Kirana menemui Rain sekali lagi. Kali ini dia datang sendiri ke kampus. Berhubung dia alumni, tak sulit menemukan Rain. Cowok itu selalu bisa dia temukan di sudut kantin. Kirana langsung menghampiri meja tersebut. Dia duduk di hadapan Rain, tanpa memedulikan seorang cewek yang duduk di samping cowok itu saat ini.
“Kirana, kok datang nggak bilang-bilang?”
“Kayaknya kamu senggang banget. Sampai sempat mojok bareng mahasiswi gini.”
“Ceritanya datang buat ngerabrak nih?”
Rain terkejut. Baginya, tampang Kirana yang terlihat saat ini jauh dari kata ramah. Dia tahu alasan kemarahan Kirana. Pastilah karena cewek ini peka akan niat tersembunyinya saat mereka jalan bareng kemarin.
“Dulunya kamu nggak main cewek, tapi kayaknya sekarang udah berubah ya? Bukannya tambah dewasa, malah makin jadi. Percuma kesan luarmu diubah, tapi dalamnya malah makin buruk.” Kirana bersedekap, main sindir tanpa berbasa-basi sedikit pun.
Rain yang dulu lebih baik. Ucapannya selalu kasar, tapi tindakan dan perilakunya baik. Kirana tak menyangka bila beberapa tahun saja mereka tak bertemu, Rain bisa berubah seperti ini. Dari luar dia terlihat seperti lelaki dewasa yang ramah. Bermulut manis dan berwajah alim, tapi setiap tindakannya punya maksud tertentu.
“Jangan salah paham, Kirana. Cewek ini cuma anak didik kok.” Cuma? Belai-belai kepala cewek sok akrab begitu dianggap cuma hubungan antara dosen dan mahasiswi biasa? Bohongnya kelihatan sekali.
“Pak Rain, temannya kenapa sih? Marah-marah begitu?” Kirana risih dipandang seperti musuh oleh cewek itu. Tingkahnya sok imut sekali, peluk-peluk lengan Rain seakan sedang pamer kemesraan.
“Nggak apa-apa. Kamu sana pulang duluan. Ada yang mau kami bicarakan.” Tampang cewek itu kusut sekali waktu disuruh pulang. Terutama pelototan matanya, seperti sedang mengutuk Kirana.
“Ya udah.” Kirana membalas pelototannya lebih tajam, membuatnya terintimidasi. Pergi secepatnya tanpa berani mengucapkan apa pun pada Kirana.
“Jangan buat skandal dengan anak didik, ketahuan orang tuanya karirmu sendiri yang hancur,” ujar Kirana setelah mereka tinggal berdua.
“Anaknya teman ibuku kok. Nggak usah ikut campur deh. Aku tahu alasanmu mencariku bukan cuma buat ceramah.” Kalau bukan mau menyuruhnya menjauhi Seira, ya bertanya soal cewek yang dekat dengan suaminya. Memangnya apalagi yang Kirana inginkan darinya selain hal itu?
“Kalau gitu aku terus terang aja. Jangan jadi PHO. Seira yang bakal terluka biarpun kamu yang memulai.” Benar tebakan Rain. Memang Kirana dari dulu terlalu suka ikut campur urusan Seira.
“Kamu pikir aku nggak terluka!” Rain menaikkan nada suaranya. Dia juga terluka. Cinta yang dijaga selama bertahun-tahun bukan sesuatu yang mudah untuk dihapuskan.
“Memangnya dua tahun lebih nggak cukup membuatmu melupakan Seira? Katanya sudah menyerah! Ini apa, malah nggak tahu malu! Mendekati istri orang lewat anaknya.” Kirana bukannya tak peduli dengan perasaan Rain. Dia juga tak suka menjadi orang jahat, tapi harus ada yang menyadarkan Rain bahwa apa yang dia lakukan salah.
“Aku udah coba!” Memang awalnya niat Rain untuk menyerah saat melihat Seira menikah, tapi apa pun yang dia coba lakukan, tak bisa menghapus perasaan tersebut. Hanya dengan melihat wajah Seira, mendengar suaranya dan merasakan hangat sentuhannya sudah membuat seluruh keteguhan hati Rain runtuh.
“Lagian yang salah Elard! Dia yang nggak bisa jaga pernikahannya sendiri, jadi jangan salahkan aku kalau bertindak!” Apalagi setelah Rain menyadari adanya masalah dalam pernikahan Seira, ia mulai merasa pilihannya dua tahun lalu adalah sebuah kesalahan. Harusnya dia tidak menitipkan wanita yang dia cintai pada laki-laki lain.
“Pernikahan Seira baik-baik aja! Sedikit pertengkaran hal biasa. Buka matamu, lihat baik-baik sebelum memutuskan sendiri!” Di mata Kirana, tak ada masalah serius antara Seira dan Elard. Mereka hanya kurang waktu bersama dan masalah ini bisa selesai dengan sendirinya setelah Elard bisa mendapatkan lebih banyak waktu luang. Seira banyak mengeluh, tapi tak sekalipun mengatakan bila dia tak bahagia.
“Berisik! Pernikahanmu sendiri berantakan gitu berani menceramahiku! Daripada mengurusi Seira, mendingan urusi suamimu sendiri!” Marah sih boleh saja, tapi dengan menjadikan masalahnya sebagai alasan untuk membenarkan tindakan kotor begitu tak bisa Kirana terima.
“Itu urusanku! Nggak usaha buka mulut kalau nggak tahu apa-apa!” Kirana mulai marah sungguhan. Kedua tangannya sudah terkepal erat di atas meja. Rasanya ingin memukul Rain, membuat teman lama sialan ini sadar bila menjadi orang ketiga dengan alasan apa pun tidak layak dibenarkan.
“Nggak tahu? Aku tahu lebih banyak dari yang kamu ketahui! Suamimu datang ke kampus berkali-kali menemui Edrea. Itu, kan yang mau kau diskusikan awalnya? Kamu marah padaku karena melihatku seperti melihat Edrea mendekati suamimu!” Kirana sepenuhnya kehilangan kesabaran setelah mendengar perkataan Rain. Dia merasa tertohok oleh ucapan Rain. Hatinya tak bisa membantah sama sekali.
“Diam!” bentak Kirana.
Kemudian dia meninju wajah Rain hingga cowok itu termundur selangkah karena kerasnya pukulan itu. Penghuni kantin langsung berkumpul, penasaran apa yang membuat dosen mereka ditinju oleh seorang cewek tak dikenal. Entah itu dosen juga, atau mahasiswi, tak ada yang tahu.
“Berani buku mulut lagi, kuhancurkan wajahmu.” Jiwa preman Kirana kambuh dan itu membuat nyali Rain sedikit menciut. Pertemanan selama enam tahu lebih tak bisa diremehkan. Rain sudah mengenal Kirana terlalu dalam untuk memahami bila ancaman cewek ini serius.
“Marah karena kata-kataku tepat sasaran. Sifatmu begini yang membuat suamimu selingkuh. Harusnya kamu yang paling tahu sendiri.” Akan tetapi, Rain masih ingin membalas. Dia mencemooh.
“Rain, aku bilang diam.” Detik berikutnya, Rain terdiam. Dia menelan ludah, gentar oleh dinginnya tatapan mata Kirana. Cewek ini hatinya dan pikirannya memang selalu kusut dari dulu, terlalu memaksakan diri untuk bersabar hingga tak pernah sadar bila semua itu membuatnya terluka.
“Ada apa ini? Siapa yang berkelahi!”
Seorang dosen senior datang untuk memeriksa apa yang terjadi. Saat ia tiba, yang dilihatnya hanyalah rekan kerja yang terdiam memegangi wajahnya dan seorang mantan mahasiswi yang dulu dia bimbing.
“Nggak ada apa-apa, Pak,” jawab Kirana.
Sang dosen mengalihkan pandangan pada Rain. Dia menunggu reaksi Rain sebelum mengatakan sesuatu. Sebab, dia tahu kalau kedua orang ini berteman dekat sejak masa kuliah dulu.
“Nggak ada apa-apa. Cuma sedikit salah paham,” ujar Rain.
“Ya sudah kalau memang begitu, tapi ini kampus. Bila kalian ada masalah pribadi, bicarakan di luar.”
“Kami minta maaf.”
Kepala Kirana dan Rain mulai mendingin. Mereka meminta maaf, menyelesaikan masalah dengan tenang. Namun, mustahil untuk melanjutkan pembicaraan. Niat Kirana meminta bantuan pada Rain juga ia urungkan. Tak ada gunanya meminta bantuan pada orang yang merasa bila merusak pernikahan orang lain bukan suatu kesalahan.
“Rain, dengarkan nasihatku. Kamu nggak akan bisa menemukan kebahagiaan dengan merusak kebahagiaan orang lain.” Sebelum pergi, Kirana mengingatkan sekali lagi. Rain tidak menjawab. Dia hanya diam, memikirkan banyak hal dalam benaknya yang misterius.
Menghela napas, Kirana melangkahkan kaki ke arah parkiran. Dia berniat meninggalkan kampus dan pergi ke rumah Seira, tapi kebetulan tak diharapkan menghentikan niat awal Kirana. Di parkiran itu, dia melihat Dinar dan Edrea bersama. Jelas sekali suaminya datang menjemput si tante girang. Sudah begitu, cara mereka mengobrol sangat akrab dan asyik sampai tidak menyadari kedatangannya.
Kirana berjalan cepat mendekati mereka. Dia menahan pintu mobil Dinar tepat ketika Edrea baru masuk. “Dinar, apa maksudnya ini?” Hal pertama yang Kirana lakukan adalah bertanya pada suaminya. Dia tak mau menatap Edrea sama sekali.
“Kirana kenapa ada di sini?”
“Jawab dulu pertanyaanku! Untuk apa mencari mantan pacarmu!”
Kirana tak sudi berbasa-basi. Dia hanya mendatangi kampusnya dulu, menemui teman lama untuk memberi nasihat. Tak ada yang perlu dijelaskan pada Dinar. Suaminya yang harus memberinya penjelasan kenapa menjemput mantan pacar yang jelas-jelas punya niat merusak pernikahan mereka.
“Bukannya udah jelas? Dinar kangen padaku.” Mumpung Dinar belum menjawab, Edrea sengaja memancing masalah.
“Aku nggak tanya padamu. Keluar sekarang!” Kirana menarik tangan Edrea dengan kasar hingga tante itu keluar dari mobil Dinar. Kemudian dia mendorong Edrea ke sisi berlawanan, memberi pelototan mengancam.
“Hah, bersaing yang jujur dong. Pakai cara kasar begini membuktikan kalau kausudah kalah dari ku.” Bagi Edrea, pelototan atau bentakan seorang wanita bukan apa-apa. Dia tak malu atau merasa bersalah atas perbuatannya. Semakin Kirana salah paham, akan lebih bagus untuknya.
“Bersaing dengan jujur? Aku nggak perlu bersaing dengan janda murahan!” Persetan soal apa yang Edrea katakan. Kirana merasa tak perlu mendengarkan apa pun. Dia hanya ingin mendengar jawaban dari Dinar. Bukan dari seorang wanita tak tahu malu seperti itu.
“Kirana, udah dong.” Dinar akhirnya bertindak. Dia menahan tangan Kirana, meminta mereka agar tidak mencari ribut. Bila diteruskan, orang-orang akan mulai berkumpul dan gosip tak diharapkan akan mulai tersebar.
“Kamu diam saja! Pulang sekarang! Kita bicarakan di rumah!”
“Tapi kamu – ”
“Pulang, Dinar!”
Dinar tak berani lagi membalas Kirana. Baru kali ini dia bentak-bentak seserius ini. Bahkan pintu mobilnya dibanting dengan kasar oleh Kirana. Bila dia tak mendengarkan, istrinya akan semakin marah. Terpaksa Dinar menurut. Dia menjalankan mobil, meninggalkan Kirana dan Edrea berdua saja di sana.
“Lalu siapa yang panik karena janda murahan ini? Mukamu seram begitu, pantas saja Dinar tak betah di rumah.”
“Setidaknya aku masih lebih baik daripada tante-tante kegatalan seperti mu. Pantas saja kau diceraikan.”
Belum cukup membuat mereka bertengkar, Edrea sengaja memancing kemarahan Kirana. Dia tak menyangka bila Kirana akan membalas dengan kata-kata menusuk hati dan tatapan dingin yang merendahkan. Cewek lain biasanya menangis atau melarikan diri dengan wajah terluka, tapi reaksi Kirana di luar perhitungan Edrea.
“Tutup mulutmu!” Edrea melayangkan tamparan pada Kirana, tapi tangannya ditahan lebih dulu. Kemudian, Kirana menamparnya dengan tangan yang lain. Sangat keras hingga pipi Edrea memerah. Edrea merasa sangat tersinggung karena tebakan Kirana benar. Perceraiannya adalah keinginan sepihak dari mantan suaminya.
“Kau yang harus tutup kakimu. Menggunakan tubuh tua begitu untuk menggoda suami orang. Tak tahu malu.” Serangan terakhir Kirana sungguh melukai hati Edrea. Dan yang paling dia benci adalah karena dia tak bisa berbuat apa pun untuk membalas tamparan Kirana. Musuhnya pergi begitu saja, meninggalkan dirinya sendirian di sana. Berdiri menahan amarah, menjadi bahan bisik-bisik beberapa orang yang tak sengaja melihat.