chapter 5

1869 Words
"Kamu mau kemana, mengajukan cuti sampai dua minggu" bunda Andira menghampiri Farhan yang sudah akan masuk kedalam mobilnya. "Aku akan membawa Dianna berjalan- jalan menghabiskan masa liburan sekolahnya. Dia berhasil menjadi juara satu di kelasnya. Aku hanya memberinya hadiah kecil untuk berlibur" Jawab Farhan ketika sang ibunda menghampirinya. "Oh ya.. putrimu sudah sebesar itu, dia sudah bersekolah?" Andira bertanya dengan suara pelan seolah pertanyaan tersebut hanya ia tujukan untuk dirinya sendiri. "Iya bunda, dia anak yang pandai, cerdas dan pintar. Saat ini sudah masuk TK dan dia sangat cantik. Bunda akan menyesal jika tidak berniat mengunjunginya." Farhan memasukkan kedua tangannya ke kantong saku celananya. Ia mencoba menarik nafas yang dalam lalu menghembuskannya dengan pelan. Ia terkadang merasa sedih memikirkan nasib putri sulungnya tersebut, sudah selama ini namun orang tuanya belum berniat untuk menerimanya. "Bunda juga sebenarnya ingin sekali melihatnya secara langsung nak. Bagaimanapun dia cucu bunda, hanya saja saat ini belum saatnya. Mungkin setelah liburan kalian berakhir ayah dan bunda akan mengunjunginya secara langsung" Ucap Andira. "Benarkah bunda? Terimakasih. Dianna pasti akan sangat senang" Farhan langsung memeluk bundanya dengan sangat erat. Bahagianya semakin terasa lengkap ketika kedua orang tuanya sudah mulai membuka jalan untuk bertemu dengan anaknya. Dengan begitu Dianna tidak akan merasakan kesepian lagi karena sudah memiliki keluarga yang cukup.Selama ini hanya nenek Farida yang ia kenal sebagai keluarganya. Farhan mengemudikan mobilnya dengan santai. Suasana macet tidak membuatnya bosan untuk melewati perjalanan menuju kediaman mama Farida, yang sudah menjadi mantan mertuanya. Setelah hampir satu jam menghabiskan waktu melewati arus macet, dirinya sudah tiba dirumah tempat Dianna tinggal. "Ayah, semua sudah lengkap. Dianna sudah membereskan semua barang-barang yang akan kita bawa" Dianna menyambut kedatangan ayahnya dengan sangat antusias. "Wah.. apa Dianna melakukan ini sendiri?" Tanya Farhan "He.. he.. Dibantu sama nenek sih yah" Dianna menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman yang cukup mengagumkan. "Nenek ada dimana?" Farhan bertanya pada putrinya. Sejak iya sampai, dirinya belum melihat keberadaan mama Farida. "Ada di belakang yah" Dianna menunjuk kearah teras halaman belakang. "Nana main dulu yah sebentar. Ayah mau nemuin nenek" "Okey ayah" Dianna kembali memainkan bonekanya yang sudah iya kumpul disebuah rak dengan rapi. Karena ayahnya masih ada keperluan iya pun kembali memainkannya. Farhan menemui mama Farida yang berada dihalaman belakang rumahnya. Tampak mama Farida sedang menyirami tanamannya dengan semprotan air yang langsung dari selangnya. "Mama kenapa nggak ikut bareng kami?" "Maafkan mama nak, tapi mama sangat menyayangi tanaman mama yang sudah mama rawat hingga tumbuh sesubur ini. Mama tidak ingin saat kembali dari liburan, justru mama akan kehilangan mereka. Kalian pergilah berdua. Kapan lagi kalian punya waktu panjang untuk bersenang-senang berdua." Mama Farida memang sangat menyayangi tanamannya. Semua bunga yang ditanam tumbuh dengan sangat subur. "Iya mama benar. Kalau begitu saya cek barang Dianna dulu ma. Takut dia bawanya terlalu banyak" Bagaimana Farhan tidak curiga, kehebohan Dianna mengeluarkan semua isi lemarinya untuk dibawa liburan masih sangat membekas di ingatannya. "Kamu tenang saja tadi mama yang sudah menyiapkannya. Barang bawaannya hanya satu koper kok. Jam berapa kalian akan berangkat ke bandara?" "Sekarang ma, takutnya jalanan macet. tadi saya sudah pesan tiket penerbangannya dua jam dari sekarang." "Kalau begitu mama akan bantu Dianna segera bersiap" Mereka sudah berada di Bandara, menunggu pesawat akan segera berangkat. Dianna deg-deg sekaligus bahagia karena ini adalah pengalaman pertama bagi dirinya mengendarai burung raksasa berbadan besi tersebut. Melihat beberapa pramugari yang ramai berseliweran dan memiliki wajah cantik membuatnya ingin menjadi seperti mereka. "Ayah, mereka cantik-cantik!" Seru Dianna, Ia tidak berkedip memandangi para pramugari yang sedang bersiap menghadapi penerbangannya. "Hm.. " Farhan tidak menanggapi ucapan putrinya. Saat ini dirinya belum pernah melihat wanita cantik yang sesuai dengan kriterianya. "Yah, Dianna juga pengen seperti mereka" Ucap Dianna sambil terus menyunggingkan senyumnya. "Maksud Nana, Nana mau jadi Pramugari?" Tanya Farhan. "Iya yah" Ucapnya menganggukkan kepala. "Belajar yang rajin dulu, agar bisa meraih cita-cita di masa depan nanti." Farhan menguspa kepala putrinya dwngan lembut. "Tapi Dianna mau jadi pramugari yah. Boleh yah" Dianna menatap wajah ayahnya seolah dirinya sedang memohon ijinnya. "Boleh" Farhan menyetujui ucapan putrinya, karena ia sangat tahu puterinya seperti apa jika keinginannya ditolak. Dia akan tetap kekeh mempertahankan apa yang menurutnya benar selama tidak merugikan orang lain. **** Dianna dan ayahnya sudah berada di Jakarta saat malam larut. Mereka langsung menuju hotel untuk segera beristirahat. Tenaganya harus pulih karena akan membawa Dianna bermain sepuasnya dikeesokan harinya. Setelah membaringkan Dianna ketempat tidur, dirinya merenggangkan otot ototnya terlebih dulu. "Akhh.." Punggungnya sedikit berbunyi ketika merenggangkan badannya. "Ternyata kamu, sudah berat untuk digendong sayang. Ayah menyayangimu. Suatu saat kamu akan menjadi seperti yang kamu inginkan. Ayah janji akan terus mendukungmu selama itu baik untuk dirimu". "Ayah.." "Aayaaah.." Teriakan Dianna membangungkan Farhan yang ikut tertidur disebelahnya. Dengan sigap Farhan menekan saklar untuk menghidupkan lampu yang berada di nakas. "Dianna kenapa? bangun dulu sayang!" Farhan menenangkan putrinya yang terlihat ketakutan. "Dianna takut yah" Dianna memeluk ayahnya yang berbaring disebelahnya. "Tenanglah, ayah ada disini. tidak akan ada sesuatu yang terjadi pada Dianna selama masih ada ayah. Kamu tenang. atur nafas dulu." Dianna menarik nafas dengan dalam dari hidungnya lalu kembali menghembuskannya di mulut. "Bagaimana, Dianna sudah tenang kan?" melihat Dianna menganggukkan kepalanya Farhan menyodorkannya gelas yang berisi air putih. "Minum dulu sayang" Dianna menyerahkan kembali gelas kepada ayahnya setelah iya menghabiskannya dalam beberapa kali tegukan. "Lanjut bobo lagi yah sayang. Ini baru jam dua dini hari." "Tapi Dianna takut yah, Dianna tadi mimpi buruk. Dan mimpinya seram banget " Dianna masih bergidik ngeri membayangkan mimpi yang baru saja hadir mengganggu tidurnya yang lelap. "Itu karena tadi Dianna tidak sempat cuci kaki dan berdo'a, ayo berdoa dulu sebelum bobonya dilanjut." Setelah melafalkan doa tidur, Dianna kembali berbaring disisi ayahnya. Farhan memiringkan posisinya menghadap putrinya yang sedang gelisah. Farhan mencoba menenangkan gadis kecil tersebut dengan mengusap- usap lembut kepalanya. "Dianna tahu, seseorang pernah bilang ke ayah kalau mimpi buruk itu ada baiknya jangan diceritakan ke orang lain. karena orang tersebut akan menafsirkan secara asal apa yang kita alami dalam mimpi. Sehingga kita akan terus dibayang-bayangi rasa takut. Padahal mimpi itu hanya bunga tidur. Makanya sebelum tidur kita berdoa terlebih dulu agar para malaikat menjaga kita dari gangguan syetan." "Siapa yang bilang ke ayah seperti itu?" "Dia orang baik bahkan paling baik yang pernah ayah kenal. Dan ayah sangat menyayanginya" Sahut Farhan. "Apa itu bunda?" Tanya Dianna "Hm... Sekarang tidurlah" Farhan dengan cepat mengalihkan pembicaraan agar Dianna tidak terlalu jauh meninggalkan pertanyaan untuk dijawab. Farhan tidak menyangka jika niatnya untuk membuat Dianna tenang justru membuat beberapa rangkaian memori indah yang sudah iya simpan dengan rapat kembali terbuka. Menyisakan rasa sakit yang mendalam dihatinya. Rasa yang terpendam yang akan terus iya simpan hingga ajal menjemputnya. Dengan alasan itu pulalah dirinya belum ingin mencari sosok pendamping untuk menemaninya melewati masa tua nanti. Setelah Dianna kembali terlelap Farhan masih tetap terjaga. Memandangi wajah putrinya dengan sangat dalam. Satu satunya hal yang membuat hidupnya berarti adalah karena putrinya ini. Farhan beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Menurutnya ini adalah alarm yang dikirim Allah melalui Dianna, Allah ingin iya melangitkan do'a diwaktu khusyuk. "Ya Allah, Engkau mengetahui segalanya yang bahkan hambamu tidak ketahui. saat ini hamba hanya menginginkan putri hamba selalu dalam lindunganMu. Kuatkan ia menghadapi kerasnya hidup, sebagaimana harapan kami dulu saat kelahirannya. Aamiin" Farhan bukan tidak tahu, jika beberapa orang tua siswa masih terus menerus membicarakan kehidupannya dari masa lalu. Meskipun ia sudah memberi teguran tapi masih saja ada beberapa orang yang memang sangat anti dengan kehidupannya. Apalagi melihat prestasi yang diraih Dianna, dirinya akhirnya menjadi target persaingan teman temannya. Pagi hari sudah menyambut Dianna, tidak ada suara burung atau kokokan ayam yang biasa iya dengar sesekali dari rumah tetangganya. Disini hanya suara music yang kencang, karena sekelompok ibu-ibu sedang melakukan senam di lapangan. "Ayah, Dianna lapar!" "Iya, sabar sayang. Sebentar lagi kita turun sarapan." **** Setelah sarapan selesai mereka akhirnya menuju tempat wisata yang sudah menjadi tujuannya. Taman wisata Ancol merupakan objek pertama yang menjadi tujuannya. Farhan senang melihat kebahagiaan yang terus terpancar dari wajah Dianna. Semua berjalan lancar hingga satu minggu mereka berada disini. Sejak pulang dari kebun binatang, Farhan menyadari perubahan puterinya yang lebih banyak terdiam. Saat Farhan mencoba berbicara padanya, Dianna akan lebih dulu menangis. Untuk itu ia membiarkan Dianna sendiri, agar bisa menguasai dirinya kembali. Langkahnya iya ayunkan menuju taman belakang hotel yang menyajikan aneka macam tanaman bunga. Pandangannya tertuju kesalah satu bunga yang merupakan kesukaan dari orang yang pernah memberi warna dalam hidupnya. Bahkan setelah beberapa tahun berlalu dirinya masih berkubang dalam perasaan bersalah yang terus menerus menggerogoti fikirannya. Satu satunya hal yang patut iya syukuri dari kesalahannya adalah kehadiran Dianna yang bisa menjadi semangatnya. Dianna selama ini yang menjadi sumber kekuatannya ketika dirinya benar-benar dalam keadaan yang rapuh. Mengingat Dianna, membuatnya kembali tersadar jika saat ini putrinya sedang sendiri dikamar hotel. Ternyata sudah hampir satu jam ia meninggalkan Dianna. Iya kembali mengayunkan langkahnya menuju kamar yang sudah satu minggu ini mereka huni. "Apa anak ayah sudah tenang?" Farhan menghampiri putrinya yang masih terdiam. Dari sudut matanya yang sembab sudah bisa ditebak, jika Dianna baru saja berhenti menangis. "Heii... Princess ayah kenapa? Katanya mau jadi princess Anna, tapi kok cengeng begini. Anna itu kuat, penyayang, dan sangat antusias. Kalau Dianna kaya gini nggak bakalan bisa seperti Anna." "Apa yang membuat princess ayah, mengeluarkan air matanya?" Farhan terus mencoba untuk membujuk Dianna agar mau berbagi cerita. "Dianna bisa bercerita apa saja sama ayah. Ayah janji akan menjadi pendengar yang baik" Ucapnya kembali. "Ayah, kenapa bunda ninggalin kita?" tanya dianna kemudian. "Apa bunda memang tidak pernah sayang sama Dianna, sama ayah juga? Tadi Dianna melihat teman sebaya Dianna berada di kebun binatang, semua bersama keluarganya, mereka ada ayah ibu dan juga nenek. Kenapa Dianna hanya punya ayah dan nenek. Dimana bunda yah.? Jawab Dianna yah, Dianna juga mau punya bunda yang sayang sama Dianna, peduli sama Dianna. Dianna juga ingin bercerita mengenai hari yang Dianna lewati. Teman temanku disekolah sering membicarakan tentang bundanya, tapi aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang bunda." "Ayah, jawab Dianna! kenapa ayah diam saja? Ayah!!" Akhirnya tangis Dianna kembali pecah setelah iya mengeluarkan isi hatinya. Farhan memeluk tubuh putrinya yang sudah lemas akibat menangis. "Dianna sayang, dengar ayah yah. Ayah menyayangi Dianna melebihi diri ayah sendiri. Ayah juga mau bilang jika bunda pasti sangat sayang sama Dianna. Kamu tahu, untuk melahirkan Dianna bunda sampai rela loh perutnya disayat-sayat, jadi mana mungkin Bunda tidak menyayangi Dianna. Ayah hanya berharap, agar Dianna bisa sabar dan jangan putus mendoakan bunda agar suatu saat bunda kembali ingat jika dirinya punya putri yang sangat cantik, pintar dan sangat menggemaskan. " "Apa ayah bisa berjanji tidak akan ninggalin Dianna seperti yang dilakuin bunda saat ini??" Dianna menatap sorot mata ayahnya, iya ingin memastikan jawaban yang keluar dari mulut ayahnya. "Ayah berjanji, selama ayah masih bernafas ayah akan tetap menjaga Dianna. Bahkan ayah akan menukar semua yang ayah miliki untuk kebahagiaan Dianna termasuk nyawa ayah. Ayah tidak tahu, bagaimana hidup ayah tanpa Dianna. Ayah menyayangi Dianna melebihi diri ayah sendiri. Dianna harta ayah yang paling berharga. Jika Ayah meninggalkan Dianna suatu saat nanti, Dianna harus mengingatkan janji ayah yang ayah ucapkan saat ini" Sebenarnya Dianna sudah mencoba mengikhlaskan kepergian bundanya, tapi melihat orang lain bahagia bersama keluarga lengkapnya membuat dirinya juga ingin merasakan kehangatan dari keluarga lengkap. Ada ayah, ibu dan dirinya. Hal tersebut merupakan mimpinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD