Hari mulai larut, Crystal masih uring-uringan sebab kejadian di kamar Ruby tadi mengusik pikirannya. Pernyataan cinta Ruby itu seperti musical doodle yang selalu terngiang di telinganya. Ringtone terdengar di ponsel Crystal. Pesan dari Morgan.
[Eh, lo apain abang gue? Masa hari ini dia senyum-senyum mulu? Gue tanyain, senyum. Gue colong cokelatnya, juga senyum. Pas gue jitak kepalanya, podo wae! Lo dukunin abang gue, ya?]
Crystal terkekeh membaca chat dari adik tunangannya tersebut.
"Apa serius Ruby mulai suka sama gue? Ih, baper gue! Sialan!"
Crystal sungguh kasmaran karena Ruby. Ketika gadis itu hendak membalas chat Morgan, justru terdengar ringtone ponsel-nya. Ada panggilan masuk, nama Ruby muncul di layar.
“Aduh ... kenapa dia nelepon, sih? Trus gue mesti ngomong apa, nih?” racau gadis berambut ikal terurai tersebut.
Crystal sibuk dengan kekacauan hatinya dan belum mengangkat panggilan. Ketika hendak menggeser ikon hijau, panggilan sudah terputus.
“Aih! Niat nelepon ga, sih?” keluhnya.
Crystal tampak menyesal. Dia terus menatap layar ponsel. “Telepon lagi, dong," harapnya.
Nihil. Lima menit berlalu, Ruby tidak menghubunginya lagi.
"Masa, gue yang nelepon? Gengsi, dong! Yang cowok, kan, dia!”
Panggilan masuk lagi. d**a Crystal berdebar karena akhirnya yang ditunggu pun bersambut. Tak mau terlewat lagi, Crystal segera mengangkatnya.
“Ngapain lo hubungin gue?” bentak Crystal dengan nada suara meninggi.
Mungkin di sana, Ruby menjauhkan ponsel dari telinganya karena pekikan itu cukup mengganggu telinganya.
“Crys, apa kamu marah karena aku cium kamu tadi?” sahut Ruby dari seberang panggilan.
Crystal belum menjawab. Seperti orang gila, dia berguling-guling di kasur karena deep voice Ruby sangat memanjakan telinganya.
Sial! Suaranya ini bikin gue lumer aja! Mana ngomongnya sopan banget, sumpah! Apa, sih, dari diri Ruby yang ga bikin gue segila ini? Kalau ketauan gue segitu bapernya sama dia, bisa-bisa dia malah ngejek gue! keluh batin Crystal.
"Crystal ...," sahut Ruby terdengar lagi.
“Marah? Marah kenapa? Asal nanya aja lo!”
“Ya, abisnya kamu bentak aku gitu. Aku pikir kamu marah.”
“Oh, jadi anak Pak Alexander ini gak pernah dibentak sebelumnya, ya? Cuma disayang mulu? Manja banget lo!”
Crystal selalu saja membalas ucapan Ruby dengan kata-kata sengitnya. Terlalu gengsi untuk mengungkap rasa.
"Kayaknya kamu beneran marah karena aku cium tadi. Maaf, lost control aja. Tapi ... iya, sih! Kenapa aku harus minta maaf, aku ga salah, kok!"
"Ruby! Apaan, sih? Ya jelas lo salah! Kenapa lo tiba-tiba cium gue? Lo itu cuma calon tunangan gue! Lo masih ingat, 'kan?"
"Iya, aku tau. Tapi lain kali kamu jangan gitu lagi!"
"Emangnya gue ngapain? Tetap aja lo yang salah."
"Bukan salahku, pokoknya! Itu salah kamu. Mana aku tau kalau kamu nangis, kamu jadi keliatan lebih cantik."
Bruk! Crystal sampai terjatuh dari tempat tidur mendengar pujian Ruby itu. Dia terhenti sejenak, menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia menepuk-nepuk pelan pipinya, mungkin hendak menyadarkannya dari rayuan Ruby tadi.
“Crys, sadar!” ucap Crystal pelan.
Crystal menghela napas pelan, hendak bersiap-siap bicara lagi setelah menstabilkan degup jantungnya.
"Handal banget merayu cewek, nih!" seru Crystal.
"Kenapa? Kamu baper?"
"Ruby Reyansha Alexander!!!"
"Iya, hadir."
"Lo itu nyebelin banget, sumpah!"
"Dan kamu itu manis banget, sumpah!"
Crystal tak bicara lagi. Harus dia akui, Ruby mulai mengusik hatinya yang dulu dimiliki utuh oleh Emerald.
“Kasih aku waktu, Crys, aku yakin kamu bisa bahagia sama aku. Tapi kalau suatu saat nanti aku tetap ga bisa jadi orang yang berarti dalam hidup kamu, mungkin aku akan ingat semuanya dan balik sama dia.”
Klek! Pembicaraan terputus. Kata-kata terakhir Ruby menyesakkan batinnya. Crystal merasa terusik.
Balik sama dia? Siapa? Apa maksudnya cewek lain? batinnya.
Crystal sedikit kesal. Dia menekan nomor ponsel Morgan, menghubungi adik kandung Ruby itu. Panggilan tersambung, Morgan menyahut di seberang sana.
"Oi, ada apa?" sambut Morgan.
“Gan, udah tidur lo?” tanya Crystal.
“Kalau gue tidur, gimana caranya gue ngangkat telepon lo, Crys?"
"Ih, jutek banget."
"Memangnya kenapa kalau gue udah tidur? Mau nemenin?”
“Eh, stres, lo! Bukan itu. Tadi Ruby nelepon gue. Aneh banget yang dibicarain. Kayaknya tadi dia bicara tentang masa lalunya.”
“Trus, kenapa?”
“Ih, nyebelin banget, sih! Masa lo gak ngerti maksud gue?"
“Gue ngerti. Pake banget, malah. Sekarang gue tanya sama lo, apa lo udah mulai penasaran sama kakak gue? Apa lo mulai tertarik?”
Crystal hening sesaat. Dia menunduk sambil memainkan sisi ujung selimut. Nyatanya, dia jatuh cinta pada dua lelaki itu sekaligus.
Gue ga bisa jawab apa pun. Gue takut nyakitin Ruby. Gue belum bisa move on sepenuhnya dari Emerald. Yang gue rasain ke Ruby ini ... apa memang cinta atau cuma karena ketertarikan fisik aja? Ruby terlalu baik kalau cuma untuk jadi pelarian gue, batin Crystal.
Klek! Morgan mengakhiri panggilan. Crystal pun meletakkan ponsel sambil berbaring di kasur. Dua pria dalam satu hati. Bagaimana caranya Crystal memilih? Dia sangat serakah untuk keduanya.
"Gue pengen balikan lagi sama Al. Tapi entah kenapa ... gue tertarik dan pengen milikin Ruby sepenuhnya. Gue harus gimana, sih?"
Kling! Ada nada pesan masuk muncul di layarnya. Crystal melonjak kaget melihat pesan itu. Nama sang kakak muncul di layar. Kak Arthur.
[Crystal sehat? Maaf, ga bisa datang di acara pertunangan kamu. Shock, sih! Adik kecilku ini udah mau jadi calon istri orang. Kakak cemburu, loh!]
Crystal segera keluar untuk mencari mamanya di dapur.
"Ma! Kak Arthur sms aku, nih!" seru Crystal sambil menunjukkan ponsel pada mamanya.
Mamanya tersenyum, membaca pesan singkat itu di ponsel putrinya.
"Coba tanya dia, kapan dapat jadwal libur bisa pulang. Mama kangen banget sama dia," sahut beliau.
"Kak Arthur terakhir kali pulang itu enam bulan lalu. Nanti cuma nginap seminggu, balik lagi ke asrama. Sebel, deh," gerutu Crystal dengan bibir tertaut.
"Ya mau bagaimana lagi. Dia satu-satunya harapan papa untuk nerusin jadi TNI AL kayak kakek dan papamu. Lagian kamu, padahal mama-papa ngarepnya yang lahir itu anak laki-laki, eh, malah brojol anak perempuan."
Crystal cemberut, memeluk bahu sang mama dan menyandarkan dagunya di pundak beliau. "Mama, ih! Harusnya hamil lagi dan kasih adek laki-laki, dong. Tapi bagus, deh! Aku senang mama dan papa bawa Kak Arthur ke rumah ini. Sayang banget sama dia."
Mamanya tertawa, menatap si manja itu duduk di kursi counter sambil mengambil camilan yang tersaji di sana.
"Nanti kalau dia pulang, dia pasti marah karena kamu ga bilang-bilang udah tunangan," ujar mamanya.
"Salah mama-papa, pokoknya!"
Tak mau menyahut lagi, Crystal membalas pesan Arthur. Sudah tak sabar rasanya bertemu kakaknya itu.
[Nanti kalau pulang, harus bilang, ya! Biar aku jemput di bandara. I love you!]
Crystal sangat bahagia karena orang-orang terdekat begitu mencintainya.
Di sisi lain, Morgan hanya tersenyum cuek. Dari lantai atas kamarnya, dia masih melihat Ruby duduk di depan TV di ruang tengah. Sesekali, kakaknya itu membetulkan posisi kacamatanya.
“Apa lo bener-bener udah jatuh cinta sama Crystal, By? Gimana kalau suatu saat dia kembali ke hidup lo? Cepat atau lambat dia akan kembali. Dan di saat itu juga, memori serta perasaan cinta lo akan balik. Karena kata dokter, dia itu kunci untuk mengingat kenangan itu. Trus perasaan lo ke Crystal sekarang bakalan gimana? Bakalan lo campakin gitu aja atau ... lo ngelupain cinta tragis masa lalu lo itu?”
Hanya Morgan dan Keluarga Alexander yang tahu sisi hitam Ruby. Morgan lebih memilih turun dan duduk di samping Ruby. Dia pun mengambil remote dan mengganti layar televisi untuk jadi visual bermain game. Dia mengambil stik kendali game di sisi meja.
“Gan, gak bisa main di kamar? Aku lagi nonton, nih!” pinta Ruby.
“Ya ela, lo kayak udah tua banget. Ngapain nonton bursa saham mulu? Gue tau lo emang lagi prepare buat ngelanjutin perusahaan bokap, tapi ya ga gini juga! Ayo, temenin gue main.”
Morgan mengajak Ruby bermain game. Padahal dia tahu kalau Ruby selalu kalah bermain dengannya. Morgan justru tersenyum melihat wajah bahagia Ruby.
Senyum lo ini apa karena Crystal, By? Apa lo siap mulai semuanya dari awal? batin Morgan.
Menit pun bergulir. Konsentrasinya pecah karena aura bahagia Ruby. Hingga untuk pertama kalinya, Ruby berhasil mengalahkannya dalam permainan handal itu.
“Yes!” seru Ruby.
Morgan tersenyum cuek. “Aih, hebat lo! Gue tadi sengaja kalah. Besok gue traktir!”
“Traktir? Traktir apa?”
“Bibirnya Crystal. Mau?” goda Morgan sambil menjepit dagu Ruby.
Wajah Ruby memerah mendengar ucapan Morgan. Ruby pun sadar bahwa dia mulai menyukai gadis belia itu.
“Ah, ngaco! Udah, ah!” ucap Ruby, menepis tangan Morgan sambil berlalu darinya.
Morgan pun masih memandang punggung Ruby yang mulai menjauhinya. Ruby masuk ke kamar, menutup pintu.
“Lo yang sekarang emang beda dari yang dulu, By. Tapi seenggaknya ... lo yang sekarang itu jauh lebih berpikir jernih. Gue emang kangen sama sikap jahil lo yang dulu, tapi gue benci sama cinta gila lo itu.”
Tabir hitam Ruby akan terbuka seiring waktu. Mampukah Crystal mengungkapkan sekaligus menjadi penyembuh luka Ruby?
*
Esoknya di kelas, Crystal senang karena Intan mulai bicara lagi dengannya, mau mengajaknya bergosip dan pergi ke kantin bersama. Mereka duduk santai di tengah keramaian siswa Golden.
“Semalam waktu gue jalan sama Ruby, dia gak sengaja nabrak mobil si Al. Padahal Ruby udah minta maaf, tapi Al tetap aja ngamuk. Jadi ... gue lebih milih belain Ruby, Tan.”
Intan hampir saja tercekik bakso yang dikunyahnya sedari tadi.
Uhk!
Crystal keki, segera menepuk-nepuk punggung Intan dan memberikan minuman.
"Pelan-pelan aja makannya, Tan. Jangan rakus gitu."
"Sialan!" keluh Intan seraya mendorong mangkuk baksonya. Hilang sudah selera makan. "Lo ini bikin gue pusing aja, sumpah! Pasti sekarang tampang si bule udah kayak singa yang mau nerkam macan.”
“Ya, trus gimana? Kan, ga salah Ruby juga. Dia juga udah minta maaf. Dia–”
“Ada sesuatu di mata lo!” Intan memotong pembicaraan Crystal.
Crystal terkejut, sedikit mengusap-usap matanya. “Ada apa, sih? Ada kotoran di mata gue?”
Intan tersenyum tipis. “Ada cinta di mata lo waktu dari tadi lo ngomongin Ruby.”
Crystal tertegun. Apa segitu kelihatan? Crystal terus bertanya hal yang sama tentang hatinya.
“Ngarang banget, lo. Sekarang, lo harus terus bantuin gue biar Al maafin gue, Tan.”
“Ah, kejadian lo gitu-gitu mulu. Kemarin lo nampar dia. Belum siap yang satunya, sekarang ada aja masalah baru. Bingung, gue,” kesal Intan.
“Please, lo ga bisa usaha dikit, kek.”
“Usaha? Lo usaha apa emangnya? Lo ga ingat ini hari apa?” tanya Intan.
“Hari? Hari Senin.”
Intan tertawa meremehkan. Dia bangkit sambil memegang komik Naruto yang dibacanya tadi. Sesaat, dia mengetuk kepala Crystal dengan komik itu. Buk!
“Intan!” dumel Crystal.
“Ingat dulu, hari apa ini.”
Intan pergi setelah menyisakan tanda tanya di pikiran Crystal. Tak lama, nada alarm terdengar dari ponsel-nya. Pengingat yang muncul justru mengejutkan Crystal.
Noted : Birthday Al. I Love You, Sayang.
Crystal tertegun. Dia lupa kalau hari ini adalah ulang tahun Emerald.
Aku lupa kalau hari ini Al ulang tahun. Mana ga nyiapin kado apa-apa, lagi! gerutunya dalam hati.
Crystal segera masuk ke kelas, sudah ada Intan yang duduk di bangkunya. Di bangku sudut, Emerald hanya terlihat cuek sambil mendengarkan music dari headphone-nya, tak ingin mendengar apa pun lagi suara yang mengganggu pikiran. Crystal merasa bersalah, hanya bisa memandang Emerald dari bangkunya saja.
“Maafin gue, Al. Maaf,” ucap Crystal.
Di sana, Emerald hanya bungkam. Tangannya menulis sebait ungkapan hati di buku tulisnya.
Crys, lo ingat ga kalau hari ini ulang tahun gue? Gue ga nyangka kado dari lo tahun ini bakal nyakitin gue. Ya, kejadian di mall kemarin. Sakit banget, Crys! Apa lo ngerti sakitnya hati gue? Sakitnya ngelihat lo tunangan sama dia itu ga sebanding sama sakit di hati gue sekarang. Sakit saat gue ngeliat ada cinta di mata lo untuk dia. Apa sekarang gue benar-benar udah tersingkir? Apa ini saatnya gue lepasin lo pergi? batin Emerald.
Emerald menarik napas panjang dan menghelanya. Sesak sekali hatinya saat ini. Karena dia tahu, tahun ini malah menjadi tahun kehancuran cinta yang dia bina selama dua tahun ini dengan Crystal.
*
Bel usai pelajaran berdentang. Crystal dan Emerald entah pergi ke mana. Rasanya SMU Golden ini menjadi tempat buruk bagi mereka. Tersisa Intan yang menjadi korban, hanya bisa menyendiri.
"Mereka berdua gak mikirin gue, ya? Galau aja terus! Cinta doang yang dipikirin!" dumelnya.
Siang itu, Intan keluar dari perpustakaan dengan tumpukan buku yang tinggi menghalangi pandangannya menuju ruang guru.
“Minggir! Minggir!” teriak Intan.
Siswa yang lain enggan membantu Intan. Intan itu sedikit tomboy, jadi mereka selalu memberi jarak. Takut saja dibanting atau tangannya dipelintir Intan jika berbuat salah.
BRUKKK!
"Ssshh, sialan!"
Saat di persimpangan lorong, Intan tak sengaja menabrak seseorang. Dia tak terpental, tetapi buku-buku itu jatuh berserakan. Bukannya refleks bertindak, Intan masih membisu. Padahal tumpukan buku setebal kamus itu nyaris membuat Morgan tak bisa berjalan karena buku-buku itu menindih kakinya. Ya, Morgan-lah sang korban.
“Hei?! Gak ada hal yang bisa lo lakuin selain bengong, hah? Kaki gue sakit, nih,” protes Morgan.
Intan segera tersadar dari ilusi fangirling-nya tadi. “Oh, ada.”
Intan segera jongkok untuk mengutip buku-buku itu. Morgan menahan sakit sambil memijat kakinya. Dia sedikit mengernyit, sepertinya kakinya terkilir.
Ni cewek kuat banget, ya? Gue aja yang cowok gini bisa mental, dia baik-baik aja bawa buku setumpuk gini! batinnya.
Morgan memasang wajah jutek, sedikit kesal karena ulah Intan. “Bantuin gue ke UKS. Lo tau, kaki gue ini berharga banget. Gue ada turnamen basket dalam waktu dekat ini,” seru Morgan.
Bukan tak mau bertanggung jawab, justru hatinya yang saat ini bergejolak hebat karena bisa berinteraksi dengan idola yang selama ini dikaguminya.
Si Morgan ini, apa dia ga tau gue udah jantungan banget liat wajah dia dari dekat? gerutu batin Intan.
Morgan adalah playboy kelas atas penguasa SMU Golden. Tentu saja dia hapal betul ekspresi dan wajah merah Intan saat ini.
Ck, pesona gue memang badass banget! Si tomboy ini bisa juga kepincut sama gue, batinnya.
Morgan mencoba berdiri, tetapi kakinya benar-benar sakit. Ketika hampir jatuh, Intan dengan sigap memegang lengannya.
“Gue kira lo ga mau nolongin gue. Ya udah, deh. Thanks, gue sendiri aja ke UKS," ujar Morgan, cuek.
“Eh, jangan. Ini, kan, salah gue.”
“Ya emang salah lo!”
Intan menoleh ke sebelahnya, menarik tangan seorang siswa yang sedari tadi menatap mereka. “Gus, bawain buku ini ke ruangan Bu Nita!”
“Eh, Tan, gue masih ada piket.”
“Piket apaan? Dari tadi lo cuma bengong mulu. Bawa aja, jangan bantah! Daripada gue banting lo. Mau?” ancam Intan dengan ekspresi garang.
“Oke, Neng. Galak amat lo.”
Intan menoleh lagi pada Morgan. Dia hanya bersikap seramah mungkin di depan Morgan. “Sini, gue bantuin. Tapi gimana caranya?”
Morgan melirik tajam, “Gimana apanya? Ya papah gue, dong!”
Morgan menyambar bahu Intan. Dengan sigap, dia meletakkan lengannya ke atas bahu mungil itu.
“Bantu gue!”
Morgan menarik tangan Intan satunya lagi untuk memegang pinggangnya. “Gampang, kan?”
Intan speechless. Ini moment special nan romantis yang terjadi pertama kali dalam hidupnya. Morgan hanya tersenyum. Pelan-pelan, Intan memapah Morgan menuju UKS. Sesekali dia menelan ludah saat Morgan berada dekat di dekat telinganya. Napas Morgan bahkan terasa berat dan mengusik degupan jantungnya.
Dasar Morganteng! Ambil aja, deh, hati gue sekalian. Jahat! gerutunya.
Mereka tiba di UKS. Setibanya di sana, ada petugas yang segera menyambut.
“Loh, kenapa, nih?” tanya pegawai UKS berhijab tersebut.
“Ketimpa buku, Mbak!” seru Intan. Intan hendak pergi, tetapi lengannya ditarik Morgan.
“Mau ke mana lo? Kabur? Tanggung jawab lo belum selesai," kesal Morgan. Lantas, tatapannya beralih ke pegawai UKS tersebut. "Mbak Ira, mending Mbak keluar dulu, biar si cewek ini aja yang tanggung jawab.”
Si petugas UKS menunjukkan raut heran, “Kalian? Berdua aja? Di sini?” curiganya.
“Ya ela, Mbak, emangnya kita ngapain di sini? Udah, deh, percaya aja," tandas Morgan.
Mbak Ira tak bicara lagi, dia keluar. Tinggallah Morgan berdua dengan Intan. Jantung Intan berdegup cepat saat berada di satu ruangan dengan Morgan yang begitu dia puja-puja sejak kelas X.
Mimpi apa gue semalam sampai hari ini gue bisa ngobrol sama Morgan? OMG! Dari dulu, gue udah naksir berat sama anak bungsu Pak Alexander ini, jerit batinnya.
Morgan duduk di kasur. Wajahnya masih kecut, berpura-pura jadi sadis. “Lo anak PMR, kan? Obatin!”
“Gue? Anak PMR? Ngarang lo!”
“Udah, obatin aja kenapa, sih?”
Intan mengangguk, hendak menyentuh kaki Morgan. Tidak. Dia bahkan tak bisa mengontrol jantungnya sendiri.
“Lo kenapa, sih? Emangnya kaki gue kotoran? Sampe-sampe lo jijik megang kaki gue?”
Morgan menarik tangan Intan dan diletakkan di kakinya, “Nih, ga apa-apa, 'kan?”
Intan masih terdiam, Morgan hanya tersenyum sinis khas playboy-nya. Dia membuka dulu sepatu dan kaus kakinya, lalu menatap Intan lagi. “Udah, nih!”
Intan beraksi. Dia sedikit melipat bagian bawah celana Morgan. Terlihat biru di dekat mata kaki dan pergelangan kaki Morgan.
“Ih, sampe biru gini, Gan!”
“Gimana ga biru? Lo liat tumpukan buku lo tadi setebal apa? Malah banyak banget. Lo ini cewek atau binaraga, sih? Bisa bawa buku bertumpuk-tumpuk gitu?”
Intan tak ingin menjawab lagi pertanyaan Morgan. Semakin dia meladeni, semakin banyak Morgan bicara, semakin dahsyat pula efek suara Morgan di hatinya. Dia mengobati lebam kaki Morgan. Senangnya, pasti kali ini akan dia catat dalam postingan akun medsosnya.
“Intan, si Crystal mana?” celetuk Morgan.
Intan terkejut mendengar sapaan Morgan. Mulutnya setengah terbuka.
Benar! Morgan kenal gue. Morgan tahu nama gue. Morgan tahu nama salah satu fans-nya? gumamnya.
Morgan menghela napas. Gadis ini benar tenggelam dalam pesonanya hingga melamun sekian detik. Morgan pun meletakkan telunjuknya di kening Intan untuk menyadarkannya.
“Intan!”
“Lo ... tau nama gue?”
“Ya iyalah gue tau nama lo. Kelas kita juga sebelah-sebelahan ini! Si Intan, cewek XII IPA-1 yang tomboy itu. Yang akrab banget sama si bule kw Emerald. Si Intan yang selalu aja duduk waktu gue tanding atau latihan basket sambil bawa banner untuk support anak-anak Beverly dan yang lain.”
Wajah Intan merah padam, tak tahan lagi jika harus berlama-lama di tempat itu. Dia ingin bergerak, tetapi tangannya ditarik oleh Morgan.
“Belum siap. Lo liat nih jidat gue. Biru juga, kan? Tadi pas kita nabrak, gue jatuh duluan. Bukan cuma kena kaki gue, buku itu juga nimpuk kepala gue. Lo kenapa ga tau, sih? Emang tadi pas kejadian, lo bengong aja?”
Kali ini Intan tak berkutik. Pertanyaan Morgan tak segera dijawab kala ringtone panggilan masuk terdengar dari ponsel leader Beverly itu. Morgan pun menggeser ikon hijau. Panggilan dari Ruby.
"Halo, Gan," sambut Ruby dari seberang sana.
“Lo sibuk, gak? Bisa jemput gue? Gue gak bisa pulang sendirian. Ntar motor gue biar dibawa pulang si Jimmy. Jemput gue pake mobil. Lo ada di rumah, kan?”
“Emangnya lo kenapa?”
“Ada problem dikit. Kaki gue sakit. Tadi gue ditabrak sama cewek cantik.”
Intan tak bisa menahannya lagi. Dia segera mengambil langkah seribu untuk meninggalkan UKS. Morgan tak bisa menahan lagi tawa melihat manisnya tingkah Intan di depannya.
“Oh iya, By! Jemput gue di taman samping sekolah gue, ya! Ada yang mau gue beli di betamart dulu. Tau, kan? Ketemu di situ aja! Bye!”
Morgan mengakhiri panggilan, masih tersenyum kala mengingat Intan.
"Ck, oke ... my next beautiful target! Watch out, Girl!"
*