Part 8

1919 Words
Setelah Kirana sampai di rumah, ia langsung mengajak Dinar berbicara. Tak akan Kirana biarkan Dinar mengalihkan pembicaraan atau mengakhiri masalah ini dengan diam-diaman seperti biasanya. Ketegasan Kirana itu membuat Dinar kesulitan. Sampai-sampai ia tak berani menatap wajah istrinya itu. Mereka berdua duduk saling berhadapan dengan canggung. Semua itu karena sikap Kirana yang menurut Dinar terlalu menekannya. “Berapa kali kalian ketemuan di belakangku?” Pertanyaan pertama Kirana menegaskan kecurigaannya. Karena ia tidak bertanya alasan kenapa mereka bertemu, melainkan bertanya sudah berapa kali mereka bertemu. Yang berarti, Kirana sudah yakin bila Dinar dan Edrea memang ada main di belakangnya. “Kamu nggak bertanya soal alasanku menemuinya dulu?” Dinar memasang tampang memelas, merasa sedih mengetahui apa yang Kirana pikirkan tentangnya. “Oke. Lalu alasannya apa?” “Aku nggak bisa kukasih tahu.” Karena Dinar sudah berbicara seperti itu, Kirana akan memberinya satu kali kesempatan menjelaskan. Akan tetapi, Dinar menyia-siakan kesempatan tersebut. Dari gelagat dan ucapan Dinar yang ragu-ragu, Kirana bisa menemukan rahasia yang coba disembunyikan darinya. “Kenapa nggak bisa?” Raut wajah Kirana telah berubah. Sejak awal dia sudah marah dan sekarang, Dinar malah membuatnya lebih marah lagi. Pelototan tajam Kirana begitu menakutkan. Seakan apa pun yang akan Dinar ucapkannya tak akan mengubah keadaan sama sekali. “Percaya padaku, Kirana. Di antara kami udah nggak ada apa-apa!” Kirana tak mau dengar penyangkalan apa pun. Dia butuh jawaban yang jelas. Dan yang bisa Dinar berikan justru ocehan tak bermutu. Brak! Kirana menggebrak meja dengan kepalan tangannya. Kepalanya tertunduk ke bawah, berusaha menahan diri untuk tidak memukul Dinar. “Kalau emang udah nggak ada apa-apa, kenapa nggak bisa menjawab satu pun pertanyaanku!” Dia tak bisa menahan teriakannya. Hatinya sudah panas, terbakar oleh kecemburuan. “Kamu anggap aku ini apa!” Jika memang Dinar tidak bersalah, kenapa suaminya tak bisa memberikan satu pun alasan yang bisa dia terima? Jangan-jangan memang Dinar lebih memilih Edrea daripada dirinya. “Bukan begitu maksudku, Kirana. Kamu sejak awal aja udah nggak percaya padaku. Mau jawab apa juga percuma.” Dinar punya alasannya sendiri. Dia hanya meminta Kirana untuk percaya padanya, tapi Kirana tak bisa memercayai sesuatu tanpa dasar seperti ini. Tak ada kata percuma dalam kamus Kirana. Yang ada hanyalah Dinar tak percaya bila dia serius akan mempertimbangkan segalanya dari jawaban yang Dinar berikan saat ini. “Kalau menurutnya saling terbuka dan membicarakan masalah kita baik-baik adalah sesuatu yang percuma, maka hubungan kita pun tak ada artinya lagi.” “Kok kamu ngomong kayak gitu!” “Kamu yang lebih dulu memulainya! Aku mencoba percaya dan memahamimu, tapi kamu tak memberiku satu pun kejelasan!” “Jadi semua ini salahku!” “Kalau bukan, memangnya salah siapa lagi! Kamu yang berselingkuh di belakangku!” “AKU NGGAK SELINGKUH, KIRANA! KENAPA KAMU SELALU SAJA MENUDUHKU!” Kirana tersentak kaget. Dinar tiba-tiba saja menaikkan nada suaranya. Sorot matanya penuh akan kemarahan. Rasanya Kirana muak sekali. Jelas-jelas memang Dinar berselingkuh, tapi dia tak mau disalahkan sama sekali. “Aku hanya bicara kenyataan. Kamu dan Edrea ketemuan diam-diam setelah dia terang-terangan bilang ingin merebutmu dari ku. Kalau itu bukan selingkuh, lalu apa namanya!?” Kirana tak bisa mengendalikan perasaan cewek lain pada Dinar. Dia hanya bisa meminta Dinar menarik batas jelas dengan cewek-cewek seperti itu. Dan Dinar malah melakukan hal malah sebaliknya. Seakan sengaja mendekat untuk memberi kesempatan kedua pada mantan pacarnya itu. “Aku punya alasan sendiri kenapa terpaksa bertemu dengannya.” “Alasan yang nggak bisa kamu kasih tahu padaku? Itu yang namanya terpaksa!” Yang Kirana lihat hanyalah kedekatan yang akrab. Tak ada tanda-tanda terpaksa sama sekali. Dinar membohonginya. Memutarbalikkan fakta untuk membenarkan egonya sendiri. Semakin Dinar mencoba menyangkal, semakin besar keraguan dan kecurigaan Kirana. Pembicaraan ini sia-sia. Dinar sudah tak mau mengatakan apa pun dan Kirana sudah tak mau lagi bertanya. Dia merasa dibodohi, diminta mengerti akan keegoisan yang tak berlogika. “Kita hentikan ini. Aku nggak mau membicarakan apa pun lagi,” ujar Dinar. “Aku mengerti.” Bagi Kirana, sekali Dinar menyerah untuk menyelesaikan masalah mereka, maka ia pun sudah tak perlu lagi berusaha memperjuangkannya. Dinar bangkit berdiri. Berniat pindah ke ruangan lain untuk menenangkan emosinya. Dia berpikir bila pertengkaran hari ini sudah selesai dan besok mereka masih akan ada pertengkaran lanjutan seperti biasanya. “Dinar, ayo bercerai. Sejak awal keputusan kita menikah sudah salah.” Dia tak pernah menyangka akan mendengar kata ‘cerai’ keluar dari mulut Kirana. Kaki Dinar terasa tertahan di lantai. Tak bisa dia gerakan sama sekali. Dia tahu bila dia harus segera berbalik dan memaksa Kirana menarik kembali ucapannya itu. Namun, rasa syok membuat otaknya berhenti bekerja. Jangankan menggerakkan tubuhnya, berteriak menolak ajakan perceraian itu pun tidak dia lakukan. *** Elard pulang lebih awal hari ini. Dia ingin memperbaiki kesalahannya minggu lalu dengan memberikan perhatian lebih pada Seira dan Olivia. Pastinya dia membawa sogokan berupa kue kesukaan mereka. “Olivia,” panggil Elard. “Pa, bawa apa? Wangi cucu!” Si kecil langsung berlari ke depan saat mendengar suara papanya. Senyuman lebar menghiasi wajahnya yang manis. Dia berhenti tepat di depan Elard, memeluk kaki Elard dengan manja. Hidungnya sudah terlatih mengenali berbagai bau makanan. “Namanya tres leches, Olivia. Ini, ambil satu.” Elard berjongkok, membuka kotak kertas berisikan kue yang dibawanya. Anaknya langsung ambil dua potong, makan dengan tangan tanpa memedulikan teksturnya yang agak lengket. Elard mau mengomel, tapi ekspresi bahagia Olivia terlalu menggemaskan. Dia tersenyum geli, membelai wajah putrinya tanpa memedulikan potongan kue yang jatuh ke lantai. Kalau lucu begini, siapa yang bisa marah? “Mama di mana?” “Pegi cama Om Lain.” “Lain? Siapa?” Kening Elard mengerut. Cara panggil Olivia berlepotan. Dan lagi sudah lama dia tak mendengar kabar Rain. Makanya ia tak ada bayangan sama sekali siapa yang dimaksudkan oleh putrinya itu. “Maksudnya Rain, Elard. Tadi Rain datang ke sini bareng ibu dan kebetulan s**u Olivia sudah habis. Jadi mereka pergi berbelanja bareng.” Noura – ibunya Seira datang dari arah dapur, memberitahukan kepada Elard dengan siapa anaknya pergi. Karena ibu mertuanya sudah menganggap Rain seperti anak sendiri, Elard tak bisa menunjukkan rasa tak sukanya secara terang-terangan. Selain itu, mereka juga tak punya masalah satu sama lainnya. Dia hanya akan terlihat seperti suami egois jika mempermasalahkan hal kecil begini. “Udah lama Seira nggak membicarakan soal Rain. Saya kira mereka sudah nggak berteman.” Elard berusaha tetap tenang. Dia memilih kalimatnya dengan hati-hati. “Itu karena Rain sibuk banget sejak mulai kerja. Katanya sekarang posisinya sudah stabil dan punya banyak waktu luang. Kebetulan dia juga baru pindah ke dekat sini. Jadi wajar aja kembali dekat sama Seira. Mereka toh tumbuh bersama kayak kakak beradik.” Kalau saja hubungan mereka memang sesimpel itu, Elard tak akan cemas. Masalahnya Elard tahu kalau Rain pernah punya hati untuk Seira dan mungkin hingga saat ini, perasaan itu masih ada. Dia ingin percaya bila Rain benar-benar sudah menyerah, tapi bila mendengar perkataan Noura, Elard mulai menaruh kecurigaan kepada teman masa kecil istrinya itu. Kondisinya terlalu bagus untuk dibilang kebetulan. Saat pekerjaannya membaik, dia pindah ke dekat rumah mereka dan kembali mendekati Seira. Seperti memang sengaja memilih waktu dengan hati-hati untuk mengejar kembali cinta yang dulunya gagal dia dapatkan. “Bagus, kan. Kamu belakangan sibuk banget. Jadi Rain bisa bantu Seira menjaga Olivia. Anak itu disuruh sendiri apa pun nggak becus.” “Oli juga cuka cama Om Lain!” Perasaan Elard tak enak saat melihat Noura dan Olivia memiliki kesan terlalu baik pada Rain. Noura okelah, dia kenal Rain sejak kecil. Ini anaknya? Sejak kapan dia cukup dekat dengan Rain untuk mengatakan suka padanya? “Memangnya Olivia kenal sama Rain?” Elard sengaja bertanya dengan suara lembut, ingin menginterogasi Olivia tanpa disadari oleh Noura. “Kenal kok! Setiap kali Pa cibuk, Ma ajak Oli jalan-jalan cama Om Lain. Oli dibelikan kue yang banyak sekali!” Olivia menceritakan semuanya. Dari saat mereka bertemu di mall, lalu pergi ke Ancol dan makan bareng beberapa kali dalam seminggu. “Ya ampun, dasar Olivia. Rakusnya sama kayak Seira. Dikasih makan aja, langsung dekat sama Rain.” Noura tertawa, merasa gemas mendengar cerita Olivia. Baginya, itu semua hanyalah kedekatan antara keponakan dan paman. “Nggak apa-apa kok. Rain bukan orang asing.” Sebenarnya Elard keberatan. Dia tak mau putri dan istrinya dekat dengan Rain, tapi dia tak mau berburuk sangka sebelum tahu yang sebenarnya diinginkan oleh Rain. Karena ada kemungkinan Rain memang sudah sepenuhnya menyerah pada Seira dan memang hanya ingin kembali menjadi sahabat dekat. “Kamu benar, Nak. Bagi ibu, Rain memang bagian dari keluarga.” Bagian dari keluarga terdengar terlalu berlebihan, tapi Elard tak bisa berkomentar apa pun soal perasaan ibu mertuanya itu. “Ibu, minyak wijennya nggak ada. Minyak ikan sama, kan?” Pas sekali Seira baru pulang. Teriak dulu, baru buka pintu. Makanya dia terkaget saat melihat Elard sedang memberi makan anaknya di ruang tamu. “Anak bodoh ini! Dari namanya aja udah beda jauh! Kok masih juga dibeli sih! Sini lihat belanjaanmu apa aja, jangan-jangan banyak yang salah beli!” “Curigaan amat sih, udah Seira beli sesuai pesanan Ibu tahu.” Seira tak bisa menghampiri Elard. Ibunya yang galak sudah menyeretnya ke dapur. Mau memeriksa bahan makanan pesanannya untuk makan malam. Olivia dengan sendirinya berlari menyusul Seira sambil membawa kuenya sekalian. Akhirnya yang tertinggal di ruang tamu hanyalah Elard dan Rain. Kedua lelaki itu sempat terdiam selama berapa saat. Kemudian keduanya tersenyum basa-basi, tak ingin membuat suasana menjadi buruk tanpa alasan yang jelas. “Maaf ya, Seira menyusahkan kamu. Sampai diminta antarkan belanja segala. Silakan duduk,” ujar Elard. Bersikap layaknya tuan rumah yang ramah. “Nggak apa-apa kok. Aku sempat dan katanya Seira, kamu sibuk banget akhir-akhir ini, makanya dia kesepian.” Sikap Rain juga ramah, tapi pemilihan katanya tak enak didengar. Apalagi seingat Elard, Rain bukanlah seorang laki-laki ramah yang berbicara dengan tenang. Orang ini sudah berubah dan jujur saja, perubahan sifat Rain membuatnya merasa tak nyaman. Rain berani duduk saling berhadapan dengan Elard tanpa rasa canggung. Seakan dia telah siap bersaing secara terbuka. Tatapan matanya begitu berani, didukung oleh senyuman profesional yang terkesan palsu. “Seira memang masih kayak anak kecil. Kesepian baginya sama seperti perasaan anak TK yang disuruh main sendirian. Saya harap kamu tidak salah mengartikannya.” Elard juga bisa memasang senyuman palsu. Dia memastikan memberikan peringatan pada Rain agar tidak melewati batas pertemanan yang normal. “Nggak ada yang salah paham kok. Cuma pastikan aja kamu ingat janjimu sendiri.” Janji yang Rain maksudkan adalah janji untuk membahagiakan Seira saat dia datang memberikan selamat di hari pernikahan mereka. Dengan mengungkitnya saja, sudah seperti menyinggung Elard dan berkata bila Seira tak bahagia. “Perkataan itu saya lemparkan kembali padamu, Rain.” Elard merasa kesal seketika. Dia merasa Rain tak pantas menagih apa pun saat hubungannya dan Seira baik-baik saja seperti saat ini. Dia menepati perkataannya, membahagiakan istri dan anaknya. Pendapat mereka berdua saling bertentangan sama lainnya. Karena mereka menilai hanya dari sudut pandangan pribadi masing-masing saja. Senyuman palsu, perkataan yang penuh arti dan ancaman tidak langsung yang mereka tunjukkan saat ini murni karena egonya sendiri. Sedangkan Seira yang ada di ruangan lain, sama sekali tak sadar ataupun peduli pada persaingan yang mereka mulai sendiri. Dia malah sibuk berebut makanan dengan putrinya, tak ada niat keluar untuk ikut mengobrol dengan kedua laki-laki yang sibuk memperebutkannya. “Olivia, bagi kuenya. Jangan makan sendirian.”  “Pa belikan ini buat Oli! Ma ambil catu aja!” “Pelit amat. Dua dong! Kan kuenya masih banyak!” “Nggak ini buat Nenek!” “Bodoh amat. Siapa yang makan dulu, dia yang dapat!” “Ma bodoh! Jangan kejal Oli!” Mereka berdua main kejar-kejaran mengitari meja makan sambil mencomot potongan kue dari kotaknya. Sudah makanya berlepotan, jatuh berhamburan ke lantai dan tak mau berbagi. Noura begitu lelah, tak mau lagi mengomeli mereka. Pastinya suara Seira dan Olivia terdengar sampai ke ruang tamu. Tak sedikit pun ada rasa kesepian yang terdengar suara melengking penuh energik itu. “Apa mereka terlihat tak bahagia di matamu?” Elard merasa puas melihat ekspresi wajah Rain saat mendengarnya. Pertanyaan itu sengaja dia lontarkan untuk menampar kesombongan Rain karena sudah seenaknya mengecapnya tak bisa membahagiakan keluarganya sendiri. “Sudah malam, aku pulang dulu.” Rain tidak menjawab pertanyaan sindiran Elard. Dia berpamitan pulang dengan tenang, tapi hatinya tidak puas sama sekali. Sebab Rain masih percaya bila menyerahkan Seira pada Elard adalah suatu kesalahan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD