25 tahun sekaligus sekretarisnya ini memang tidak punya filter bagus jika berbicara. Apalagi kalau berurusan dengan masalah pribadi Wira. Meledek Wira adalah hobinya. Yah walaupun begitu, kinerjanya bagus. Ia pun bisa bersikap profesional dalam keadaan genting sekali pun. Sukar diakui tapi bisa dikatakan Wira bisa sukses berkat kerja keras Kenzo juga. "Pergi sana! Cari wanita atau apa pun. Kamu terlihat miris dengan 'adick kecil' yang belum terlatih," lirik Wira pada selang*angan Kenzo. "Cih! Memang 'milik' yang bilang sudah terlatih? Hanya menikah sekali saja belagu!" Wira ancang-ancang melempar sesuatu di dekatnya. Hal itu membuat Kenzo sigap menghindar. "Ah, aku lupa. Besok Kakak akan ada pertemuan dengan Nona Gunawan untuk membicarakan proyek Mega Centurie." "Tck! Iya!" Setelah itu Kenzo pergi begitu saja. Meninggalkan Wira dengan botol winenya. Wira memandangi gelas bening yang terisi sepucuk wine. Ia arahkan gelas itu ke jendela besar. Memandang gemerlapnya kota dari gelas wine itu. Menjadi pengusaha sukses membuatnya banyak berubah. Dulu, ia tidak sudi menengguk alkohol atau apapun minuman yang ada kandungan alkoholnya. Tapi sekarang ia sudah terbiasa menikmati minuman kalangan atas itu. Bukan berarti ia ingin. Tapi karena keharusan. Mengingat budaya ramah tamah pada koleganya. Lalu karena keharusan itulah berubah menjadi kebiasaan. Bukan hanya itu. Kadang saat penat, rokok menjadi teman hangatnya. Padahal dulu menyesap sedikit saja sudah batuk-batuk. Lebih parahnya lagi, sekarang Wira tidak segan pergi ke tempat haram guna melepas stress. Sekedar minum bersama dan menikmati musik menggelegar. Walaupun begitu Wira punya batasan. Ia tidak pernah menyentuh wanita mana pun. Kecuali Ara. Mantan istrinya. Entahlah, bisa dibilang Wira trauma dengan wanita. Ia merasa jijik dengan eksistensi wanita yang seakan hanya peduli dengan uang dan penampilan. Itu sebabnya Wira memutuskan untuk vakum dari dunia pernikahan. Entah kapan hatinya tergerak untuk menikah lagi. Ia sadar, semakin hari umurnya semakin bertambah dan ia belum memiliki keturunan. Bisnis yang sudah susah payah ia bangun akan berhenti di dirinya. Bukankah itu sia-sia? Itu sebabnya otak tercemar virus gila itu memikirkan ide tak kalah gila. Ia menginginkan anak. Tapi tidak ingin menikah. Ia hanya butuh sarana untuk manampung benihnya. Dan pikirannya tertuju pada Ara. *** "Kenzo...." sela Wira ketika laki-laki menginjak usia 25 tahun itu akan menyantap makan siangnya. "Apa?" sahut Kenzo datar. Sudah menjadi kebiasaan bahwa bosnya membuat rusuh di situasi seperti ini. "Aku bosan dengan makanan prasmanan," tutur Wira seraya menerawang jauh ke dinding kaca perusahaannya. Saat ini mereka tengah menyantap makan siang di kantin. Sebuah fasilitas penunjang kesejahteraan karyawan. "Hah! Seharusnya bilang sebelum aku ambil tadi!" dengus Kenzo. "Mau makan di mana?" Pada akhirnya Kenzo mengalah juga. Sebab ia tahu bosnya punya gangguan makan cukup parah. Ya, sebuah penyakit yang ia dapat selama tangga kesuksesan satu persatu ia lalui. "Di suatu tempat," seringai Wira mengembang sempurna. Ah, Kenzo paham hanya dengan menatap wajah mengerikan itu. "Semoga dia tidak berulah lebih dari kemarin. Karena pada akhirnya dia sendiri yang akan menyesal," gumam Kenzo seraya bangkit dan mengekori Wira.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD