chapter 7

1971 Words
"Nana, tante mau bicara. Kamu sudah selesai kan?" Khanza menghampiri Nana yang sedang beres-beres di dapur setelah mereka menikmati makan malam yang sederhana. "Iya tante" ucap Nana sambil membersihkan tangannya yang masih basah menggunakan tisu. "Kita bicaranya di depan aja sambil nonton" Khanza mengayunkan langkah menuju ruang keluarga yang letaknya hanya dibatasi sekat kayu dari ruang makan. Rumah Khanza memang Tidaklah sebesar rumah gedongan yang berada dikota ini. Rumah dengan satu lantai bergaya minimalis dan elegan menjadi pilihannya agar bisa menghabiskan waktunya untuk beristirahat setelah lelah akibat seharian bekerja. Bagi Khanza dirinya tidak perlu rumah besar dan megah, cukup bisa dijadikan tempat berteduh dari panas dan hujan. "Tante mau bicara apa?" Nana membuka pembicaraan ketika mereka sudah tiba di ruang keluarga. "Tadi tante sempat cerita sama mbak Chaira mengenai sekolah kamu, katanya jika kamu berminat melanjutkan kembali pendidikanmu mbak Chaira mau membantu. Masalah biaya kamu nggak usah fikirin. Kamu tinggal tunjuk sekolah yang mana yang kamu pilih. Karena mbak Chaira melihat ketulusan dan kegigihan kamu selama ini dalam bekerja sehingga beliau mengambil keputusan untuk membayar semua biaya sekolah kamu hingga selesai." Khanza melihat reaksi Nana yang tampak terkejut. "Nana mau aja sih tante, tapi apa ini tidak terlalu berlebihan? Nana merasa bukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan kebaikan dari ibu Chairani seperti ini." Nana tampak merasa tidak enak hati menerima tawaran yang datang kepadanya. "Tante pernah bilang kan sama Nana, jika memang mereka itu orang baik, bahkan sangat baik menurut tante. Mereka tulus dalam membantu tanpa pernah berharap untuk dibalas budinya. Jika Nana memang bersedia sekolah lagi, tante juga sangat mendukung. Bagaimanapun pendidikan saat ini sangat penting. Orang akan menghormati kita sesuai dengan kadar ilmu yang kita punya. Jika pun Nana masih tetap ingin bekerja, tentu mbak Chaira juga akan mengizinkan. Jadi setelah pulang sekolah, kamu masih bisa lanjut bekerja buat tambahan uang jajan." Tante Khanza masih terus berupaya meyakinkannya. "Nana fikir-fikir dulu tante, Nana cuman merasa tidak enak jika merepotkan banyak orang" Sahut Nana dengan raut wajah ditekuk. "Saran tante , ini menurut tante sih. Kalau Mbak Chaira ingin membiayai sekolahnya Nana, terima saja. Lagian itu buat kebaikan Nana juga kedepannya. Kamu bisa ambil sekolah yang dekat dari resto, jadi pulang sekolah bisa lanjut bekerja lagi. Selama ada kesempatan jangan disia-siakan sayang, apalagi mbak Chaira sangat berharap Nana akan menerima tawaran tersebut" "Apa menurut tante ini tidak terllau berlebihan buat Nana yang bukan siapa-siapa?" Tanya Nana, ia ingin mendengar bagaimana pandnagan tante Khanza. Setelah penjelasan panjang yang diberikan oleh tante Khansa dan Ibu Chaira, akhirnya Nana sepakat untuk kembali bersekolah. Tidak mudah untuk membujuknya, Ibu Chaira sendiri harus turun tangan menyuruh orang mengurus semua dokumen Dianna yang tertinggal di kampung halamannya. Setelah semua lengkap, semua data langsung di setor ke sekolahan untuk kelancaran proses masuknya Nana belajar. Melihat kegigihan Nana selama bekerja membuat sudut hati Chaira tergerak untuk membantu dirinya. Tentu saja Nana sangat bersyukur karena ternyata masih ada orang orang baik yang peduli padanya disaat yang pantas bertanggung jawab atas hidupnya pergi meninggalkannya sendirian. Kesibukan Nana semakin bertambah ketika dirinya kembali bersekolah. Disamping belajar, ia juga ikut bekerja setelah pulang sekolah. Sebenarnya dirinya tidak diharuskan bekerja, hanya saja dia merasa tahu diri sudah menerima terlalu banyak kebaikan dari kedua orang yang sangat berjasa baginya. Yakni tante Khanza dan ibu Chaira. Allah maha baik dengan mengirimkan dua orang manusia bersosok malaikat untuk menjadi penolongnya disaat sedang dilanda kesusahan. Selalu ada jalan bagi mereka yang memiliki kesulitan. ***** Pagi ini Nana berangkat kesekolah dengan wajah yang sangat ceria, ia melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah sambil bersenandung dengan suara kecil menemani setiap langkah kakinya. Ia mengingat moment kecilnya ketika dirinya masih taman kanak-kanak. Kembali memakai seragam sekolah setelah beberapa bulan vakum membuatnya merasa seolah menjadi murid baru kembali. Ia melihat dirinya seolah Dianna kecil yang sedang berjalan sambil berlari kecil memasuki gerbang sekolah. Suara nyanyian ikut menemani langkahnya. Seperti biasa, dirinya akan terus menjadi pusat perhatian disekolah. Baik dari orang tua temannya maupun siswa siswi yang juga belajar bersamanya. Paras cantik yang iya miliki sejak dari lahir membuat banyak orang terkagum-kagum melihatnya. Dan Dianna tentu bangga saat orang-orang terus membicarakan dirinya. Itu membuat rasa percaya dirinya tumbuh. Tapi melihat tatapan dari mereka kepadanya menyimpan tanya dihatinya, apa penyebab mereka memandangnya seperti itu? "Nek, tadi orang tua teman Nana terus membicarakan Nana. Nana sempat mendengarnya tapi tidak terlalu jelas. Hanya nama Nana saja yang jelas Nana dengar dari omongan bibi disana. " Tunjuk Dianna kecil kepada Neneknya. "Nana tidak usah terlalu memikirkan apa kata orang Nak. Nana fokus aja belajarnya." Nenek mengusap kepala Dianna dengan lembut. Dia tahu apa yang sedang ramai dibicarakan oleh sekelompok ibu yang tidak jauh dari posisinya berdiri. "Memangnya, bibi tadi ngomong apa tentang Nana nek? Apa mereka membicarakan hal buruk tentang Nana??" Celetuknya dengan suara manja khas anak-anak. "Nana, Sekarang sudah mau bel sayang. Nana masuk gih sana. Nanti Nana terlambat. Ibu guru sudah pesan kan, Nana akan dihukum jika datang terlambat" Nenek Farida berusaha mengalihkan fokus Dianna yang sangat penasaran, karena namanya selalu disebut dalam obrolan sekelompok ibu. Tapi bukan Dianna namanya jika akan cepat menyerah. Dia menghampiri kerumunan ibu yang terus membicarakan dirinya. Pandangan mata yang melihat kearahnya sungguh aneh, ia mulai memahami jika tatapan tersebut bermakna cibiran bukan kekaguman yang sering mereka tunjukkan pada ayahnya. "Kenapa bibi membicarakan nama Nana? apa Nana bikin kesalahan??" Nana bertanya dengan suara lembut khas anak-anak. "Bibi... Waooww " Seorang ibu bersorak dengan bertepuk tangan di hadapannya. "Kamu menyebut kami dengan panggilan bibi. Enak saja, memang kami ini pembokat di rumah kamu?" lanjut seorang lagi masih degan suara yang sinis. "Nana sudah kamu masuk belajar sana" ucap nenek Farida dengan nada yang tegas. Nenek farida yang melihat situasi mulai kacau mendekati cucunya yang masih tampak tidak mengerti dengan keadaan. Dia tetap menunggu jawaban yang tepat dari pertanyaannya. "Maafkan cucu saya yah bu, dia masih kecil belum mengerti pembahasan orang dewasa." ucap nenek Farida menggenggam tangan Dianna hendak membawanya pergi dari tempat tersebut. "Justru karena masih kecil, cucunya diajar yang benar dong bu. Jangan besar malah taunya menyusahkan orang saja kerjanya. Lihat saja cara mendidik ibu, masih kecil begini sudah didandani jadi anak yang centil. Gimana besarnya nanti yah bu-ibu?" sahut salah seorang ibu lagi. "Paling kayak emaknya juga, pengganggu rumah tangga orang lain." Ibu yang lain juga ikut menyahut dari belakang. "Astaghfirullah, tolong bu kondisikan ucapan ibu. Ucapan ibu tidak baik didengar oleh Dianna." Nenek Farida memohon kepada mereka agar tidak melanjutkan pembahasan mereka lagi. "Dimananya yang salah bu, memang anak ibu kan yang menjatuhkan dirinya dihadapan orang yang sudah menikah hingga akhirnya hamil. Dan agar bisa dinikahi oleh pak Farhan, dia melakukan segala cara termasuk menjatuhkan istri sahnya. Padahal kalian semua tahu saat itu Pak Farhan sudah bahagia dengan kehidupan rumah tangganya. Jika ibu mendidik anak dengan benar, tentu ibu menasehatinya agar tidak menjadi duri dalam hubungan orang. Kami hanya mengingatkan ibu, agar apa yang menimpa anak ibu tidak kejadian lagi pada cucu kesayang ibu. Meskipun kami tetap meragukannya, melihat tampilannya yang seperti ini" Ibunya mencebikkan bibir memandang kearah Dianna yang masih terlihat bingung. Mendengar ucapan ibu tersebut, membuat hati nenek Farida sangat sakit. Hatinya serasa tercabik- cabik dengan sangat kasar. Dirinya kecewa dengan mereka yang merupakan tetangganya sendiri. Mereka selama ini ternyata hanya berpura-pura baik dihadapannya. hari ini semuanya sudah sangat jelas bagi nenek Farida. Tidak ada yang bisa menerima cucunya Dianna dilingkungan ini. Dirinya tidak ingin dengan adanya masalah ini membuat Dianna semakin terpuruk. Sebagai nenek, dirinya akan bertindak untuk melindungi cucunya. "Nana ikut nenek yah" ucapnya sambil terus menggenggam tangan Dianna dengan sangat kuat. "kemana nek?" tanya Dianna yang masih tampak dengan kebingungannya mengartikan bahasa orang dewasa yang baru iya dengar dari beberapa ibu temannya. "Sudah Nana ikut saja." Farida menuntun cucunya berjalan menuju arah pintu gerbang sekolah. "Bukan kah nenek tadi bilang, jika bel sebentar lagi akan berbunyi? Nana mau masuk nek. Nana takut kena hukuman jika sampai terlambat" Dianna memang sangat takut jika dirinya sampai kena sanksi dari gurunya. "Iya, tapi nenek melupakan sesuatu. Kita harus buru-buru pulang." Nenek Farida tetap menarik tangan Dianna. "Jadi sekolahnya bolos dong nek?" ucapnya dengan wajah sedih. "Tidak apa-apa, nenek akan bicara dengan ibu guru Nana" Nenek Farida terus meyakinkan Dianna, agar mau ikut pulang bersama dirinya. Setelah itu Mereka berlalu dari hadapan para ibu-ibu yang memandang mereka dengan tatapan sinis. Selama ini nenek Farida selalu menganggap mereka sebagai kerabat, nyatanya kebaikan yang selama ini mereka tunjukkan hanya lah sandiwara semata. Sesampainya dirumah, nenek Farida merapikan sebagian pakaian Nana dan pakaiannya untuk iya bawa. Dirinya sudah berniat untuk membawa Dianna pergi dari lingkungan ini. Kebetulan rumah peninggalan orang tuanya dikampung masih ada. Dirinya akan memulai hidup baru dilingkungan baru bersama Dianna. Disana tidak akan ada yang tahu bagaimana kesalahan yang membuat Dianna sampai terlahir kedunia. "Nenek apa kita akan pergi?" Tanya Dianna yang merasa aneh, biasanya sebelum pergi emreka melakukan persiapan dari jauh-jauh hari. Neneknya hari ini sangat aneh. Apalagi mereka selama ini tidak pernah membahas masalah liburan. "Iya sayang. Kita akan berlibur. Nana kan sering ngajak nenek liburan selama ini. Nenek baru punya waktu sekarang untuk bisa pergi bareng Nana" Nenek Farida terus meyakinkan Nana dengan caranya. "Tapi nek, kita tungguin ayah dulu biar ayah bisa mengantar kita." Seru Dianna kembali. Ayahnya sudah berjanji jika pulang dari Surabaya akan membelikan dirinya boneka Olaf boneka salju yang muncul di film favoritnya. Sayang benget kan kalau iya melewatkannya. "Ayahmu akan menyusul kita nanti. Sekarang kamu bersiap dulu" Akhirnya Dianna menurut apa kata Neneknya. Ayahnya akan menyusulnya juga, berarti boneka olaf nya akan tetap iya miliki. Dalam hati Dianna banyak sekali pertanyaan mengenai sikap neneknya yang sangat berubah. Tapi sekali lagi Dianna tidak lagi memiliki keberanian bertanya. Saat terakhir kali dirinya nekat melontarkan pertanyaan pada kelompok ibu ibu tersebut, yang harus berakhir dengan nenek yang menangis sepanjang jalan pulang menuju kerumah mereka. Meskipun nenek terus menyembunyikan tangisnya Dianna cukup tahu dengan melihat bahu nenek yang berguncang dari arah belakang. Diana akan mengikuti apapun kata neneknya mulai saat ini. Dia tidak ingin membuat neneknya semakin sedih karena sikapnya yang keras kepala. Dia berjanji akan membuat neneknya selalu bahagia. Dirinya cukup beruntung nenek masih mau merawatnya hingga sekarang. Janji Dianna dalam hatinya. "Nek, kita akan kemana? Kenapa jalannya panjang sekali. Nana udah capek Nek?" keluh Dianna yang merasakan badannya sudah pegal karena perjalanan jauh yang mereka tempuh. "Nana yang sabar yah sayang. kita akan segera sampai sebentar lagi. Nana kalau lelah boleh sambil baring." Nenek Farida menepuk oahanya agar Dianna berbaring disana. "Jadi kapan ayah akan menyusul kita nek?" ia bertanya sambil membenarkan posisi kepalanya di atas pangkuan neneknya. "Kenapa nenek diam? Biar aku yang bicara langsung sama ayah" "Nenek sudah bicara sayang, ayahmu sedang bekerja. Dia sudah memberi pesan pada nenek agar Nana jangan rewel. Jika pekerjaan ayahmu selesai, secepatnya dia akan menyusul kita" Dianna terhentak dari lamunannya ketika mendengar bunyi notifikasi pembaruan dihandphonenya. Banyak sekali aplikasi yang meminta agar segera di update. Saat ini dirinya sudah memiliki satu buah smartphone pemberian dari ibu Chaira, untuk memudahkan dirinya berkomunikasi dengan teman-temannya di sekolah. Apalagi memang sekolah mewajibkan siswanya untuk memiliki smartphone agar memudahkan dalam proses belajar mengajar. "Ternyata nenek lalu membawaku pergi karena tidak kuat melihat Dianna yang terus dipojokkan. Aku jadi penasaran bagaimana hubungan bunda dan ayah dimasa lalu?" "Kenapa Nana juga ikut di sangkut pautkan, kehidupan siapa yang mereka hancurkan" "Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana tatapan itu ditujukan padaku. sekarang aku bisa mengerti arti tatapan ibu itu padaku. Mereka jijik padaku.! Apa salahku, apa yang membuat mereka bertingkah seperti itu padaku." "Aku harus mencari tahu, tapi bagaimana caranya. aku tidak mengingat sama sekali bayangan tentang rumah nenek." "Apa aku datang kerumah ayah saja?" "Tapi bagaimana caranya, aku tidak punya alasan apapun untuk menemuinya?" Beberapa macam pertanyaan terus menghantui fikiran Dianna saat ini. Kepalanya sedikit terasa berat karena terlalu banyak memikirkan hal berat dalam hidupnya. Ibarat pohon yang baru tumbuh, tapi harus menahan beberapa cabang ranting yang sangat besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD