Sore hari menjelang, Crystal berjalan santai di taman. Ini adalah tempat favorit di mana dulunya selalu menghabiskan waktu bersama Emerald.
Happy birthday, Al!
Makasih, Sayang! Tahun depan kita ngerayain ulang tahun kamu dan aku di sini juga, ya!
Iya, janji!
Crystal mengenang hari itu. Air matanya pun mulai jatuh. Memang belakangan ini hati Crystal mulai goyah karena Ruby, tetapi tetap saja cinta Emerald masih berakar di hatinya. Dia masih ingat betapa besar cintanya dulu pada Emerald. Bukan hanya menyakiti Emerald, penyesalan mengisi relung hati Crystal saat sadar bahwa dirinya mulai membagi hati.
"Maafin aku, Al."
Crystal menoleh ke sisi kiri. Dia terkejut karena ternyata Emerald berada di sana. Sama sepertinya, mungkin Emerald juga mengingat kenangan itu hingga dia berada di sini.
“Ngapain lo di sini?” kesal Emerald.
"Al, aku ...."
"Tolong jangan pernah muncul lagi di hadapan gue. Lo gak akan ngerti rasa sakit yang lo kasih sampai detik ini, Crys. Jadi tolong, gue gak akan mau punya hubungan apa pun lagi di antara kita."
Crystal mendekati Emerald. Dia menggantungkan lengannya di bahu mantan kekasihnya itu. Emerald pernah bilang dia suka saat Crystal mencium pipinya. Kali ini, Crystal menciumnya lagi sebagai ungkapan maaf.
"Gue kangen banget sama lo, Al.”
Crystal segera berhambur ke pelukan Emerald. Sudah lama rasanya dia menjauh dari aroma parfum khas Emerald. Hampir sebulan sejak pertunangan, belum ada tanda-tanda Emerald memaafkannya.
"Please, aku gak tau harus gimana lagi. Aku cuma butuh maaf kamu, Al."
Emerald tak bisa menahannya lagi. Dia tak bisa goyah. Gadis ini tak bisa lagi membangun harapannya untuk bisa bersatu kembali seperti dulu. Emerald segera melepaskan pelukan Crystal, tak ingin luluh dengan air matanya.
“Apa lagi sekarang? Kenapa lo bersikap gini? Cukup, Crys, gue ga sanggup lagi. Kalau memang mau pergi, tolong jangan pernah berbalik lagi. Harusnya lo bersikap kejam sampai akhir. Gue takut berharap lebih, Crys."
"Al, aku tau aku salah. Harusnya ...."
Crystal bungkam saat Emerald menunduk sesaat sambil memegang bahu Crystal. Crystal sedikit gemetar melihatnya. Inikah rasa sakit Emerald yang selama ini tersimpan? Emerald mengangkat wajahnya, matanya terlihat berkaca-kaca.
"Harusnya kamu mutusin aku dulu sebelum tunangan. Dengan gitu, rasa sakit ini cuma akan jadi milikku sendiri. Seenggaknya aku gak berhak cemburu kalau memang kamu jadi milik dia. Harusnya kamu gak ngelakuin ini sama aku, Crys."
Crystal menangis sesunggukan melihat kesedihan di mata Emerald. Selama ini Emerald bungkam, tak pernah menunjukkan sakit hatinya. Hanya amarah yang membuncah keluar. Namun kali ini, air mata sepertinya cukup untuk mewakili hatinya.
"Kamu udah mulai jatuh cinta sama dia, Crys. Karena itu ... tolong jauhin aku. Biarin aku sadar kalau aku cuma mantan kamu. Aku cuma seseorang yang pernah ada di hidup kamu. Mungkin lebih tepatnya, seperti barang yang sekarang dibuang karena ga terpakai lagi."
Crystal tak tahan lagi dengan ucapan sedih Emerald. Dia sedikit berjinjit saat memeluk bahu pemuda itu. Hanya kecupan manis sebagai ungkapan hati Crystal belum yang belum menghapus Emerald dari sana. Meski awalnya ragu, Emerald membalas serupa. Mereka menutup mata menikmati dentuman hati yang masih tersisa akan kisah mereka.
Menit berikutnya, Crystal menjauh. Dia mencoba tersenyum agar Emerald mengerti bahwa rasa sakit Emerald selama ini tak sengaja dilakukannya.
"Sorry and ... happy birthday, Al."
Belum ada tanggapan dari Emerald. Dia tak memberi jawaban apa pun karena yakin lukanya belum sembuh. Crystal tak peduli, hanya memeluk erat punggung Emerald.
Tak lama, senyum Crystal memudar. Dia hampir limbung karena melihat Ruby di sana. Sejak kapan? Apakah Ruby melihat dia dan Emerald berciuman tadi?
Bahkan dari jarak yang cukup jauh, Crystal melihat ekspresi terkejut Ruby. Masih dia ingat kejadian semalam tentang permintaan Ruby untuk mulai membuka hati. Ruby masih mematung. Apa yang harus dia lakukan? Tunangannya memadu kasih dengan mantan kekasih, apakah dia berhak marah?
Air mata Crystal justru jatuh saat melihat Ruby memaksakan diri untuk tersenyum. Pria itu berbalik, berjalan gontai meninggalkannya.
Ruby, batinnya.
Crystal tak bisa mengejar langkah Ruby karena dia harus menenangkan Emerald. Namun dia harus menyadari, air matanya yang jatuh saat ini bukan cuma untuk Emerald, tapi sebab luka yang terlihat di mata Ruby karena ulahnya.
*
Crystal tak tahu harus apa sejak insiden di taman tadi. Dia menoleh jam tangannya, masih jam tiga. Singgah lebih dulu untuk mengganti pakaian di rumah, lantas dia pergi untuk mencari Ruby. Takut jalanan macet, ojek online menjadi pilihannya.
Dia sangat takut memikirkan bagaimana tanggapan Ruby di sana, mengingat apa yang baru saja dia lakukan di depan Ruby. Bukan, lebih tepatnya di depan tunangannya. Mencium mantan pacar di depan sang tunangan, siapa yang bisa terima itu?
Tak lama, Crystal sampai di pelataran rumah Keluarga Alexander. Dia disambut baik oleh mamanya Ruby itu.
"Ada apa, Crys?"
"Ruby mana, Tan?" tanya Crystal, tergesa.
“Loh, tadi katanya Ruby mau jemput Morgan.”
“Aku udah hubungin Morgan, Tante. Tapi katanya Ruby belum jemput juga.”
“Kamu kenapa, Sayang? Kok cemas gitu? Coba cari di kampusnya, mungkin dia ada di sana. Kalau bingung, tanya aja apa mereka kenal sama Ruby Reyansha Alexander, anak manajemen ekstensi semester 6.”
"Oh, iya. Makasih, Tan. Crystal pergi dulu, ya!"
"Hati-hati!"
Crystal tak mau membuang waktu lagi, lantas segera keluar rumah dan menghentikan taksi yang tepat melintas di jalanan komplek.
Gadis cantik itu hanya terus bergumam dalam hati. Dia takut Ruby marah, takut Ruby akan membencinya. Lebih tepatnya, saat ini dia sangat membenci hatinya sendiri. Dia tak tahu siapa yang sangat dia inginkan sebenarnya. Meneruskan pertunangan bersama Ruby, atau justru kembali pada Emerald.
Gue gak tau harus kasih alasan apa sama dia nanti. Please, By, semoga lo mau dengerin gue dulu, batinnya.
Taksi terhenti tepat di depan kampus UI. Seperti orang bodoh, Crystal mencari ke sana kemari. Tujuan utamanya adalah Fakultas Ekonomi. Dia ingat bahwa Ruby adalah mahasiswa jurusan manajemen. Kumpulan mahasiswa yang sedang bercengkrama di bawah beringin itu menjadi sasaran untuk bertanya.
“Mbak, kenal sama yang namanya Ruby Alexander? Kalau gak salah, dia anak manajemen ekstensi semester 6,” tanya Crystal.
“Oh, Ruby? Ya tau. Satu kampus juga tau dia. Si ganteng tajir pewaris Alexander Corp,” jawab mahasiswi itu.
“Ada liat dia gak, Mbak?”
“Gak ada, sih. Tapi coba cari ke club MAPALA. Mungkin dia main di sana. Nanti jalan lurus, terus ada persimpangan, nanti ada petunjuk arah ke lapangan MAPALA. Ke sana aja.”
"Oh, oke. Makasih, Mbak."
Crystal berlari mencari keberadaan Ruby. Akhirnya, dia sampai di halaman MAPALA sesuai petunjuk. Kakinya terhenti melihat dinding tinggi dengan seseorang yang berada di antara batu tanjak.
Olahraga wall climbing. Crystal terkesima menatap Ruby yang sedang tergantung di sana, memanjat dinding. Dia benar-benar terpesona dengan aktivitas Ruby. Peluh keringat yang membanjiri dahi, leher, bahkan lengan atletis tunangannya itu justru terlihat seperti kristal yang berkilau di bawah sinar mentari sore. Menambah kesan sexi dalam diri pria oriental itu.
"Sialan! Kenapa jadi seseksi itu dianya?" gerutu Crystal.
Crystal ingin mendekat, tetapi seorang gadis mendekati Ruby ketika Ruby sudah menginjakkan kaki di tanah. Seorang gadis dengan rambut pendek sebahu itu mendekati Ruby.
“By! Gue mau manjat, dong,” ucap gadis itu sambil memegang lengan pria beriris cokelat tersebut.
“Yakin, Nad? Akhir-akhir ini, aku liat kamu jadi rajin manjat. Karena apa?” seru Ruby sambil memperbaiki posisi sarung tangannya.
Gadis itu mendekati Ruby, membisikkan sesuatu di telinganya, “Karena kamu.”
Crystal bersembunyi sesaat, hatinya sudah terbakar hebat. Dia melihat Ruby mendekati gadis itu dengan setumpuk peralatan wall climbing di tangannya. Tensi emosionalnya menanjak pesat saat gadis itu menggoda Ruby ketika Ruby memasang harness ke bagian pahanya yang hanya memakai celana pendek. Dia semakin menggila saat Ruby mendekatinya dan memasangkan harnes lagi di bagian pinggang. Si centil itu pun mendekatkan tubuhnya dan meletakkan tangannya di d**a bidang Ruby. Ruby menggeleng risih karena gadis ini sangat mengusiknya.
“Jauhan dikit, Nad," keluh Ruby.
Tak mau gadis itu semakin nakal, Ruby segera memasangkan carmantel ke bagian carabiner screw. Tubuh si gadis itu kini sudah terpasang setumpuk alat pengaman.
“Kalau mau turun, jauhin figure 8, ya! Ntar tangan kamu bisa luka kayak kemarin,” sambung Ruby lagi.
“Oke, By.”
“Sepatu panjat kamu ... baru, Nad? Ngebet banget yang mau ikutan MAPALA.”
“Demi lo ... apa, sih, yang gak?”
Crystal seperti orang bodoh membiarkan Ruby membantu temannya itu. Kepalanya seakan berasap kala sang tunangan memegangi pinggul gadis itu ketika mulai memanjat. Ya, walau dia tahu itu bagian dari keamanan.
Crystal tak tahan lagi dengan amarah yang membuncah dari dadanya. Ketika Ruby berbalik sambil membuka sarung tangannya, Crystal keluar dari persembunyiannya. Langkah Ruby terhenti dan Crystal mendekatinya. Dia terkejut saat mengingat apa yang baru saja dilihatnya siang tadi di taman. Tunangannya selingkuh dengan sang mantan.
“Lama banget, sih? Gue tungguin dari tadi!” keluh Crystal.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Ruby dengan nada dingin.
“Kenapa? Lo bingung gue ada di sini? Ya terserah gue, lah. Dari tadi hape lo gue hubungin ga diangkat-angkat. Pantesan aja, selingkuh ternyata.”
Ruby hanya geleng kepala, tak mengerti jalan pikiran Crystal yang selalu saja marah padanya. Selingkuh? Lalu yang dilakukannya satu jam yang lalu, apa? Mungkin itulah rutuk hati Ruby. Dia mengalihkan pandangannya dan berjalan tanpa mengacuhkan Crystal.
“Lo mau ke mana? Hei! Ga sopan banget,” cerocos Crystal sambil menahan lengan Ruby.
Ruby mulai kesal. Dia pun melepaskan tangan Crystal dan bersiap melontarkan protes.
“Kamu ke sini buat apa? Buat marah-marah?!"
Crystal terkejut. Suara Ruby naik satu oktaf. Bisa dipastikan kemarahan sedang bersarang di hatinya.
"Kamu pikir aku siapa kamu? Dengan seenaknya kamu marahin aku. Kamu pikir cuma kamu yang terluka, Crys? Kamu pikir cuma kamu yang jadi korban atas pertunangan kita ini? Yang kamu tau cuma mikirin perasaan kamu sendiri. Aku pikir kamu ke sini untuk ngasih penjelasan. Aku pikir kamu–”
Ruby benar-benar marah, tetapi Crystal justru terkejut melihat pantulan binar mata Ruby. Ruby yang dikenalnya selama ini berbeda. Ruby memang selalu tersenyum, tetapi matanya terlihat dingin. Sejak kejadian di mall itu, Crystal menyadari perubahan pada Ruby. Tatapannya mulai terlihat hangat. Dan saat ini, Crystal melihat kemarahan dari binar mata Ruby. Apakah Ruby mulai meletakkan perasaannya dalam pertunangan mereka?
"Ruby ...."
“Aku yang terlalu bodoh udah berusaha membuka hati. Aku pikir kamu ke sini untuk minta maaf, untuk meluruskan semuanya. Kenapa kamu cium bibirnya? Apa sekarang aku berhak bertanya gitu? Aku bahkan gak bisa komplain apa-apa karena buat kamu, aku cuma calon tunangan kamu!”
Dada Crystal berdesir. Jelas terlihat kecemburuan di mata Ruby. Setelah protes panjang lebar, pria berkulit putih itu menghela napas dan beralih ke sisi lain.
"Lo cemburu?"
Pertanyaan Crystal seperti bidikan yang tepat sasaran. Ruby masih bungkam sambil terus menatap Crystal.
"Lo cemburu liat gue ciuman sama Emerald?" Crystal memperjelas pertanyaan.
Ruby belum bicara. Crystal pun maju selangkah. Dia melihat sisi leher Ruby yang banjir akan keringat. Sangat maskulin. Ruby terkejut saat Crystal meraba sisi lehernya, tepat menjangkau tengkuk Ruby. Ruby terpaksa merapat ke arah Crystal karena Crystal menarik tengkuknya agar mereka lebih mendekat.
Hanya berjarak lima inchi saja. Crystal tersenyum dengan maksud menggoda. Bisa dia lihat bahwa Ruby sedikit terpengaruh. Sejak tadi Ruby menghela napas berat. Entah karena lelah usai panjat dinding, atau karena sejak tadi dia mulai memperhatikan bibir ranum Crystal yang begitu dekat dengan bibirnya. Berulang kali kelopak matanya mengerjap. Jantung Crystal berdesir saat menikmati hela napas tak beraturan Ruby. Dadanya naik turun karena terjerat sempurna.
"Wanna kiss me too?" tantang Crystal.
Ruby memejamkan mata sesaat, menelan ludah hanya untuk menyadarkan ilusi cinta dan godaan Crystal. Dia pun meraba tangan Crystal, menjauhkannya dari tengkuknya.
"Jangan macam-macam, Crystal!"
"Kenapa? Masih berpikir aku cuma 'bocah' SMU? Aku udah dewasa, Ruby! Aku lebih muda 6 tahun dari kamu bukan berarti aku masih anak-anak."
Ruby menjauh dan mengambil posisi untuk duduk di atas rerumputan. Dia membuka ransel biru itu dan mengambil botol minum. Crystal masih terbius saat Ruby menenggak air mineral, melihat leher jenjangnya yang masih basah dengan keringat. Ruby pun membanjiri sedikit wajahnya untuk menghilangkan sensasi gerah.
Oh, God! Apa dia benar milikku? Si seksi ini? Aku jadi mabok terus gara-gara dia, racaunya dalam hati.
Ruby tak peduli ketika Crystal ikut duduk di sebelahnya. Gadis itu hanya tertegun. Entah kenapa, Ruby selalu bisa membiusnya dengan pesona miliknya. Crystal melihat sang tunangan terus menenggak air mineral itu, jakunnya naik turun saat membiarkan kerongkongannya dialiri air. Matanya tak lepas dari Ruby.
Karena harus menyelesaikan pertengkaran mereka, Crystal ingin meredam amarah Ruby. Ruby masih terlihat kesal dan Crystal pun tersenyum karena sangat ingin terus menggodanya.
"Apa lo mulai serius tentang pertunangan kita?" tanya Crystal.
Ruby bungkam. Dia melirik jemari Crystal yang masih tersemat cincin pertunangan.
"Kenapa cincinnya masih dipakai? Apa kamu perlu bantuanku untuk batalin pertunangan? Papaku ga akan pernah nolak apa pun permintaanku," timpal Ruby, bernada dingin.
Crystal belum menanggapi. Dia menggenggam jemarinya dan menyembunyikan di d**a.
Kenapa? Kenapa aku sedih waktu Ruby bicara gitu? Kenapa cowok ini sama sekali ga mau berjuang? Aku juga ga bisa nyalahin dia karena aku masih berharap sama Al, batin Crystal terus berkecamuk.
Keheningan itu memaksa Ruby melihat jelas ekspresi Crystal. Entah apa maksud kesedihannya saat ini. Apakah dia salah bicara?
"Crys, katakan apa yang kamu mau. Aku akan lakukan apa pun."
Meski terlihat ragu, akhirnya kejujuran itu terungkap dari bibir Crystal. "Gue masih cinta sama Al."
Ruby mengangguk pelan. Walau terasa kecewa, Ruby berusaha tersenyum. Tentu saja. Dia hanya orang baru yang hadir di antara Crystal dan kekasihnya. Apa yang bisa dia harapkan?
Lantas, Ruby terkejut saat Crystal memegang pipinya, meminta perhatian penuh.
"Meskipun masih cinta sama Al, tapi gue berusaha kenal lo lebih jauh. Hidup gue masih panjang, jadi gue masih bisa memilih yang mana lebih baik di antara kalian, kan? Maaf, gue memang egois, tapi inilah hati gue yang sebenarnya, By."
Ruby semakin tak tega. Dia melepaskan tangan Crystal dan perlahan menghapus air mata yang mulai jatuh di pipi gadis itu.
"Ya udah, aku juga gak akan paksa kamu. Kamu benar. Hidup kamu masih panjang dan berhak memilih. Bukan salah kamu juga karena kita cuma terjebak dalam pertunangan ini. Tapi ...."
"Apa kita bisa mulai dari pertemanan dulu?"
Crystal tersenyum dengan sangat cantik. Dia pun mengulurkan tangan agar disambut oleh Ruby.
"Seenggaknya kita berdamai. Aku mau hatiku bisa lebih jernih memilih antara Al atau kamu."
Ruby sedikit tertawa. Crystal benar-benar pandai bermain hati. Tak bisa disalahkan, dia hanya gadis belia yang terjerat akan cinta masa muda.
"Oke! Tapi kenapa aku jadi turun kasta? Padahal dari awal aku tunangan kamu, trus kemarin jadi calon tunangan, sekarang malah cuma jadi temen," sindir Ruby.
Crystal tertawa mendengar protes kecil Ruby. Cantik. Crystal terkejut saat tengkuknya dijangkau oleh Ruby hingga wajah mereka sangat berdekatan. Hanya dahi mereka yang beradu.
"By ...."
"Andai kamu udah delapan belas tahun, aku pasti akan cium kamu sekarang. Ck, aku gak suka milikku disentuh orang lain."
"A-apa?" Crystal merona. Entah kenapa ujar cuek Ruby membuatnya mati gaya.
"Bibir kamu udah ternoda. Harusnya aku bisa cium balik supaya yang tertinggal cuma jejak bibirku."
Blush! Wajah Crystal mulai merah. Dia segera menjauh karena tunangannya itu mahir sekali memainkan gejolak perasaannya. Ruby tersenyum. mengambil tangan Crystal dan mencoba merapatkan jemarinya, menangkup seperti gayung.
"Apaan, sih?" heran Crystal.
Ruby mengisi kungkungan tangan Crystal dengan air mineral, lalu menuntun tangan Crystal untuk membersihkan bibirnya sendiri agar menghilangkan jejak ciuman Emerald.
"Ruby!!!"
Ruby tertawa. Bukan karena ulah bandelnya, tetapi karena noda merah liptin di bibir Crystal hilang dan berpindah ke sekitar mulutnya.
"Aih, kayak badut gitu jadinya," ejek Ruby.
"Jahat!"
Crystal mengambil ponsel dan membuka fitur kamera. Dia melihat tampilan 'cemong'-nya sebab ulah Ruby. Secarik tisu dia tarik dari dalam tas untuk membersihkan wajahnya.
"Liat aja! Aku akan hukum kamu nanti!" omel Ruby.
"Oh ya?"
Crystal meletakkan ponsel-nya di atas rumput. Ruby memperhatikan tampilan wallpaper-nya. Bukan Emerald, sosok pria lain tersenyum di samping Crystal dalam foto itu.
"Cowok mana lagi itu?" sindirnya.
Crystal menoleh ke arah tatapan Ruby. Wallpaper ponsel-nya mengusik batin sang tunangan.
"Oh, itu Kak Arthur."
"Arthur mana?"
"Kakakku."
"Kemarin ga ada waktu pertunangan?"
"Gak ada. Kak Arthur itu Taruna Angkatan Laut di salah satu kampus Surabaya. Jarang pulang, sih. Makanya kemarin dia ga ada."
"Oh, aku ga tau banyak soal keluarga kamu. Kupikir kamu anak tunggal."