chapter 4

1973 Words
Dianna sangat bahagia, saat-saat yang iya tunggu akhirnya sudah tiba juga. Dia mengambil tas yang sudah berisi bekalnya untuk dibawa ke sekolah. Hari ini merupakan hari pertama dirinya menginjakkan kaki di bangku sekolahnya. Mendengar cerita dari ayah dan neneknya jika di sekolah adalah masa paling menyenangkan, membuat dirinya tidak sabar untuk segera tiba disana. Ia ingin memiliki banyak teman yang bisa diajak bermain dan belajar bersama. Penampilannya sangat sempurna, dengan rambut yang diikat bak ekor kuda. Dengan langkah setengah berlari Dianna membawa sepatunya ke teras untuk dipasang. "Nggak perlu lari-larian sayang" Protes Farhan pada putrinya. Bagaimana tidak, pagi ini dirinya sudah lebih dari sepuluh kali menegur tingkah Dianna yang terlalu aktif dan bersemangat. "Eh iya, Dianna suka lupa. Maaf ayah!" ucapnya sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang tertata rapi sambil matanya dibuat berkedip-kedip menatap ayahnya. "Sekarang, Dianna udah cantik, sayang kalau jatuh, trus badannya lecet. Emang Dianna mau, hari pertama sekolah penampilan Nana rusak karena luka?" "Yah enggak lah ayah, Dianna nggak akan lari-larian lagi" Ucapnya berjanji. "Yah sudah, sini sepatunya ayah bantu pasang" "Nggak usah ayah, Dianna sudah gede kok. Udah bisa pasang sendiri" Mendengar penolakan Dianna, Farhan akhirnya menyerah, ia mengusap kepala putrinya penuh sayang. Farhan akan mengantarkannya ke sekolah pagi ini. Moment yang sangat bahagia untuk putrinya tentu tidak ingin ia lewatkan begitu saja. Dirinya ingin menjadi saksi bagaimana kebahagiaan yang dirasakan Diannanya hari ini. "Mau berangkat sekarang?" tanya Farhan setelah melihat Dianna selesai memasang sepatu di kaki mungilnya. "Tapi nanti ayah jangan langsung ninggalin Dianna yah". Setelah tadi dirinya cukup bersemangat, akhirnya wajahnya mulai disinggahi perasaan takut. Ini pertama kalinya dirinya akan bertemu dengan orang banyak dan tentu saja orang yang baru dikenalnya. Selama ini Dianna lebih betah bermain dirumah karena disekitar rumah neneknya jarang terlihat anak perempuan seusianya. "Kenapa princess ayah tiba-tiba gelisah" "Dianna kan baru ketemu orang, belum ada teman. Ayah jangan langsung ninggalin Dianna nanti" "Oohh.. siap! Kenyamanan Princess tentu yang lebih utama. Kalau perlu ayah juga ikut masuk belajar dengan Dianna" "Jangan ayah, ntar Dianna malah diminta pulang sama ibu gurunya" Ucapnya dengan wajah cemberut. "Loh, kenapa?" Tanya Farhan sambil tertawa. "Karna bu gurunya nggak bisa mengajar orang seperti ayah" Farhan tertawa menanggapi ucapan Dianna yang menurutnya terdengar sedikit dewasa dari usianya. Sudah jam 07.30 WITA ketika Dianna berada di halaman sekolah. Masih tersisa tiga puluh menit, hingga bel masuk. Mereka sengaja datang lebih awal agar Dianna bisa mulai mengenal lingkungan disekitar sekolahannya. "Ayok sayang, kita sudah sampai. Turun yuk" Ucap Farhan ketika membuka pintu mobil. "Dekat banget ya yah? Tadi harusnya kita jalan kaki aja, Nggak usah pake mobil" Gerutu Dianna. Sikapnya yang suka mengomel sudah persis seperti emak-emak kompleks tempat tinggal mereka dulunya. "Nggak apa-apa, ayah masih sanggup beli bahan bakarnya. Tugas Dianna cukup belajar dan bermain saja. Jangan mikir yang banyak. Okey?" Ucap Farhan. Ia menoel hidung anaknya, wajahnya sangat lucu ketika dirinya terus menggerutu. "Okey siap komandan!" Ucap Dianna sambil tangannya diletakkan di depan dahi dengan maksud memberi penghormatan. "Bukan begitu posisinya tapi seperti ini" Farhan memperbaiki letak posisi tangan Dianna, sedikit iya menjelaskan tentang cara memberi hormat yang benar. "Selamat pagi Pak Farhan" Sapa beberapa ibu yang juga ikut mengantarkan putra putrinya. "Pagi!" Jawab Farhan disertai dengan senyuman. Sebenarnya senyum Farhan biasa saja, namun entah bagaimana sudut pandang para ibu-ibu yang melihat senyum itu sangat indah dan sungguh menawan hati yang melihatnya. "Manis banget sih anaknya pak" Ucap salah satu ibu yang berjalan beriringan dengannya. "Iya bu. Terimakasih yah. Maaf saya pamit duluan mau ketemu kepala sekolahnya dulu" Ucapnya "Kepala sekolah maupun gurunya belum datang pak" Seorang ibu menanggapi ucapannya. "Iya nggak apa-apa bu, saya tahu dan akan menunggu disana saja" Farhan melemparkan senyum kepada mereka, tangannya menunjuk ke arah kursi panjang yang tersedia di samping ruangan kepala sekolah. Farhan melangkahkan kakinya meninggalkan beberapa rombongan ibu-ibu yang terus menatapnya. Bahkan sebagian mereka masih terus membicarakannya, sampai Farhan merasa ngeri sendiri melihat tingkah mereka. "Pak Farhan ganteng banget yah, tapi kok dia nggak nikah-nikah yah sampai sekarang" Kata seorang ibu yang Farhan tidak tau siapa saja yang sedang membicarakannya. Ia hanya mendengar sepintas, nada bisikan namun cukup jelas ditangkap oleh indra pendengarnya. "Mungkin masih trauma" "Gagal move on" "Mungkin juga karma, secara kan dia sudah berpoligami. Bukannya dapat enak malah dapat susahnya. Kedua istrinya malah meninggalkannya." "Tapi dia masih tetap ganteng, walaupun badannya agak kurus dari biasanya" "Andai aku belum bersuami, mau dong aku jadi istrinya aja" Masih banyak lagi pembahasan yang terus melibatkan dirinya. Perasaannya sungguh tidak nyaman jika dirinya terus menjadi bahan pergunjingan mereka. Jujur dijadikan objek pembicaraan seperti ini rasanya ingin sekali ia marah, tapi meladeni para ibu tersebut sama halnya merusak citra dirinya sendiri. Buat apa memikirkan hal yang tidak berfaedah seperti itu, lebih baik sekarang ia fokus mengurus putrinya saja. *** Sudah satu bulan Dianna menjalani aktifitas sekolahnya. Hari ini karena Farhan akan berangkat ke Surabaya, akhirnya nenek Farida menggantikan sementara tugas Farhan mengantar dan menjemput Dianna. Jarak rumah dan sekolah yang hanya berkisar dua ratus meter membuat Dianna lebih nyaman berjalan kaki. "Nenek nggak cape jalan kan? Kalau nenek capek, besok nggak usah antar Nana. Nana udah bisa kok pergi sendiri" "Tidak sayang, Nenek justru senang bisa nemanin Dianna. Itung-itung ini olahraga nenek, kan selama ini kita sudah jarang keluar jalan pagi. Jadi nenek menganggap saat ini kita hanya sedang jogging di sekitar rumah". Dianna berlari menghampiri temannya yang sedang asyik bermain. Melihat cucunya yang bisa tertawa lepas membuat Nenek Farida bisa bernafas lega. Selama ini Dianna memang menjadi anak periang dan ceria, tapi hari ini dia terlihat lebih bebas mengekspresikan dirinya tanpa dibuat buat. 'nenek sangat senang melihat Nana seperti ini.' Farida menarik senyum yang lebar, saat melihat Dianna bersama temannya cukup akrab. Mereka bermain seluncuran diiringi suara riuh tawa. Tiba-tiba suara handphone yang berasal dari tas kecil milik bu Farida terdengar. disitu tertera nama Farhan yang sedang memanggilnya via panggilan suara. "Ma, gimana Dianna hari ini?" "Dia sedang bermain bersama temannya" Nenek Farida menjawab teleponnya. Ia sambil memperhatikan cucunya. "Baiklah Ma. Aku mau lanjut kegiatan dulu Terima kasih sudah bersedia menjaga Dianna dengan baik. Mungkin aku sekitar dua mingguan berada disini, nanti aku akan menelpon mama jika sudah istirahat. Sekalian buat bicara sama Dianna" "Iya nak." Setelah mematikan sambungan teleponnya, Nenek Farida akan menghampiri cucunya yang terjatuh akibat dorongan dari salah satu temannya. Ia melihat dengan jelas jika cucunya sengaja didorong oleh teman laki-lakinya. "Nana, duduk sini dulu nak. Tuh kan pakaiannya kotor" Farida menepuk-nepuk noda debu yang terlanjur menempel di bagian rok Dianna. "Nana didorong nek" Ucap Dianna menjelaskan. "Makanya tadi nenek sudah melarang Nana kan, tapi kamunya nggak mau mendengar. Ini sudah nggak bisa rapi lagi. Tapi sudah tidak apa-apa! Besok kalau tiba di Sekolah jangan langsung bermain dulu. Nanti jam istirahatnya aja dipake main" Ucap Nenek Farida. "Iya nek" Dianna kemudian duduk disamping neneknya. Perasaan bersalahnya muncul karena tidak mendengar titah dari neneknya. Dia sudah diperingatkan tapi tetap ingin melanjutkan kegiatan bermainnya, yang berhasil membuat penampilan cantiknya rusak. "Jadi Ibu nyalahin anak saya, karna cucu ibu jatuh" Seorang ibu muda datang menghampiri mereka berdua dengan nada penuh amarah. "Tidak, saya tidak pernah menyalahkan anaknya ibu." Nenek Farida menjawab seadanya karena ia memang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Karena menurutnya jatuhnya Dianna merupakan kecerobohannya sendiri. "Kamu juga masih kecil udah jadi tukang ngadu. Namanya bermain yah apapun bisa saja terjadi" Ibu tadi menodong Dianna dengan jari telunjuknya. "Tapi memang tadi dia sengaja dorong Dianna hingga jatuh" Dianna selanjutnya menjelaskan kejadian yang sebenarnya. "Alasan aja kamu ini. Masih kecil sudah pandai berbohong. Wah sepertinya ibumu mewariskan sikap curangnya kepadamu. Dengan senang hati, kami akan menunggu bagaimana the next Livia beraksi." wanita tadi menepuk tangannya berkali-kali dengan menatap kearah Dianna. Dianna yang tidak pernah mendapati perlakuan seperti itu akhirnya menyembunyikan wajahnya di balik punggung nenek Farida. Ia tidak pernah mendapat intonasi seperti itu dari ayah maupun neneknya. "Stop bu, saya tidak masalah cucu saya terjatuh biarpun dia memang sengaja dijatuhkan. Yang saya permasalahkan jangan membawa bawa permasalahan ibunya pada anak sekecil dia" Nenek Farida akhirnya bersuara untuk melindungi cucunya. "Kenapa bu? Bisa saja kan, siapa yang bisa menjamin kedepannya seperti apa. Ibunya saja yang sikapnya seperti itu kok, tidak menutup kemungkinan anaknya juga akan mewarisi tingkah lakunya." wanita itu masih tetap ngotot dengan ucapannya yang tajam. Mereka adalah sekelompok ibu-ibu yang terus memuja dan mengelu-elukan Dianna jika datang bersama Farhan, tapi hari ini tampak sangat jelas jika mereka melakukan semua itu hanya untuk menarik perhatian dari Farhan saja. *** "Bagaimana hari ini disekolahan?" Tanya Farhan di saat ia melakukan panggilan video dengan Dianna. "Dianna selalu diusilin sama teman yah." Ucapnya dengan wajah sedih. "kok bisa?" Tanya Farhan lagi. "Dianna juga nggak tahu" Dianna terlihat mengangkat kedua bahunya. "Emang Dianna ngapain sampai temannya bikin ulah seperti itu?" " Dianna nggak ngapa-ngapain ayah, cuman ikut main, tiba-tiba ada yang dorong sampai jatuh. Terus besoknya ada lagi yang jahatin Nana di kelas. Ngumpatin alat tulis Dianna" "Terus nana ngapain aja kalau digituin sama teman?" "Nangis dong" "Kalau gitu tabletnya kasih ke nenek dulu. Ayah mau cerita sama nenek" "Nek, ayah mau bicara sama nenek" Dianna menyerahkan ponselnya kepada nenek Farida. "Assalamualaikum ma" "Waalaikumsalam" Jawab Nenek Farida. "Kata Dianna dia ada masalah beberapa hari ini ma" "Iya, selama tidak ada kamu, Nana setiap hari pulang sekolah selalu menangis" "kenapa bisa ma?" " Pasti Dianna sudah bercerita padamu. Kejadiannya seperti yang kamu dengar. Mereka bermain bersama, cuman ada beberapa orang temannya aja yang suka usil sama Dianna. Yang mama tidak nyaman orang tua anak tersebut juga ikut membela anaknya meskipun sudah sangat jelas jika anaknya yang melakukan kesalahan." Nenek Farida menjeda sejenak ucapannya. "Kamu jangan fikirkan Dianna, fokus aja sama kerjaanmu disana. Mama bisa jagain dia selama kamu masih belum sempat mendampinginya" "Iya ma, Terima kasih. Secepatnya saya akan pulang jika pekerjaan disini sudah selesai" Semuanya kembali seperti semula, sejak Farhan membicarakan keluhannya langsung pada kepala sekolah tempat Dianna menimba ilmu. Dan atas laporan Farhan tersebut, kepala sekolah langsung mengambil tindakan dengan tegas. Saat ini para orang tua yang datang mengantarkan anaknya sudah tidak diperbolehkan lagi melewati batas gerbang sekolah. Dan mereka hanya bisa datang kembali disaat jam pulang sekolah, untuk menjemput anak-anak mereka. Dianna kembali ceria, aktif bermain dan bersenda gurau bersama teman-temannya. Prestasi belajarnya juga sangat baik membuat ayah dan neneknya ikut bangga dengan pencapaiannya. Musim liburan semester satu sudah dimulai. Farhan berniat mengajak Dianna untuk menghabiskan masa liburannya sebelum kembali aktif menjalani kegiatan rutinnya. "Karena anak ayah juara, ayah mau kasih hadiah" Farhan sudah mempersiapkan semuanya. "Benarkah?" Dianna tidak percaya apa yang baru saja iya dengar. Ayahnya akan memberinya hadiah karena berhasil menjadi yang terbaik. Selama ini, dirinya hanya melakukan tugasnya saja, ia tidak pernah berfikiran akan mengharapkan hadiah. Tapi jika dikasih, dirinya pasti akan sangat senang menerimanya. Anggap saja ini sebagai nilai tambahnya. "Ayah akan mengajak Dianna berlibur sampai masa liburan usai" Ucap Farhan. Dari wajahnya terlihat kesungguhan. "2 minggu?" Dianna mencoba meyakinkan ayahnya. "Iya, kenapa tidak" "Bukannya ayah harus kerja? Dianna nggak mau jika ayah cuma simpan atau titip Dianna sama orang, terus ayah pulang lagi buat kerja" "Nggak bakalan sayang. Pokoknya ayah akan menemani Dianna hingga selesai." "Ini benar ayah? Ayah sedang tidak bercanda kan?" Melihat anggukan dari ayahnya membuatnya langsung bangkit dari tempat duduknya. "Yeeeee... asyikkk. " Dianna berlari menuju kamar tidurnya, kegembiraan sangat jelas tergambar dari wajahnya. 'Ya Allah, Dianna senang sekali. Benar kata ibu guru, jika kita terus berdoa maka Allah pasti akan mengabulkannya cepat atau lambat.' 'Dianna tidak menyangka, secepat ini do'anya dikabulkan' 'terimakasih sudah membuat ayah mau punya banyak waktu sama Dianna. Dianna akan terus menjadi anak baik Ya Allah' Setelah menyelesaikan doanya, Dianna beranjak membereskan semua mainan yang tadi iya hambur saat bermain sendiri. Dirinya memang lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, sambil memainkan beberapa boneka pemberian ayahnya. Berbicara secara sahut menyahut seorang diri sudah menjadi kebiaasaannya setiap hati. Sedang farhan sudah mengajukan cuti selama dua pekan kedepan. Dirinya akan membawa Dianna bersenang senang di Ibu Kota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD