June Aldrian Adams
Melihat Pelita bersikap seolah ia baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit. Sekali lagi aku merasa telah gagal melindunginya, melindungi Pelita, perempuan yang kucinta.
Firasatku sudah buruk sejak kemarin. Dan hal itu terbukti benar saat pagi-pagi sekali Pelita tidak bisa kuhubungi padahal ponselnya menyala. Ia mengabaikan telepon yang masuk dariku---sesuatu yang sangat jarang terjadi kecuali dirinya sedang sibuk pemotretan.
Selama ini, Pelita akan selalu menjawab teleponku meski dirinya sedang meeting atau setidaknya mengirimiku pesan jika dirinya sedang mengikuti kelas di kampus. Dan pagi ini Pelita benar-benar mengabaikannya.
Aku juga sempat menelepon Arina dan memintanya menelepon Pelita. Arina menjawab teleponku pada dering percobaan kelima dengan suara serak khas bangun tidur. Siapa tahu Pelita akan merespons temannya, tapi sama saja, Pelita juga tidak mengangkat telepon gadis bersurai kecokelatan hasil pewarna rambut itu.
Tanpa membuang-buang waktu, aku langsung meninggalkan apartemen dan berkendara ke apartemen Pelita setelah Arina meneleponku dan mengatakan semuanya.
Saat aku masuk setibaku di apartemen Pelita, apartemennya terlihat terang. Lampu-lampu masih menyala. Namun, saat aku mendatangi kamar Pelita, ruangan itu gelap. Tirai-tirai jendela masih menjalankan tugasnya melindungi ruangan dari cahaya matahari yang bahkan belum sempurna menampakkan diri.
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka 04.32 saat aku meliriknya. Dua puluh menit sejak aku meninggalkan apartemen dan mengendarai mobil seperti orang kesetanan di jalanan.
Sekali mengedarkan pandangan, aku menemukan Pelita meringkuk di sudut ruangan. Kedua tangannya memeluk kaki yang ditekuk ke depan. Tanpa mengenakan kerudung dan dengan surai-surai rambut yang menjuntai menutup wajahnya.
"Pelita." Suaraku lirih saat memanggil namanya.
Pelita langsung mengangkat kepala. Aku sedikit terhenyak mendapati wajah cantiknya yang terlihat berantakan walau tanpa penerangan yang memadai. Hidungnya merah dengan mata bengkak dan pipi basah karena air mata. Mata hazelnya terlihat kosong namun sarat sinar luka.
"K-Kak June ...." Pelita seperti mencicit saat memanggil namaku.
Aku langsung menghambur ke arahnya dan memeluknya setelah itu.
Pelita hanya diam.
Aku tahu yang kulakukan tidak benar. Aku seharusnya tidak boleh memeluknya. Tapi aku tidak bisa menahannya.
Jika Pelita tidak sedang begini, ia pasti akan memukulku karena sudah lancang mendekapnya seperti ini. Ia akan marah besar padaku. Dan yang terburuk, Pelita akan membunuhku dengan tidak mau lagi bertemu denganku.
"Kak June." Tidak lama Pelita bersuara lagi. "Lili takut."
Aku langsung terhenyak.
Lili? Kenapa Pelita menyebut dirinya sendiri Lili? Itu adalah panggilan kesayangannya dulu bertahun-tahun yang lalu. Panggilan kesayangan Pelita saat dirinya masih kanak-kanak yang didapatnya dari orang tua dan kakaknya dulu.
Aku mengendurkan pelukanku dan menatapnya. Namun, sama seperti sebelumnya, mata Pelita masih terlihat kosong dan sarat akan luka. Air matanya terus jatuh tanpa suara.
Ia tidak terisak. Aku pasti akan langsung menemukannya tadi jika Pelita menangis keras tanpa harus menyapu pandang ke sekeliling kamar.
"Apa yang terjadi?" tanyaku. Berharap Pelita mau balas menatap ke arahku. Tapi Pelita hanya bergeming dengan cairan larikmanya yang masih menetes satu demi satu.
Aku kemudian membantunya berdiri dan mengajaknya duduk di atas ranjang. Lampu di dalam kamar juga kunyalakan.
"Apa yang terjadi, Pelita?" tanyaku lagi sembari berlutut di depannya.
Pelita kali ini menatapku. Namun, ia tetap tidak mau bersuara untuk membalasku.
Aku menghela napas pelan.
Tuhan ..., apa yang terjadi dengan perempuan yang kucintai?
Aku kembali berdiri dan berjalan ke tempat lemari, mengambil sebuah jilbab dari tumpukan pakaian lalu memakaikannya di atas kepala Pelita.
"Begini lebih cantik," lirihku sambil tersenyum tipis.
Aku kemudian mencari-cari kotak tisu dan segera mengambilnya setelah menemukannya tergeletak di atas meja rias bersama beberapa kosmetik dan peralatan make up, menggunakannya untuk menghapus air mata sekaligus ingus yang ada di wajah Pelita.
"Sekarang minum dulu," kataku menyodorkan segelas air putih di depannya setelah mengambilnya dari atas nakas.
"Minum, Pelita!" pintaku lagi yang akhirnya membuat Pelita mau menggerakkan tangannya.
Meski begitu, aku tidak menyerahkan gelas air itu sepenuhnya dan membantu Pelita memegangnya untuk minum.
"Kamu bisa cerita ke aku kalau udah siap," kataku setelah Pelita selesai minum.
Pelita menatapku lagi sebentar kemudian tiba-tiba kembali menangis.
Kembali merasa tidak tahan, aku meletakkan gelas sisanya minum ke nakas lalu duduk di samping Pelita dan memeluknya lagi. Aku tahu Pelita hanya membutuhkan pelukan untuk saat ini.
"Semuanya akan baik-baik saja," lirihku yang sekali lagi tidak mendapatkan sahutan apa-apa dari dirinya. Hanya hampa udara.
****
Pelita sudah tidak menangis saat jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka pukul 05.01.
Sudah sejak lima menitan yang lalu aku berhenti memeluknya.
"Sudah salat Subuh?" tanyaku yang dijawab Pelita dengan gelengan kepala.
Aku segera memeriksa jadwal salat di ponsel. "Masih ada waktu, kamu cepet salat sana!" kataku setelah menemukan masih ada cukup waktu salat yang tersisa.
Pelita tidak mengatakan apa-apa. Ia berdiri dari ranjang kemudian pergi ke kamar mandi.
Aku menungguinya hingga kembali dan mengenakan mukena. Setelah itu, baru kutinggal pergi Pelita keluar dari kamarnya. Biarkan Pelita beribadah sembari menenangkan dirinya.
Aku membawa tungkaiku melangkah menuju dapur, berniat menyiapkan sarapan untuk Pelita hingga mataku menemukan sesuatu yang berceceran di lantai ruang tengah.
Itu darah. Bau anyirnya menusuk hidungku.
Mataku kemudian melotot saat menemukan sebuah kotak warna biru berukuran sedang tergeletak di lantai dengan beberapa potongan tubuh hewan di sekitarnya.
Sepertinya kotak itu habis dilempar hingga potongan tubuh yang tampaknya merupakan potongan tubuh kelinci dan darah yang menjadi isi di dalamnya berserak di sekitar.
Apa ini yang mengganggu Pelita? Sialan! Siapa psikopat gila yang berani melakukan semua ini?
Aku langsung berlutut membereskan bangkai kelinci itu dan memasukkannya kembali ke kotak kemudian membuangnya ke tempat sampah yang ada di luar.
Karena saking buru-burunya menemui Pelita, aku kurang memperhatikan sekeliling saat datang sehingga terlambat mengetahui penyebab Pelita menangis dan bersikap berbeda.
Kelinci adalah hewan kesukaan Pelita. Di Jakarta, ia dulu sempat memelihara banyak kelinci di rumahnya. Pelita pasti sangan syok dan takut melihat hewan kesukaannya mati dengan kondisi mengenaskan seperti tadi.
Aku mencari ember dan sapu pel untuk membersihkan darah di lantai saat menyadari ada dua benda lain di atas meja. Setangkai mawar merah yang terlihat sudah layu dan secarik kertas.
Dear Pelita, have a nice day! Hope u like my gift. I can't wait to meet u.
Aku yakin hanya orang gila yang bisa melakukan hal keji seperti itu. Ini teror! Siapa pun yang melakukannya kepada Pelita, aku bersumpah tidak akan mengampuninya.
Selain setangkai mawar dan kertas yang baru kulihat, aku juga menemukan ponsel milik Pelita tergeletak di atas meja ruang tengah. Ternyata ada di situ. Pantas saja Pelita tidak mengangkat teleponku.
****
Seperti yang sudah kukatakan, melihat Pelita bersikap seolah dirinya baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit dan aku merasa gagal melindunginya.
Menjaga Pelita, memastikannya bahagia dan baik-baik saja adalah tujuan hidupku sejak lama.
Pukul 06.30, Pelita turun dari kamarnya di lantai dua dengan dandanannya seperti biasa setiap kami akan menemui klien. Jika tidak mengenakan dress panjang yang dilapisi jaket atau kardigan, Pelita biasanya memakai celana jins dengan atasan kemeja atau blus yang kadang juga dilapisi jaket. Dan kali ini, Pelita memakai opsi yang kedua. Ia memakai celana jins hitam dan kemeja kuning bergaris yang dipadukan kerudung cokelat muda. Make up tipis terpoles di wajah cantiknya yang menurutku lebih memesona saat tidak memakai make up dengan kacamata hitam yang bertengger sempurna di atas hidung.
Kami duduk saling berhadapan di meja makan saat aku menyuruhnya memakan sarapan yang sudah kusiapkan. Setangkup sandwich isi sayuran, satu telur goreng mata sapi, dan segelas jus jeruk.
Pelita tidak pernah memakan nasi di pagi hari. Selain karena diet, ia mudah mengantuk dan menjadi malas karena kandungan gula yang ada di dalamnya.
Meski tinggal di Indonesia, tidak sarapan dengan nasi sudah menjadi kebiasaan Pelita sejak lama yang menurun dari keluarganya.
Aku terus menyesap isi cangkir kopiku sedikit demi sedikit sembari memperhatikan Pelita yang makan dengan lahap.
Ia tidak melepas kacamatanya. Aku tahu, ada sepasang mata cantik yang membengkak tersembunyi di balik benda itu.
"Kita perlu bicara," kataku setelah melihat Pelita menghabiskan tetes terakhir jus jeruknya. Ponsel miliknya yang tadinya kutemukan juga kusodorkan ke arahnya.
Pelita melihat ke arahku sebentar kemudian meraih ponselnya. "Bicara apa?" tanyanya dengan nada ceria seperti biasa. Seolah-olah, sesuatu yang besar tidak pernah terjadi.
Aku menghela napas. Menatap dalam ke arahnya seolah aku bisa menatap secara langsung mata hazelnya yang ada di balik kacamata.
"Kamu harus pindah dari sini. Kamu udah nggak aman tinggal di sini."
Aku melihat bibir tipis Pelita merekahkan senyum. "Nggak aman gimana sih, Kak?" tanyanya pelan. "Pindah ke mana? Aku suka kok tinggal di sini," lanjutnya sembari melipat kedua tangan di atas meja.
Aku menyesap sisa kopi terakhirku dan menyandarkan punggung ke badan kursi. "Ke mana pun," jawabku. "Kalau kamu nggak mau pindah ke apartemenku, aku akan carikan apartemen baru buat kamu dan minta Arina nemenin kamu tinggal di sana. Ke mana pun asal kamu nggak tinggal di sini lagi."
Pelita menggeleng kecil. "Nggak mau! Aku suka tinggal di sini," katanya menatap lurus ke arahku.
Aku terus membujuknya tapi Pelita tidak mau mendengarkanku. Ia memang bisa sangat keras kepala jika menyangkut pendiriannya akan sesuatu.
Dan sekarang, pada detik ini, ia sudah berbicara dan tertawa lepas dengan orang-orang. Kacamata hitam masih bertengger di hidungnya dan aku yakin Pelita tidak ada niat sama sekali untuk melepasnya. Ia benar-benar terlihat baik-baik saja daripada yang seharusnya.
Tidak diragukan lagi jika Pelita memang keras kepala. Dan kekerasan kepalaannya itulah yang membuat kami berada di sini, menemui klien dan melakukan fitting baju final untuk peragaan busana yang akan diikuti Pelita dua minggu ke depan dalam sebuah event---membuatku merasa semakin buruk, juga bersalah.
Hari ini hari Minggu. Setelah apa yang terjadi, Pelita seharusnya tidak bekerja dan pergi beristirahat. Tapi dengan keras kepalanya ia ngotot bekerja dan mengancam akan pergi sendiri dengan Arina jika aku tidak mau mengantarnya.
Aku bisa apa? Terpaksa, aku akhirnya menuruti kemauannya daripada membiarkan Pelita berkendara sendiri karena Arina yang tidak bisa mengemudi.
"Ha ha ha. Terima kasih banyak karena Mbak Pelita mau kami ajak meeting dan fitting baju untuk yang terakhir kali di weekend begini, Mbak. Kami sangat senang. Selain cantik Mbak Pelita ini ternyata juga sangat baik," kata seorang perempuan berkacamata yang menjadi salah satu penanggung jawab event yang akan diikuti Pelita dua minggu lagi sambil tersenyum lebar.
"Ah, Mbak bisa saja. Kebetulan weekend ini saya memang nggak punya kegiatan, jadi dengan senang hati saya gabung buat fitting baju final sama model-model yang lain," jawab Pelita.
Ya, selain Pelita memang ada model-model lain yang juga datang untuk meeting dan fitting baju hari ini. Peragaan busana tidak bisa dilakukan oleh seorang model saja.
"Mbak Pelita .... Tapi jangan lupa kalau Mbak lah primadona acara ini, Mbak. Mbak Pelita adalah diva kami. Jadi kehadiran Mbak hari ini sangat berarti buat kami," balas perempuan berkacamata lagi.
Pelita hanya terkekeh kecil sambil mengibaskan sebelah tangannya ke udara. Gestur perempuan saat berkata 'Ah, bisa saja!'.
Pelita memang sangat pandai bersandiwara. Memasang senyum walau hati terluka.
"Kami tinggal mempercantik baju yang akan Mbak Pelita pakai dan kita tinggal bersiap untuk peragaan busana dua minggu ke depan. Jaga kesehatan terus ya, Mbak! Semoga acaranya berjalan lancar nanti."
"Iya, pasti. Terima kasih." Pelita kembali memasang senyum. "Kalau begitu saya pamit dulu ya, Mbak. Sampai ketemu lagi di acara peragaan busananya nanti." Ia memakai tas tangannya kemudian berdiri.
Aku yang duduk di sofa panjang sebelah kirinya dan Arina yang duduk di sampingku ikut bangkit mengikuti Pelita.
"Ah, iya, Mbak Pelita. Sekali lagi terima kasih banyak untuk kedatangannya." Perempuan berkacamata ikut berdiri lantas mengulurkan tangan ke arah Pelita diikuti panitia-panitia event yang lain.
Setelah saling berjabat tangan, kami keluar meninggalkan tempat pertemuan yang hari ini diadakan di sebuah vila.
"Bang June."
Arina menjawil lenganku saat kami berjalan ke tempat parkir.
Pelita berjalan sendiri di depan kami, mengangkat sebuah telepon dari Cecil, editornya.
"Ada apa?" Aku berhenti melangkah dan berbalik menatap Arina.
Gadis itu memicingkan matanya menatapku. "Abang bertengkar lagi ya sama Pelita? Kok kuliat dari tadi kalian diem-dieman? Atau terjadi sesuatu?"
Aku membalas pertanyaan Arina dengan gelengan kepalaku. Kurasa, ia tidak perlu tahu jika Pelita mendapat teror. Setidaknya untuk saat ini, sampai aku berhasil membujuk Pelita pindah ke tempat lain atau Pelita sendiri yang memberi tahu Arina apa yang sebenarnya.
Arina menatapku dengan tatapan curiga. "Beneran nggak terjadi apa-apa? Terus, Pelita kenapa kok pake kacamata hitam gitu, Bang? Hari lagi adem gini, buat apa pakai kacamata? Kalau buat penunjang penampilan sih aku paham-paham aja. Tapi masalahnya, Pelita tuh nggak mau lepas kacamatanya dari tadi. Pas fitting baju juga. Kuperhatiin matanya juga kayak lagi bengkak deh. Nggak biasanya banget."
Aku hanya tersenyum simpul sambil mengedikkan bahu pura-pura tidak tahu. "Nggak tau," balasku.
"Nah!" seru Arina. "Bang June juga aneh. Respon Abang tuh biasanya nggak sebiasa ini kalau menyangkut Pelita. Pasti ada apa-apa, ya?!"
Aku tidak membalasnya dan memilih kembali berjalan mengikuti Pelita yang masih bicara dengan ponselnya.
"Bang June, tunggu! Jawab aku dong! Jangan main tinggal!"
Tidak lama Arina memekik sambil berjalan menyusul.
"Kak, tolong antar Arina pulang, ya?! Aku ada janji sama Mbak Cecil di kafe deket sini. Aku nggak tau kapan pulangnya. Tapi kalau kamu sibuk aku bisa pulang naik taksi nanti." Sebelum sampai tempat parkir, Pelita membalikkan tubuhnya setelah berhenti menelepon.
Aku langsung membulatkan mata menatapnya. "Nggak. Aku temenin kamu!" tukasku.
Pelita menggelengkan kepala menatapku. "Nggak usah, Kak .... Kafenya deket kok dari sini. Aku tinggal jalan ke sana sebentar karena Mbak Cecil udah dateng duluan dan lagi nunggu aku sekarang. Jadi kamu antar Arina pulang dulu, ya! Kasian tuh anak, tugasnya lagi numpuk katanya kemarin."
Aku kembali menggeleng.
"Loh, kamu jadi ketemuan sama Mbak Cecil, Lit?" tanya Arina yang sudah menyusul dan berdiri di sampingku.
"Iya," jawab Pelita ganti menatap Arina. "Kamu nggak usah ikut nggak papa, Rin. Katanya tugas kamu lagi numpuk?! Aku udah minta Kak June buat antar kamu pulang ke kostan habis ini."
"Eh. Beneran nih? Nggak pa-pa?" Arina kembali bertanya.
"Iya. Nggak pa-pa," jawab Pelita lagi. "Kak," panggilnya kembali menatapku. "Antar Arina, ya! Aku pergi dulu. Dadah!" Tanpa menunggu jawabanku ia langsung pergi.
"Pelita!" Ia tidak mendengar seruanku dan tetap melenggang. Sempat menoleh ke arahku sebentar, namun tidak berhenti sama sekali.
"Pelita, makasih, ya! Ati-ati!" teriak Arina di sisi lain sambil melambai-lambaikan tangan kegirangan.
Pelita tidak menyahut. Aku melihatnya terus berjalan hingga punggung kecilnya menghilang di belokan setelah melewati pos satpam dan gerbang keluar.
Tuhan .... Tolong jaga perempuan yang kucinta. Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpanya. []