"Lihat? Kamu sekarang sudah didepak dari sekolah. Mau apa sekarang? Masih mau baku hantam lagi di jalanan?"
"Udahlah, Pa. Tristan kan bisa pindah sekolah."
"Kamu pikir itu hal yang gampang, ha?!"
"Tristan gak bakalan bikin ulah lagi. Serius, asalkan Papa nurutin keinginan Tristan kali ini."
"Memangnya mau pindah ke mana kamu?"
"SMA Pelita."
Tristan melepaskan helmnya dan turun dari motor. Lelaki itu memasuki sebuah kafe dan mencari teman-temannya.
"Tris!" Seseorang mengangkat tangannya begitu melihat Tristan masuk. Sudut bibir lelaki itu naik dan segera menghampiri meja teman-temannya.
"Lama gak kumpul kayak gini lagi." Tristan melakukan tos dengan teman-temannya sebelum mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi.
"Lo kan dikurung saka bokap lo. Jadi mana bisa ikut kumpul," salah satu temannya berujar.
"Gimana sekolah baru lo? Asik gak?" sambung yang lain.
"Biasa aja sih, kayak yang kemaren. Bedanya gue belom dapet temen kayak kalian aja." Tristan terkekeh pelan.
"Oh, iya cewek yang waktu itu ... Bukannya dari Pelita, ya?"
"Iya."
Jawaban Tristan membuat teman-temannya berdeham tidak jelas.
"Pantesan lo pengen pindah ke sana. Seru dong. Haha."
"Kita sekelas," ucap Tristan santai. Dia memanggil seorang pelayan dan memesan sesuatu.
"Cieee ... "
Kening Tristan berkerut menatap reaksi teman-temannya yang menurutnya agak berlebihan. "Kenapa dah?"
"Curiga gue. Jangan-jangan lo ada apa-apa nih sama tuh cewek?"
"Ngaco lo. Ya enggak lah."
"Enggak, atau belom nih?" Semua teman-temannya kembali tertawa dan bersiul hingga beberapa pelanggan lain tampak memperhatikan mereka.
"Kalian bisa diem gak sih? Berisik banget kayak ayam." Tristan hendak memukuli kepala teman-temannya namun mereka semua selalu berhasil menghindar.
"Eh, iya. Anak-anak Panca gak bikin masalah lagi, kan?" tanyanya kemudian.
"Enggak sih. Tapi mereka justru nanyain lo. Kita gak kasih tahu lah. Kayaknya mereka tambah kesel sama lo, apalagi pas tahu ketua mereka masuk rumah sakit gara-gara lo."
"Sial. Gak ada kapoknya emang. Padahal gue gak protes pas di-DO dari sekolah. Gue pikir mereka bakalan diem, tapi ternyata tetep aja. Kenapa gak dianggap clear aja sih? Ribet." Tristan menggumamkan terima kasih pada pelayan yang membawakan pesanannya.
"Tapi saran kita sih, Tris. Lo tetep harus hati-hati. Lambat laun pasti keberadaan lo di Pita bakalan ketahuan sama mereka. Kalo ada apa-apa, lo hubungi kita aja."
"Gue udah terlalu libatin kalian. Gue aja sampe rela didepak biar kalian tetep stay di Taruna. Toh guru-guru juga semuanya ngira kalo gue biang kerok dari kejadian kemarin," ucap Tristan seraya memainkan sedotan. "Dan kalo mereka datang lagi ke Taruna, kalian diem aja. Gak usah ditanggapin. Jangan sampe nasib kalian berakhir sama kayak gue."
"Tapi Tris—"
"Pokoknya selama mereka gak nyerang duluan, kalian harus diem."
***
Key membuka pintu kamar Irina dengan perlahan. Gadis itu memasukkan kepalanya dan mencari keberadaan Irina di dalam. Gadis kecil itu tampak berada di atas ranjangnya dan memeluk sebuah boneka besar. Key tersenyum tipis, boneka yang dipeluk Irina merupakan boneka yang dibelikannya saat di pasar malam.
Gadis itu perlahan mendekat. Merasa ada yang masuk, Irina memutar badannya dan terkejut saat melihat Key yang sudah hampir naik ke atas ranjangnya yang berwarna pink.
"Kak Key ngapain ke sini?" tanya Irina pelan. Dia mendudukkan tubuhnya dan menatap Key yang duduk di depannya.
"Kakak gak boleh ke sini, ya?"
"B-boleh, kok."
Key tersenyum tipis. "Kak Key kangen sama Irina." Dia merentangkan kedua tangannya, namun Irina belum menunjukkan respon apa pun.
"Kak Key gak marah lagi sama aku?"
"Kakak gak pernah marah sama Irina."
Kedua mata bulat Irina berkedip dua kali. "Beneran?"
Key mengangguk. Kemudian kedua sudut bibir Irina naik ke atas. Gadis kecil itu langsung berhambur ke pelukan Key dan memeluknya erat.
"Irina kangen sama Kak Key," ucap Irina membuat Key terkekeh dan mengusap rambutnya.
"Maafin Kakak, ya."
Irina menggelengkan kepalanya di dalam dekapan Key. "Kakak enggak pernah salah. Aku juga minta maaf karena tadi pagi bikin Kakak marah."
"Irina, Kak Key nggak marah kok." Key mengusap punggung Irina dengan lembut. Gadis itu tersenyum, hampir saja meneteskan air mata. Gadis seumuran Irina bahkan sudah menyadari semuanya, dan itu membuat Key semakin merasa bersalah.
Kini keduanya dalam posisi berbaring, dengan Irina yang masih setia memeluk tubuh Key. Sementara Key mengelus pelan kepala Irina.
"Tadi Kak Key sama Kak Ravano beli es krim kesukaan Irina. Mau dimakan sekarang nggak?"
"Nanti aja. Aku masih kangen sama Kak Key." Irina semakin mengeratkan pelukannya, membuat Key tertawa pelan dan mencubit gemas salah satu pipi chubby gadis yang bernama lengkap Irina Tasya Arion itu.
"Oh iya, Kak?" Irina sedikit mendongakkan kepalanya dan menatap Key.
"Kenapa?"
"Kak Key sama Kak Ravano ... Enggak marahan, kan? Aku takut kalian jadi marahan gara-gara Kak Ravano pindah ke rumah Kakak."
Key terdiam selama beberapa saat lalu tersenyum. Dia menatap Irina. "Kita nggak marahan kok. Kakak kadang suka kesel aja sama Kak Ravano kalo lagi nyebelin. Kak Ravano kan nyebelin banget."
"Iya, Kak. Kak Ravano emang nyebelin. Dulu aja dia pernah makan es krim punya aku di kulkas. Terus Kak Ravano dimarahin sama mama."
Key tertawa dan kembali mencubit pipi Irina.
***
"Rav, kamu lihat Irina gak? Tadi siang dia lagi main di luar tapi barusan gak ada." Karin menatap Ravano yang tengah membuka kulkas.
"Main sama temen-temennya kali. Mau aku jemput?"
"Kayaknya gak main sama temen-temennya. Dia pasti bakalan minta izin dulu ke Mama. Coba kamu lihat di kamarnya. Mungkin aja dia tidur. Mama tanggung lagi masak."
Setelah meminum segelas air, Ravano melangkahkan kakinya menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar Irina. Dilihatnya pintu kamar adiknya itu sedikit terbuka, membuat dia bisa langsung melihatnya ke dalam.
Kedua matanya berkedip dua saat melihat ke dalam. Bibirnya perlahan tersenyum saat tahu kalau Irina tengah bersama dengan Key. Keduanya tampak tertidur. Ravano perlahan mendekat dan menaikkan selimut.
Entah sejak kapan Key berada di sana. Wajah gadis itu terlihat begitu tenang saat tertidur. Salah satu tangan Ravano terangkat dan mengelus pelan kepala Key, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya. Tidak ingin membuat Key terbangun, akhirnya Ravano memutuskan untuk kembali keluar. Dengan gerakan pelan dia menutup pintu agar tidak terdengar bunyi nyaring.
"Gimana, Rav? Irina ada gak?" Rupanya Karin menyusul ke atas.
Ravano mengangguk. "Irina sama Keanna, Ma. Mereka lagi tidur."
"Key?"
Ravano kembali mengangguk dan tersenyum. Mamanya sempat terdiam, hingga kedua sudut bibirnya pun perlahan ikut tersenyum.
— To be continued