Dua tahun yang lalu
Tampilan sebuah layar plasma:
Semua orang memiliki ketakutan terbesar masing-masing dalam hidupnya. Aku juga. Dan ketakutan terbesarku, adalah Mamaku.
Bukan! Aku tidak benar-benar takut dengan Mama. Tapi aku merasa takut dengan kematiannya. Aku takut dengan apa yang menimpa Mama.
Saat semua orang mengatakan Mama meninggal karena bunuh diri---bahkan Papa, laki-laki yang sangat dicintai Mama dan kepadanya Mama mengabdikan seluruh hidupnya, aku tidak mempercayainya.
Aku tahu Mamaku. Dan Mamaku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Dia adalah wanita paling baik yang pernah kutemui selama hidup. Mama yang cantik. Mama yang lemah lembut. Mama yang penuh kasih sayang. Mama yang penyabar. Mama yang perhatian.
Mama adalah anugerah terbaik dari Tuhan yang pernah kupunya, juga terenggut dariku dengan begitu kejamnya.
Hari itu usiaku masih tujuh belas tahun. Seorang siswi SMA. Hari di mana aku menemukan Mama sudah dalam kondisi tak bernyawa di kamarnya dengan tali tambang yang kuat menjerat lehernya di mansion Papa yang ada di Jakarta.
Mama tergantung di tengah-tengah kamar dengan bertangkai-tangkai mawar merah di sekitarnya dan lilin-lilin beraroma wangi yang indah menyala. Seolah ada perayaan besar, karena hari itu memang ulang tahun pernikahan Mama dengan Papa.
Tragisnya, aku adalah orang pertama yang menemukan Mama malam itu. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Semua pelayan, tukang kebun, satpam, penjaga, dan semua pengawal libur seperti biasa.
Di keluarga kami ada peraturan tak tertulis yang berlaku untuk semua pekerja rumah yang mengharuskan mereka libur di hari-hari besar keluarga; ulang tahun Papa, ulang tahun Mama, ulang tahun Kak Leon, ulang tahunku, juga ulang tahun pernikahan kedua orang tuaku.
Papa yang membuat peraturan itu. Sejak Papa dan Mama masih muda dan belum ada aku ataupun Kak Leon dalam hidup mereka---Konon, Papa melakukannya untuk merayakan hari-hari besar itu seharian dengan Mama. Papa sangat mencintai Mama, pun sebaliknya tidak peduli perbedaan besar yang menjadi latar belakang keduanya.
Papaku adalah warga negara asing yang menjadi warga negara Indonesia melalui naturalisasi. Ia orang Jerman. Papa bertemu Mama saat keduanya sama-sama menempuh pendidikan sarjana di salah satu universitas ternama Prancis sebelum kemudian saling jatuh cinta.
Sebagai seorang muslimah, Mama tidak bisa menikah dengan Papa karena Papa beragama Kristen. Meski saling mencintai mereka akhirnya harus berpisah. Lalu selulusnya Mama dari Prancis dan kembali ke rumah Oma dan Opa yang ada di Yogya, Mama dijodohkan dengan sepupu jauhnya yang juga seorang ningrat Kasultanan Yogya.
Ya, Mamaku masih seorang bangsawan berdarah biru dengan darah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang mengalir dalam nadinya. Gelarnya Raden Rara karena Mama termasuk generasi perempuan kelima kerajaan.
Seminggu sebelum pertunangan, Papa datang jauh-jauh dari Jerman mencari Mama di Yogyakarta. Atas bimbingan Mama, Papa menjadi seorang muallaf yang kemudian dikenalkan Mama pada Oma dan Opa sebagai laki-laki yang dicintainya ketika di Prancis dulu. Perjodohan Mama dengan sepupu jauhnya dibatalkan dan Opa marah besar, terlebih saat Papa dan Mama meminta restunya untuk melangsungkan pernikahan.
Opaku adalah keturunan ningrat yang memegang teguh tradisi Jawa. Haram baginya anak perempuan satu-satunya menikah dengan orang asing yang tidak memiliki darah Nusantara dalam darahnya.
Seperti Mama yang memiliki darah bangsawan, Papa ternyata juga memiliki darah bangsawan Jerman dalam dirinya. Tapi Opa tetap menentang tegas cinta mereka karena latar belakang Papa dan Mama yang jauh berbeda.
Selama berminggu-minggu Mama kemudian dikurung dalam kamarnya dan tidak diizinkan bertemu siapa pun.
Di sinilah kekuatan cinta Papa dan Mama diuji. Tak kenal menyerah, Papa terus memperjuangkan cintanya pada Mama meski dirinya harus hidup terlunta-lunta karena tidak memiliki siapa-siapa di Yogyakarta. Uang ada di genggaman tangan, namun hanya Mama seorang yang Papa kenal.
Di dalam kamar, Mama terus mendoakan Papa siang dan malam. Papa sendiri tinggal di masjid dekat rumah Oma dan Opa, mendalami Islam di sana sembari terus berusaha menemui Mama saban hari.
Oma yang merasa tersentuh melihat perjuangan Mama dan Papa akhirnya membujuk Opa agar merestui cinta mereka. Oma mengingatkan Opa mengenai kisah cinta mereka dahulu jika dirinya bukan seorang bagsawan seperti Opa. Namun, Opa terus memperjuangkan Oma di hadapan keluarga ningratnya hingga pada akhirnya keluarga Opa merestui keduanya.
Opa mengelak dengan mengatakan kisah mereka jelas berbeda jauh dari kisah Papa dan Mama. Opa dan Oma dulu memang sempat tak mendapat restu, tapi menurut Opa, mereka masih bisa bersama karena Opa dan Oma sama-sama orang Nusantara, meski dalam darah Oma, selain Jawa, ada darah Arab yang mengalir dalam nadinya.
Mama terus berdoa, Papa terus mencoba meluluhkan hati Opa, dan Oma terus membujuk suaminya hingga pada akhirnya restu itu Papa dan Mama terima. Walau tidak setuju seratus persen, Opa menikahkan Mama dengan Papa meski kemudian sikap Opa berubah terhadap Mama.
Papa tidak tahan melihat Mama diabaikan Opa yang adalah ayahnya sendiri. Papa kemudian memboyong Mama ke Jerman dan mengenalkan Mama pada keluarganya di sana.
Walaupun telah berbeda keyakinan, Papa diterima dengan baik begitu juga Mama. Mereka hidup dalam suka cita hingga Kak Leon lahir dua tahun setelah ulang tahun pernikahan mereka.
Leonard Ibrahim Wilhelm.
Nama itu didapat Kak Leon dari Grandpa dan Grandma Wilhelm, orang tua Papa. Sebelumnya namanya adalah Leonard Ludwig Wilhelm. Namun, Papa mengganti nama tengahnya menjadi Ibrahim sehingga nama Kak Leon menjadi Leonard Ibrahim Wilhelm itu.
Sedangkan aku, Nur Walis Pelita. Nama itu aku dapatkan dari Oma dan Opa yang ada di Yogjakarta.
Setelah kelahiran Kak Leon, Opa melunak kepada Mama sehingga Mama kembali ke Yogyakarta saat Kak Leon berusia dua tahun. Lalu dua tahun setelahnya, aku lahir ke dunia dan Opa-Oma menamaiku dengan nama Nur Walis Pelita. Nama Arab yang dipadu-padankan dengan nama Jawa dan nama khas Nusantara.
Papa sudah berubah kewarganegaraan Indonesia saat kami sekeluarga pindah ke Jakarta ketika aku berusia empat tahun dan Kak Leon delapan tahun karena usaha Papa yang berkembang pesat. Di sana aku mengenal Kak June, teman satu kelas Kak Leon di SD yang ternyata bertetangga dengan kami yang kemudian menjadi sahabat dan pelindungku ketika Kak Leon tidak bisa bersamaku.
Kembali pada kematian Mama.
Aku adalah orang pertama yang melihat Mama meninggal dalam balutan gamis biru muda dan jilbab senada yang melekat di tubuhnya.
Mama tidak memakai alas kaki. Aku melihat kakinya yang telanjang menggantung kedinginan. Di udara, bersama tubuhnya yang sudah tak bernyawa.
Ya, hari itu hari spesial. Mama dan Papa menikah bertahun-tahun yang lalu pada tanggal itu. Pada tanggal itu, mereka mengikat cinta mereka.
Tapi ...
Kenapa Papa tidak ada? |
Kursor di layar laptop Pelita hanya berhenti sampai di sana.
Pelita tidak melanjutkan ceritanya, membaca ulang apalagi mengeditnya dan langsung menghapus file-nya bahkan dari sampah yang bisa di-restore ke tempatnya yang semula.
Ia membatalkan konsultasinya dengan seorang dokter ahli kejiwaan yang memintanya menulis cerita itu untuk sesi konsultasi mereka dan memilih menyimpannya sendiri dalam memori.
Pelita mencoba membangun benteng pertahanannya sendiri dan memilih menolak berbagi. []