episode 6

1842 Words
Gadis tersebut masih menatap jendela kaca berukuran besar yang berada dihadapannya. Hari ini dirinya ikut tante Khanza pulang ke kediamannya. tatapannya tajam pada satu titik tapi siapa yang menyangka jika saat ini fikirannya sedang kosong. "Gimana sayang, apa kamu menyukai kamarnya?" Tanya tante Khanza yang datang membawa beberapa perlengkapan kamar mandi untuknya. "Ini sudah sangat bagus buat aku tante. Maafin Nana yah tante, sudah bikin tante repot terus" Ucap Nana dengan nada tidak enak. Iya berbalik mengambil alih barang yang dibawa tante Khanza. "Biar Nana aja yang atur tante, Nana sudah sangat bersyukur tante mau menerima Nana tinggal disini. Kalau tidak bertemu tante, Nana tidak tahu sekarang apa yang Nana alami." Ucap Nana sambil menata barang di tempatnya. "Siapa bilang kamu merepotkan tante. Justru tante merasa senang bisa ada teman dirumah." Khanza ikut merapikan barang-barang yang ada di kamar yang akan menjadi tempat Nana. Keadaannya sudah membaik, setelah tiga hari dirinya beristirahat. Hari ini dia akan bekerja di restoran tempat tante Khanza juga bekerja. Menurut cerita tante Khanza, dirinya sudah cukup lama bekerja ditempat tersebut. Pemiliknya sangat baik bahkan sudah seperti keluarga buat tante. Dari awal bekerja disana tante hanya sebagai kasir, tapi jabatan tante naik step by step hingga sekarang dirinya menjadi kepala chef di resto tersebut. Tante khanza hebat bukan? "Jadi Nana nanti tugas Nana hanya mengantarkan pesanan yah sama pengunjung. Beberapa hari yang lalu tante sudah bicara sama pemilik resto, mereka meminta data Nana." "Tapi Nana tidak punya tante" Sahut Nana dengan raut wajah gelisah. "Aduh, gimana dong? Sudah nggak usah difikirkan, kamu ikut tante aja dulu. Sebentar tante bicarakan kembali yah dengan Mbak Chaira."Khanza menenangkan Nana yang terlihat mulai gelisah. Nana sudah berada diresto pagi ini bersama Khanza, mereka langsung menuju ruang kerja Khanza yang berada dibagian belakang. Dianna menatap takjub tempat yang sedang iya pijak. "Tempatnya bagus banget yah tante " Seru Dianna. "Iya sayang, kami memang mengedepankan kenyamanan pengunjung. Jika mereka nyaman, mereka akan datang setiap saat. Hal itu tentu saja menguntungkan buat kita. Sama hal nanti jika Nana sudah kerja disini, Nana harus menjaga sikap agar tetap membuat pengunjung merasa nyaman." Khanza menjelaskan sedikit mengenai tehnik pelayaanan yang baik, agar pengunjung merasa puas. "Kamu disini dulu yah sayang. Tante mau liat ibu sudah datang atau belum" Khanza berlalu meninggalkan Nana yang masih harap-harap cemas. Bekerja disini memang satu-satunya harapannya saat ini. Kebaikan tante Khanza memberinya tumpangan membuat hidupnya lebih mudah. Uang gajinya akan iya tabung jika suatu saat dirinya memiliki kebutuhan mendadak. Ia berharap besar, suatu hari nanti bisa kembali melanjutkan pendidikannya yang tertunda saat ini. "Khanza sayang, ayok ikut tante ketemu ibu pemilik resto ini" Ekspresi ragu di wajah Nana sangat jelas. Dalam bayangannya, iya takut jika diinterogasi terlalu mendalam oleh pemilik tempat tersebut. "Kamu tenang saja. Tante sudah bicara tentang kamu sesuai pengetahuan tante. Nanti jika ibu bertanya, jawab saja. Ibu baik kok orangnya. Namanya ibu Chairani." mereka berdua berjalan menuju ruang ibu Chairani yang terletak dilantai atas. Khanza sedikit bercerita tentang boss mereka, mengenai keseharian dan kelebaikannya selama ini. Setelah mendengar biografi singkat tentang pemilik restoran tersebut, Nana akhirnya menurut. Semoga saja ucapan tante Khanza benar. "Assalamualaikum, ini bu saya sudah bawa orangnya. Nana boleh disini dulu yah, tante mau kebelakang melihat persiapan hari ini." "Iya tante. Terimakasih" Jawab Nana dengan sopan. "Silahkan duduk Nana" Suara lembut terucap dari bibir wanita berhijab dihadapannya. Menurut Nana, wanita tercantik yang pernah iya lihat sepanjang hidupnya. Nana duduk dikursi kosong yang berada di depan meja kerja ibu Chaira. Pandangannya tertunduk ketika dirinya ketahuan sedang mengagumi wajah cantik dihadapannya. "Namanya siapa tadi?" Tanya Chaira. "Nama saya Nana bu" Jawab Nana, ia memberanikan diri mengangkat wajahnya. "Ibu bisa liat kartu pengenal Nana?" "Emm.. Saya minta maaf bu, tapi saya belum punya KTP " "Kenapa bisa, umur kamu sekarang berapa tahun?" "15 tahun bu sebentar lagi 16" Jawab Nana. "Lho masih 16 tahun. Kenapa harus bekerja? anak ibu juga seusia kamu sekarang mereka masih sekolah kelas dua tingkat atas" Wajah Nana berubah sedih mendengar cerita tersebut. Dirinya juga ingin sekali bersekolah, menyelesaikan pendidikan dasar yang bersisa dua tahun. Tapi tanpa biaya sama saja tidak ada yang bisa iya lakukan. Pembahasan mengenai sekolah dan orang tua merupakan hal yang sensitif buat dirinya. "Maaf kalau ucapan ibu membuatmu sedih. Maksud ibu bukan seperti itu, ibu mungkin salah bicara. Sekarang ibu mau dengar alasan Nana kenapa ingin bekerja, padahal saat ini seharusnya Nana mengejar pendidikan!" "Saya juga dulunya bersekolah bu di kampung, tapi karena masalah biaya saya harus putus sekolah karena itu. Tujuan saya ingin bekerja untuk menabung agar bisa mengejar kembali pendidikan saya yang sempat tertinggal." Ucapnya dengan nada penuh keyakinan. "Memang Nana dari mana asalnya?" Tanya ibu Chaira. "Dari kampung bu" Nana kemudian menceritakan secara singkat daerah yang menjadi tempat tinggalnya bersama nenek Farida selama lebih sepuluh tahun terakhir. "Karena niat Nana yang begitu besar, ibu memberi kesempatan kepada Nana untuk bekerja. Jika nanti Nana sudah punya tabungan ibu berharap Nana bisa segera melanjutkan sekolahnya kembali. Sekarang sudah lebih mudah, untuk mengejar ketertinggalan ada less dan kursus yang bisa lebih memudahkan. Jadi ibu sangat berharap Nana tidak menunda waktu untuk sekolah, jika Nana masih tetap ingin bekerja bisa setelah pulang sekolah datang kesini lagi. Semoga Nana bisa menjadi orang sukses nantinya." Ucap Chaira. Dirinya sebenarnya prihatin melihat anak remaja dihadapannya, namun tekad gadis tersebut sangat kuat. Iya akan memberinya kesempatan, sambil melihat seperti apa potensi dirinya kedepan. Iya berjanji akan ikut mendukung Nana jika memang serius ingin kembali untuk mengenyam bangku pendidikannya. "Sekarang Nana temui tantenya, terus minta seragam yah!" "Baik bu, terimakasih banyak atas kesempatan yang ibu berikan" Nana bangkit dari duduknya lalu sedikit membungkukkan badannya di hadapan Chaira. Chaira menganggukkan kepalanya iya menyukai sikap sopan dan menghargai yang ditunjukkan oleh Nana. Setelah berpamitan, Nana kembali keruangan kerja tante Khanza untuk meminta seragam sesuai dengan yang ibu Chairani sampaikan padanya. "Kamu sudah datang, ibu bilang apa?" Tanya Khanza yang sudah mendapati Nana berdiri dihadapannya. "Disuruh minta seragam sama tante" "Iya.. sebentar" Khanza memanggil Anita yang mengurusi bagian seragam. "Nit.. Nita, bawa satu pasang seragamnya kemari yah. " "Kamu tunggu disini yah sayang." **** Hari ini Nana ikut bersama Khanza jogging di sepanjang jalan yang menjadi lokasi Car Free Day. Pemerintah setempat menetapkan hari minggu sebagai hari bebas kendaraan sampai pukul sepuluh pagi. Selain bisa berolah raga, tedapat banyak pameran dari penjual mulai dari pakaian, mainan atau makanan khas daerah maupun makanan kekinian yang sedang digemari oleh kaum remaja maupun dewasa sekarang. "Nana mau makan dulu atau gimana?" Khanza bertanya kepada Nana yang lebih banyak diam sejak mereka berjalan. "Nana tidak biasa makan kalau masih pagi tante" jawab Khanza, iya menghentikan langkahnya ketika melihat tante Khanza singgah sambil melihat sisi kanan kiri yang sudah dipenuhi berbagai macam lapak jualan. "Kalau gitu temanin tante sarapan, mau yah? Tante yang traktir kok" "Baiklah kalau tantenya yang maksa" ucapnya lalu tertawa terbahak bahak. Kurang lebih lima bulan tinggal bersama, mereka terlihat sangat akrab, bak ibu dan anak. Nana tampak sangat nyaman dengan Khanza yang memanjakannya seperti seorang ibu pada anaknya, sedang Khanza merasa bersyukur dengan kehadiran Nana yang membuat suasana rumahnya tidak sepi lagi. Sekarang mereka sudah saling melengkapi satu sama lain dalam segala hal. Umur Dianna yang masih remaja tapi bersikap dewasa cukup bisa mengimbangi Khanza. "Eh ada ibu juga" Nana menyapa ibu bossnya yang sudah berdiri dihadapannya sambil menggendong bayi laki laki yang sangat tampan. "Haii Nana, wahh saya tidak menyangka bisa bertemu kalian juga disini." Chaira membalas sapaan Nana. "Haii Syaqiill.." Khanza menyapa Shaqiil yang berada digendongan mommynya. Shaqiil merupakan putra sulung dari bossnya tersebut, usianya menuju dua tahun. Bayi tersebut nampak sangat manis dan menggemaskan. "Mbak berdua aja sama shaqill?" Khanza menoleh kanan kiri tapi tidak menemukan suami bossnya berada diantara mereka. "Kami ramai-ramai, yang lain ikut sama ayahnya. Mereka sarapan disana, sedang Shaqiil mau jalan cari mainan" "Adek Shaqill imut banget sih" Nana tidak menyangka jika niatnya memuji anak ibu bossnya membuat anak tersebut ingin berada dalam gendongannya. Bahkan Shaqiil sudah menangis karena Nana tidak mengambilnya. "Mau di gendong sama kakak Nana yah?" ucap Chaira sambil menenangkan anaknya yang tiba-tiba rewel ingin berpindah gendongan. "Tapi kakak lagi keringetan sayang. Bentar yah kakak cuci tangan dulu." Ucap Nana. Nana segera beranjak menuju tempat cuci tangan yang sudah disiapkan oleh penyelenggara di beberpaa tempat terjangkau. Baru saja dirinya berlalu Seorang laki-laki datang menghampiri mereka. Diusianya yang cukup matang, wajah dan perawakannya masih tetap segar dipandang mata. "Mom pulang yuk, anak-anak sudah bosan katanya. Dari tadi pada ngeluh minta pulang." ucapan tersebut tentu saja iya tujukan untuk Chaira. "Ihh.. itu bocah. Mereka datang kesini emang bukan niat mau olahraga tapi mereka sekedar mau jajan saja." Chaira menggerutu sambil memegangi kepalanya. Sikap anak-anaknya memang sangat susah untuk ditebak. Tadi justru merekalah yang memaksa dirinya agar ikut berolahraga, tapi lihat sekarang bahkan mereka belum memulainya tapi semua sudah minta mau pulang. "Khanza, mbak pulang duluan yah. Sampaikan ke Nana lain kali baru main sama Shaqiil. Anak-anak sudah pada mau pulang." Setelah berpamitan Chaira berlalu dengan Shaqiil yang berada digendongan ayahnya. "Kami duluan yah Khanza" Pamit suami Chaira. "Iya kak, mbak Chaira dadahhh Shaqiil" Khanza melambaikan tangannya membalas lambaian tangan bo ah imut yang berada dalam gendongan ayahnya. Tidak lama setelah itu, Nana juga sudah berada dihadapan Khanza yang masih terus menatap punggung mereka bertiga dari belakang. "Shaqiil udah pulang tante?" Tanya Nana. "Iya, ayahnya datang. Katanya mereka beramai-ramai kesini tapi mereka sudah mau pulang, ayok makan dulu baru kita pulang juga" Dianna mengikuti langkah Khanza, iya berjalan mensejajari posisi tantenya. " Kamu belum ketemu bapak yah, suami mbak Chaira, dia juga baik banget orangnya. Mereka klop banget sama sama baik dan juga saling melengkapi satu sama lain. Kisah cinta mereka juga seru, kalau di sinetronkan mungkin mengalahkan ikatan cinta yang lagi booming sekarang" Dianna hanya menarik senyumnya mendengar Khanza bercerita banyak tentang boss mereka. Terlihat jelas jika Khanza cukup mengagumi Chaira. "Btw Nana mau sarapan apa?" "Terserah tante mau apa, Nana ikut aja" "Kalau begitu, mari kita makan bubur ayam kesukaan tante, dijamin enak dan pasti bikin nagih." Nana ikut berlari-lari kecil mengikuti gerakan langkah tante Khanza. Setelah sarapan tadi, mereka akhirnya kembali kerumah untuk beristirahat. Nana terus dibayang-bayangi sebuah pemandangan yang sempat membuat matanya tertegun. Seseorang yang sangat mirip sekali dengan ayahnya yang iya lihat pada saat akan pulang ke rumah tadi. Mereka nampak sangat bahagia berada dalam satu mobil bersama beberapa anggota keluarganya. Nana bahkan menghentikan langkahnya sejenak, agar bisa memastikan bahwa yang iya lihat memang benar ayahnya, tapi sayang hanya ayahnya satu-satunya orang yang bisa iya kenali karena posisi kaca lain yang sedang tertutup. "Mana janji ayah..?" Ucapnya dengan nada yang pilu. "Nana harus bagaimana?" Air matanya mulai tumpah. "Ayah satu-satunya yang Nana punya saat ini. Tapi ayah bahkan tidak pernah mencari tahu tentangku" Nana mencoba membuat dirinya tegar. "Ayah bahagia tanpa Nana, apa memang kehadiran Nana yang menjadi sumber masalah dalam hidup ayah?"Ia mencoba menghapus bening dari sudut matanya. "Maafkan aku ayah.. Aku belum bisa mengerti perasaanku saat ini yang entah kecewa, sedih atau senang" "Jika ayah sudah bahagia, Nana cukup melihat ayah dari jauh saja." Nana terus mencoba menguatkan dirinya, ia harus yakin bisa melewati semua ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD