19. Fakta Mengejutkan

1206 Words
Adel memperhatikan dua orang yang duduk di sebelahnya. Key terlihat serius membantu Tristan mengerjakan tugas. Sesekali dia tertawa saat Tristan melakukan kesalahan. Adel menopang dagunya seraya memperhatikan mereka. Kok gue mendadak ngerasa jadi obat nyamuk gini? batinnya. Matanya lalu tanpa sengaja melihat seseorang yang berdiri di ambang pintu kelasnya. Adel baru saja hendak membuka suara namun orang itu langsung meletakkan telunjuknya di bibir, memberi kode agar Adel tidak mengatakan apapun. Ravano tersenyum tipis sebelum akhirnya kembali keluar. Adel menatap Ravano yang berjalan di koridor lewat jendela kelasnya. Gadis itu lalu menatap Key dan Tristan yang masih tampak serius. "Mau ke mana, Del?" tanya Key saat melihat Adel berdiri. "Gue mau ke toilet sebentar." "Oh, oke." Adel lalu berjalan keluar kelas dan sedikit berlari saat melewati koridor. "Ravano!" panggilnya tepat ketika Ravano hendak menuruni tangga. "Kenapa lo keluar?" tanya Ravano. "Harusnya gue yang nanya gitu sama lo. Kenapa barusan lo gak masuk aja? Lo mau ketemu sama Key, kan?" Salah satu sudut bibir Ravano terangkat. "Dia lagi ngerjain tugas. Gue takut ganggu. Lagian gue juga ada tugas." "Eh, tunggu!" Adel dengan cepat menahan lengan Ravano ketika lelaki itu hendak melangkah. "Apa gara-gara Tristan?" "Enggak. Gue ke sini lagi nanti pas pulang sekolah." "Gue tahu kok. Dari cara lo natap Tristan, lo pasti—" "Del, apa yang lo pikirin itu gak bener. Gue sekarang kakaknya Keanna, dan dia adik gue. Mau sama siapa pun dia deket, selama orang itu bersikap baik sama Key, gue gak berhak larang dia. Itu kan yang mau lo bahas?" Adel secara reflek menjatuhkan tangannya dari lengan Ravano. "Lo tahu sendiri gimana hubungan gue sama Key sekarang. Semakin gue ngatur kehidupan dia, semakin gue deket, maka semakin besar juga kebencian dia ke gue. Saat ini cuma lo yang bisa ngomong ke dia. Maka dari itu gue minta tolong sama lo." Ravano tersenyum tipis. "Udah, sana balik ke kelas." Adel menatap punggung Ravano yang menjauh. Gadis itu lalu membuang napasnya pelan. Kehadiran Tristan mulai memperumit semuanya. Tapi di lain sisi dengan adanya lelaki itu, dia bisa melihat Key tertawa lepas lagi. Dia bisa melihat wajah Key menghangat kembali. Tapi bagaimana dengan Ravano? Semuanya masih terasa berat sebelah. Keadaan Key mulai membaik, tapi Ravano justru sebaliknya. "Astaga." Adel memijit kepalanya. "Ini masalah mereka berdua, tapi malah gue yang pusing." Tapi jika kehadiran Tristan memang membawa pengaruh baik untuk Key, Adel harus tetap waspada. Bagaimana pun, Tristan bukan murid biasa. Dia terlibat tawuran di sekolah lamanya, dan kini dia justru pindah sekolah dan malah sekelas dengan Key. "Tunggu! Pindah?" Langkah Adel terhenti tepat di ambang pintu kelasnya. "Iya, dari sekolah gue. Dan yah, gue emang terlibat. Kalo gak terlibat, gue gak mungkin bisa nolongin temen lo yang nekat ini. Gue suruh pergi gak nurut, malah balik lagi mukulin anak-anak Panca pake kayu. Sumpah gue liatnya sampe ngeri takut nih cewek kenapa-kenapa. Untung gue gak lemah." "Jadi kenapa dia bisa terlibat tawuran? Dan kenapa dia bisa pindah ke sini?" Adel menatap Tristan yang masih mengerjakan tugas bersama dengan Key. "Satu-satunya alasan murid pindah sekolah setelah terlibat tawuran pasti ... " Kalimat Adel menggantung. Selang beberapa detik kemudian kedua matanya tampak membulat. "Ya ampun!" Adel secara reflek menutup mulutnya dengan tangan. Beberapa orang seketika menatapnya aneh. "Del, lo ngapain di situ?" tanya Key tanpa beranjak dari tempatnya. Adel mengerjap dan dia segera berjalan ke mejanya dan Key. "Ngapain ngelamun, Del?" Tristan tertawa pelan. Adel hanya menunjukkan cengiran seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tristan ... Di-drop out dari Taruna. Kedua mata Adel masih memperhatikan Tristan, sebelum akhirnya dia mendudukkan dirinya di sebelah Key. *** "Key, lo pulang sama siapa?" tanya Tristan seraya mendekati meja Key. Gadis itu tampak masih membereskan bukunya. "Gue? Hm ... Gue pulang—" "Key pulang sama Ravano. Iya kan, Key?" potong Adel cepat seraya menyikut pelan lengan Key. Kedua mata Key mengerjap. "Eh? I-iya. Gue pulang sama Ravano." Tristan membuang napasnya pelan dan mengangguk paham. "Gue pikir lo sendiri, tadinya gue mau ngajakin pulang bareng." "Oh, ya?" Key langsung melirik Adel. "M-maksud gue, mungkin lain waktu. Soalnya gue emang biasanya pulang sama Ravano." Key tersenyum tipis. Gue udah bilang sama Adel kalo gue bakalan berubah, meskipun itu bener-bener sulit. Dan gue juga harus minta maaf sama Irina. Dia pasti sedih banget tadi. "Tuh, Ravano udah dateng." Adel menunjuk ke arah pintu menggunakan dagunya. Dia mendorong pelan punggung Key dan membawanya ke arah Ravano yang sudah berdiri di sana. "G-gue duluan ya, Tris," ucap Key berusaha menolehkan kepalanya ke belakang. "Lain kali kalo mau pergi dulu, telepon Key. Jangan sampe kayak kemarin. Gue sampe gak bisa makan karena khawatir sama kalian," ucap Adel. Ravano hanya tersenyum tipis. "Iya. Makasih ya, Del." Dia menatap Key yang tampak membuang muka. Salah satu tangan Ravano mengusap puncak kepala Key. Dia sempat menatap Tristan selama beberapa saat sebelum akhirnya melangkahkan kakinya keluar kelas, diikuti oleh Key dan Adel. Mereka itu ... Beneran temen? Tristan membatin. Dia semakin merasa ada yang aneh dengan sikap Ravano pada Keanna. Gue harus cari tahu. Tristan berjalan menuju parkiran seraya memainkan ponsel miliknya. Jangan membuat Papa malu untuk yang kedua kalinya di sekolahmu yang baru. Begitu pesan yang ditulis oleh sang ayah padanya. Salah satu sudut bibir Tristan naik. Dia lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. "Lo anak baru, ya?" Langkah Tristan terhenti saat seorang murid perempuan menghalanginya. Kedua alisnya bertaut. "Ya. Kenapa emang?" "Kayaknya deket banget sama Keanna." Silvi tertawa pelan. "Gue dari kelas dua belas. Salam kenal, ya. Gue saranin sih, jangan terlalu deket sama Key. Ntar ada yang ngambek." "Maksud lo?" Silvi menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Lo gak tahu, ya? Lo bisa kena amuk Ravano kalo sampe macem-macem sama Key. Ketua OSIS aja sampe babak belur gara-gara dia " "Ravano?" Kening Tristan berkerut. Sebenarnya siapa gadis di depannya ini? Dan apa tujuannya mengatakan itu? "Mereka berdua cuma temen, kan? Lagian gue gak ada niat jahat sama Key." Mendengar itu, Silvi kembali terkekeh. "Temen? Jadi lo bener-bener belom tahu, ya? Ravano sama Keanna itu ... " "Gak usah ngomong yang aneh-aneh. Mendingan Kak Silvi banyakin belajar biar bisa lulus. Bentar lagi ujian, kan?" Secara tiba-tiba Kinn datang dan langsung merangkul bahu Tristan. Lelaki itu menatap Silvi sejenak dan menarik Tristan menjauh. "Gak usah dengerin dia," ucap Kinn pada Tristan tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Silvi di belakang sana. Wajah gadis itu sudah menekuk karena kesal. "Tunggu. Lo kenal sama dia?" tanya Tristan. "Dia Silvi, murid kelas dua belas yang cantik tapi super nyebelin. Gak usah dengerin omongan dia." Kinn melepaskan tangannya begitu mereka sampai di parkiran. "Berarti lo juga tahu soal Ravano sama Key?" Kinn diam dan menatap Tristan. "Lo juga ntar tahu sendiri." "Ravano sama Key cuma temen, kan? Tapi kenapa gue ngerasa kalo sikap mereka berdua agak berbeda. Terutama Ravano." "Lo beneran pengin tahu?" Kinn menyilangkan kedua tangannya. Tristan mengangguk. "Ravano sama Keanna itu saudara." Kedua alis Tristan bertaut. "Saudara? Terus apanya yang salah? Mereka kan cuma saudara jadi—" "Tiri." Tristan bungkam dan menatap Kinn. "Apa?" "Mereka saudara tiri. Ntar juga lo bakalan paham." Kinn langsung pergi menuju motornya. Tristan masih mencoba mencerna ucapan Kinn barusan. Lelaki itu berusaha mengingat-ingat setiap sikap Ravano pada Key yang pernah terlihat olehnya. Saudara tiri? Apa mungkin mereka— Kedua mata Tristan mengerjap. Saling suka? — To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD