Crystal tersenyum. Dia sangat suka suasana sore ini, meski sedikit mendung. Lengan atletis Ruby pun menjadi pilihan untuk bersandar. Mereka sudah berjanji untuk berdamai dan membiarkan takdir membawa arah hubungan mereka.
"Memang aku anak tunggal. Kak Arthur itu anak angkat papa. Papaku dulunya TNI Angkatan Laut. Cuma waktu aku umur empat tahun, papa kecelakaan dan harus pensiun dini. Jadi papa mulai bangun perusahaan sendiri. Papa ngangkat anak dari panti asuhan. Jadi sekarang aku punya kakak, deh," ulas Crystal, menceritakan kakak kesayangannya yang bernama Arthur tersebut.
Ruby tak bicara lagi. Dia sedikit menoleh hanya untuk mencium puncak kepala Crystal. Crystal terkejut dan segera menjauh.
"Ih!" serunya seraya memukul lengan Ruby.
"Kenapa? Mau protes? Aku tetap tunangan kamu. Itu terserah kamu kalau kamunya cuma anggap aku teman," ejeknya sambil menjulurkan lidah bernada ejekan.
Ruby ini benar-benar bisa mengontrol hati Crystal. Lantas, pupil mata Ruby membola saat Crystal lebih mendekat ke arahnya. Pria itu terpaksa mundur sambil menyanggah badannya dengan kedua lengan.
"Cuma tiga minggu lagi dan gue akan berumur 18 tahun. Apa lo baru mulai berpikir nyium gue setelah gue 18 tahun, By?" tantang Crystal dengan smirk evil.
Ruby mendecak. Dia mendorong dahi Crystal dengan telunjuknya. Gadis itu tertawa kecil dan kembali duduk santai.
"Jauhan dikit! Aku keringatan. Nanti kamu gak nyaman."
"Lo malu, ih!"
Ruby malas meladeni lagi. Tiba-tiba, rintik turun dari langit. Ruby pun mengambil ransel dan menarik tangan Crystal untuk berteduh di beranda club MAPALA.
"Ruby! Bantuin aku!"
Jerit Nadia terdengar dari sana. Crystal tertawa cekikikan karena gadis centil tadi terabaikan. Saat hendak menembus hujan, Crystal segera menarik tangan Ruby yang berniat ingin membantu teman kuliahnya tersebut.
"Kamu di sini aja! Itu udah ada yang bantuin dia," perintah Crystal.
"Iya-iya."
Hujan semakin deras. Club MAPALA pun kosong, hanya mereka berdua. Crystal sedikit kedinginan karena udara begitu rapat berhembus.
"Mau masuk dulu, gak? Neduh di dalam. Aku mandi dulu," ajak Ruby.
Crystal belum menjawab. Dia sangat canggung karena hanya mereka berdua saja di club itu. Ruby adalah pria dewasa, bagaimana jika dia berniat yang tidak-tidak?
"Itu ...."
"Gak usah takut. Aku gak minat sama anak kecil," gelak Ruby sambil mengacak-acak rambut Crystal.
"Ck! Trus aja lo panggil gue bocah. Tiga minggu lagi akan gue buktikan kalau gue udah dewasa."
"Terserah! Ayo masuk!"
Crystal pun duduk di dalam club. Matanya mengitari seisi ruangan dan melihat berbagai prestasi di rak dinding. Struktur organisasi pada figura itu memperlihatkan bahwa Ruby adalah bendahara di UKM tersebut.
"Aku mau mandi dulu. Nanti kuantar kamu pulang. Jangan ke mana-mana," seru Ruby.
"Memangnya gue mau ke mana? Di luar lagi hujan, kok."
Ruby mengambil pakaiannya dari gantungan. Dia pun pergi ke ruang bilas yang ada di sudut ruangan. Gadis iti menunggu sambil memainkan ponsel-nya. Bosan sekali. Sepuluh menit berlalu, Crystal merasa tak nyaman. Metabolismenya terpengaruh dinginnya cuaca. Dia ingin buang air kecil.
"Aih, toilet di mana, ya? Kebelet banget."
Tak bisa menahannya lagi, Crystal pun bangkit dan mencari toilet. Ada beberapa bilik di sudut. Crystal segera masuk untuk melegakan diri.
Krik! Crystal mendengar suara pintu toilet terbuka di sebelahnya. Mungkin Ruby sudah selesai mandi. Ruby pun masuk ke ruangan loker di sebelah toilet untuk merapikan diri.
Crystal keluar dari toilet terburu-buru karena sedikit merinding sebab hari mulai senja. Lampu di club juga sedikit temaram.
Saat berjalan keluar, Crystal berpapasan dengan Ruby. Crystal terkejut karena Ruby belum memakai baju, hanya celana saja. Wajahnya mulai merah dan gugup karena tak sengaja melihat Ruby bertelanjang d**a.
"Ngapain kamu di sini?" bidik Ruby.
Crystal sedikit menunduk. Tentu sangat gugup karena dia disuguhkan pemandangan yang memanjakan mata. Tangannya mengerat kuat, menelan ludah saja terasa sangat sulit.
Oh, God! Liat otot dadanya, bisep-nya, abs-nya juga. Bakalan gak bisa tidur malam nih, gue. Dasar, Oppa Korea! gumam batin Crystal.
Ruby tersenyum karena sepertinya Crystal sangat malu. Bukannya menjauh, Ruby justru mendekati Crystal. Crystal mundur beberapa langkah hingga dia merapat ke dinding. Ruby pun meletakkan dua tangannya di dinding, seakan mengunci pergerakan Crystal.
"Kenapa? Malu? Katanya tadi udah dewasa. Sekarang liat aku gak pakai baju gini, malu?" goda Ruby.
Crystal sangat kesal karena Ruby terus menggodanya. Dibanding Emerald, tentu saja pria dewasa ini lebih menggoda. Bidang bahunya yang lebar dan otot di sana-sini, Crystal sampai menelan ludah.
"Jauhan dikit, ih!" kesal Crystal.
Ruby tertawa melihat ekspresi Crystal. Dia pun berbalik dan menjauhi sang tunangan. Apakah Crystal akan melewatkan kesempatan semudah itu?
Ruby terkejut saat Crystal memeluknya dari belakang. Punggung Ruby cukup lebar dan hangat untuk dia bersandar. Tangannya juga melingkar di perut Ruby.
"Hei, Bocah! Jangan peluk-peluk sembarangan," seru Ruby.
"Aku mulai suka kamu, tapi aku belum bisa move on dari Al. Aku harus gimana, sih?"
Ruby tersenyum mendengar pengakuan jujur Crystal. Dia pun berbalik untuk bisa memberi jawaban pada Crystal.
"Aku baik-baik aja. Kalau kamu suka sama aku, wajar! Banyak cewek yang juga suka sama aku karena aku ganteng dan tajir."
"Ruby! Aku serius, ih!" serunya seraya memukul pelan d**a Ruby.
Gadis itu mulai cemberut saat Ruby mencubit pipinya. "Tapi kamu masih belum dewasa, Crys. Kamu masih punya kesempatan untuk memilih. Apa kamu tau kalau setelah lulus nanti, kita akan menikah?"
Crystal terkejut. Dia bahkan tak tahu ada rencana itu kedepannya.
"Nikah? Tamat SMU? Serius?"
Ruby melepaskan cubitannya. Bibirnya melengkung tipis. "Iya. Tapi kalau kamu belum siap, mereka ngasih waktu sampai aku lulus tahun depan. Dan sepanjang itu ... tolong pikirkan baik-baik. Memang mereka yang ngatur semuanya, tapi aku berhak batalin secara sepihak."
Crystal terkejut dengan ketegasan tatapan Ruby. Selama ini dia semena-mena, tak tahu bahwa Ruby adalah pemegang kendali penuh atas pertunangan mereka.
"Aku izinkan kamu bermain sekarang. Silakan cintai mantanmu dan mulai tertarik padaku. Itu pilihan kamu. Tapi sampai nanti waktunya ... aku yang akan tentukan apa aku akan nikah sama kamu atau gak."
"Ruby ...."
"Aku ini ... egois. Aku gak akan bisa kalau harus berbagi hati kamu dengan cowok lain."
Setelah mengatakan itu, Ruby pergi meninggalkannya. Detik mengisi keheningan Crystal dengan berpikir. Sembari menunggu Ruby, Crystal hanya menunduk. Semuanya mulai terasa kacau karena hatinya mulai terbagi.
Aku gak mau lepasin Ruby, tapi aku juga berharap bisa berhubungan baik sama Al. Aku masih lebih cinta sama Al, tapi aku selalu terus-terusan tertarik sama Ruby. Aku harus gimana? batinnya.
Lima menit kemudian, hujan berhenti turun. Ruby pun sudah bersiap dan mengajak Crystal keluar dari club agar dia bisa mengunci pintu. Hari sudah semakin sore. Sepanjang perjalanan kemudi, Crystal hanya menatap serius wajah Ruby. Tunangannya itu enggan bicara
Aku gak tau. Tapi entah kenapa ... kamu masih misteri. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan, By? gumam batin Crystal.
*
Hari sudah mulai senja. Pelataran SMU Golden sunyi, hanya beberapa siswa yang ikutan ekskul yang pulang sedikit terlambat. Tampak Morgan berdiri di dekat pagar sekolah. Wajahnya sangat cemas, tak ada satu pun anak Beverly bersamanya.
“Awas lo, By. Sampe rumah, gue jotos lo!”
Melihat Morgan sedikit kesakitan, seorang siswi melintas dan berniat memegang lengannya.
“Mau gue bantuin, Gan?”
“It's oke. Gue udah gak apa-apa, kok,” tolak Morgan.
“Yakin, Gan?”
“Of course, girl!”
Gadis itu berlalu. Morgan masih kesal, mengoceh tak jelas karena tak ada satu pun yang bisa dia harapkan. Morgan mengambil ponsel dan menghubungi Jimmy.
“Lo gila, ya. Tadi, kan, gue suruh lo antar motor gue. Sekarang gue gimana pulangnya? Ruby dari tadi gue hubungin gak diangkat-angkat" cerocos Morgan ketika Jimmy mengangkat panggilannya.
“Sori. Gue lagi jalan sama Diana. Dia ngambek, minta dianterin ke mall. Masa lo tega gangguin kesenangan temen lo sendiri?” sahut Jimmy dari seberang telepon.
“Kesenangan jidat lo! Lo gak mikirin gue, apa?”
“Hubungin Davin aja!”
Klek! Panggilan terputus sepihak. Morgan kesal karena motornya masih terparkir di sana.
"Kalau tadi dia bawa motor gue pulang, gue bisa naik taksi! Dasar sial lo, Jim!"
Panggilan selanjutnya beralih pada Davin. Tampang Morgan sudah seperti singa mengamuk.
"Halo, Gan!" sambut Davin saat mengangkat panggilan.
“Lo lagi di mana? Gak bisa balik ke sekolah?"
"Gue gak bisa pulang, nih."
"Tega kalian! Ini gue pulangnya gimana?!"
“Aduh, ribet banget, sih? Lo bawa sendiri, lah, motor lo. Kalau ada anak-anak yang laen, minta anter aja. Gue lagi di jalan sama Bella. Jangan gangguin orang pacaran, dong!”
Panggilan diakhiri lagi.
Sedari tadi, Intan melihat dari kejauhan dan masih teringat insiden tabrakan itu. Dia jadi takut Morgan akan memarahinya karena dialah sang biang kerok. Dia berjalan perlahan hendak melewati pagar. Sambil mengangkat tasnya, dia menutupi sedikit wajahnya agar bisa melewati Morgan.
Menyadari Intan yang hendak kabur, Morgan menarik kerah kemeja seragam Intan dari belakang.
“Eh ....”
“Mau ke mana lo, Tan?” seru Morgan.
Intan memasang wajah kesal karena aksi Morgan tadi hampir membuatnya tercekik. Dia menghempaskan tangan Morgan.
“Sialan lo! Narik-narik baju gue aja. Lo gak tau gue hampir tercekik? Masa gara-gara gue timpuk kaki lo, lo mau bunuh gue? Atau jangan-jangan, ntar gue masuk koran karena ngejahilin anak bungsu keluarga Alexander? Atau yang paling parah, gue bakalan di penjara dan ....”
Intan tak bisa bicara sebab jantungnya semakin berdebar. Malas mendengar ocehan Intan, Morgan menarik bibir gadis itu dengan kaitan jemarinya.
“Ini bibir sexi ... jangan digunain untuk nyerocos aja. Gak baik. Lebih bagus kalau gue cipok," goda Morgan, seenaknya.
Intan pun menepis tangan Morgan. Bukan karena marah, tetapi takut saja hatinya disadari oleh Morgan.
Intan membersihkan bibirnya dengan punggung tangannya. Ekspresinya bercampur antara kesal ataupun lumer karena dijahili Morgan.
“Lo mau ke mana, Tan?”
“Mau pulanglah! Emangnya gue Mak Kunti yang jadi penunggu sekolah?”
“Lo bisa bawa motor? Lo pulang naik ojek, kan? Sekarang, lo antar gue pulang pake motor gue.”
Intan terkejut mendengar perintah Morgan.
Aih, maksudnya ... semotor? Boncengan? jerit batin Intan.
Morgan menepuk lengan Intan karena sepertinya gadis itu melamun.
"Oi!"
"Ah? Apa? Gue gak salah denger, 'kan? Gue memang bisa naik motor, sih, tapi ... lo yakin gue harus bawa motor ninja kawasaki lo yang hitam itu? Yang gede itu n platnya B 126 AN?”
Morgan keki mendengar detailnya informasi yang disampaikan Intan.
Nih anak segitu ngefans-nya sampai plat motor gue aja dia hapal, batinnya.
Morgan tersenyum tipis. “Dasar, Spy Girl! Plat motor gue aja, lo hapal.”
Intan cemberut, tertebak sekali bahwa selama ini dia mengintai Morgan. Morgan segera menarik tangan Intan, langkahnya tak terlalu cepat. Dia terlihat menyeret kakinya karena masih sakit tertimpa buku-buku tebal yang jumlahnya entah berapa.
“Nih!” Morgan menyerahkan kunci motornya ke tangan Intan.
“Yakin, mesti gue yang bawa?”
“Kenapa? Lo, kan, bisa bawa motor. Gue pernah ngelihat lo bawa motornya si Emerald yang gede itu!"
“Sekarang, siapa yang Spy Boy?” ejek Intan karena ternyata Morgan tahu dia pernah membawa motornya Emerald.
Tak mau Morgan mengoceh lebih panjang, atau karena takut berurusan dengan keluarga Alexander, Intan segera menyambar kuncinya.
“Lagian kenapa, sih? Cuma kaki segitu doang sampai gak bisa bawa motor,” kesal Intan.
“Eh, Non! Gue itu bawa motor segede ini, gue perlu kaki untuk injek sana-sini. Kalau gue tadi pake matic, tentu gak jadi masalah. Emangnya lo mau, gue tabrakan cuma gara-gara gak bisa ngendaliin motor karena kaki gue sakit?”
Intan mengangguk setuju. Tentu saja, kalau terjadi apa-apa pada pangerannya ini, dia juga yang sedih 7 hari 7 malam.
“Jadi ... gue di depan dan lo di belakang? Ck! Gak jaim, lo? Kayak gak ada harga diri,” ungkap Intan.
“Lo pikir gue peduli? Lo pikir, kegantengan selangit gue ini bakalan runtuh cuma karena gue duduk di boncengan? Masih banyak Beverlous lain yang antri buat gue. Termasuk lo!” ucap Morgan sambil menyentuh dahi Intan dengan telunjuknya.
Intan kesal karena hatinya jadi kelimpungan sebab Morgan. Dia segera mengambil kendali motor itu, sebagai supir. Saat Morgan hendak duduk di belakang, Intan segera melirik tajam.
“Eits! Jangan ambil kesempatan! Awas aja kalo lo pegang-pegang pinggul gue!” protes Intan.
“Gue kalau mau megang, liat-liat ceweknya juga, kale.”
Morgan sedikit mendesis, menimbulkan kekhawatiran Intan.
“Lo kenapa? Masih sakit banget, ya?” cemas Intan.
Morgan mengangguk, “Gue takut ada yang patah atau tergeser. Lo bisa balap, 'kan?”
Intan tak bicara lagi. Enggan terjadi apa-apa, dia segera melajukan sepeda motornya.
“Gue mau balap. Pegangan!” seru gadis tomboy tersebut.
Morgan tersenyum tipis. Dia sadar bahwa Intan benar-benar grogi. Sepeda motor pun melaju dengan kecepatan sedang. Ketika Morgan memegang pinggulnya, Intan justru terkejut. Hampir saja sepeda motornya miring kanan-kiri dan kehilangan kendali.
“Buset! Lo ini sebenarnya mau nganter gue ke rumah atau ke kuburan, sih?” teriak Morgan.
Intan tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya, semua seperti mimpi. Dia berharap jalan raya ini memanjang beratus-ratus kilometer agar perjalanan lebih panjang dan lama.
Oh Tuhan! Mimpi apa semalam? Seharian ini, gue berurusan sama pangeran tercinta gue, batin Intan.
*