Ravano menepuk pelan puncak kepala Key sebelum gadis itu naik ke atas motor Tristan. Tidak jauh dari posisi mereka, Adel menyikut pelan lengan Kinn. Gadis itu berbisik, "ini gue salah lihat apa gimana?"
Sementara Kinn hanya membuang napas, "Gue gak tahu ini drama macam apa, Net."
"Kayaknya ada yang salah," ucap Adel. Gadis itu lalu dengan cepat memukul punggung Kinn begitu menyadari ada yang salah dengan kalimat lelaki itu.
"Nama gue Zaneth! Zaneth Adelia!" protesnya. Dia mendengus sebal dan kembali melihat motor milik Tristan yang sudah melaju keluar dari parkiran.
"Lo kok biarin Key pulang sama Tristan?" tanya Adel begitu Ravano menghampiri motornya. "Bukannya lo sendiri yang bilang kalo Tristan bisa jadi ancaman buat Key? Kenapa sekarang tiba-tiba lo biarin mereka pergi bareng?"
"Del, gue cuma kakaknya."
Adel dengan cepat menahan tangan Ravano begitu lelaki itu hendak memakai helmnya. "Lo udah sepenuhnya ngelepas Key?"
"Keanna sekarang ceweknya Tristan. Lo pengin gue gimana?"
"A-apa?" Tangan Adel perlahan jatuh kembali ke sisi tubuhnya. "Lo gak usah ngomong sembarangan, Rav. Key bahkan gak bilang apa-apa ke gue."
"Dia belum siap bilang sama lo, Net. Dia pasti berpikir kalo lo adalah orang kedua setelah Ravano yang bakalan nentang hubungan dia sama Tristan. Lo kan sependapat sama Ravano soal Tristan," sambung Kinn.
Ravano mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan memberikannya pada Adel. Adel melihat sebuah pesan dari nomor asing di sana.
Kalo lo emang masih ragu buat ngelepas Key ke gue, kasih gue waktu. Kalo dalam waktu dua minggu dia gak bahagia sama gue, lo boleh jauhin Key dari gue. Dan gue pastiin kalo itu gak akan pernah terjadi, karena gue gak main-main. Gue, bakalan jaga Key layaknya lo jaga dia.
"Ini Tristan?" Kedua mata Adel berkedip dua kali. "Lo juga tahu soal ini, Kinn?" Gadis itu menatap Kinn, lelaki itu mengangguk.
Ravano mengambil kembali ponselnya. "Udah cukup jelas, kan?"
"Astaga, Rav. Jadi Tristan itu— ya ampun gue pusing." Adel memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut, "itu artinya Tristan cuma dijadiin pelampiasan, Rav."
"Tapi Tristan sendiri sayang sama Keanna," sahut Kinn.
"Terus Key sendiri gimana? Ini terlalu mendadak. Lambat laun, Tristan sendiri yang bakalan sakit hati. Secara gak langsung dia dimanfaatin dong."
"Del, Tristan sendiri yang mau. Lo sendiri tahu kan? Tadi dia berkali-kali minta gue buat lepas Keanna." Ravano menatap Adel yang masih terkejut. "Sekarang gue udah kasih dia kesempatan. Gue kasih Key ruang buat nyari kebahagiaannya yang baru. Sekarang gue tanya sama lo. Seberapa sering lo lihat Key ketawa sama Tristan?"
Adel mendadak kehilangan kata-kata. Perlahan gadis itu menunduk.
"Cukup sering, kan? Gue kasih mereka kesempatan. Gue lakuin ini buat Keanna, bukan Tristan. Gue pun gak bisa terus-terusan nahan Key buat pergi. Seperti yang Kinn bilang, tugas gue sekarang itu mastiin Key bahagia sama orang yang tepat. Gue akui kalau gue sedikit benci bilang gini. Tapi ucapan Kinn emang bener, kalau gue secara gak langsung udah bikin mereka berdua ketemu. Dan itu gak cuma sekali." Ravano tersenyum tipis. Dia menatap Adel dan Kinn.
"Lo pasti bisa lewatin ini, Rav. Gue yakin lo bakalan jadi kakak terbaik buat Keanna. Jujur gue agak sedih dengernya, tapi gue mulai lega karena lo akhirnya mulai lepasin Key buat orang lain."
"Kalo gue pengin Key bahagia, gue harus yakin kalo dia bakalan bahagia." Ravano menoleh saat Kinn menepuk bahunya pelan.
"Masih ada gue, Rav," ucap lelaki itu hingga Ravano langsung menepis tangannya.
"Gue masih normal, sori." Dia langsung memakai helm dan menaiki motornya.
"Maksud gue sebagai temen, oy! Emang lo pikir apaan? Ih, jijik. Gue juga masih normal kali." Kinn seketika bergidik sendiri. Sementara Adel di sebelahnya sudah tergelak.
"Gak usah ketawa lo, Net! Lo mau jadi cewek gue gak?" Kinn menyikut bahu Adel hingga tawa gadis itu terhenti.
"Dih, ogah. Lo bukan tipe gue." Adel mengusap-usap bahunya yang barusan disikut, seakan-akan ada sebuah debu di sana.
"Heh, Net—"
"Ah, berisik lo! Nat Net Nat Net! Nama gue Adel! Lo kalo mau manggil gue pake panggilan yang lain, panggil aja Zaneth!"
"Kalo manggilnya sayang boleh gak?" Kinn mengedipkan sebelah matanya. Ravano yang masih berada di sana menahan tawanya mendengar percakapan kedua manusia aneh itu.
Buk!
Kinn mengaduh saat sebuah helm menghantam kepalanya. Lelaki itu langsung memelototi Adel.
"Lo mau bunuh gue?!" semprotnya seraya mengelusi kepalanya yang berdenyut hebat.
"Gak ada sejarahnya manusia mati karena helm! Udah, sekarang anterin gue pulang." Adel langsung memakaikan helm itu di kepala Kinn.
"Loh, kok gue?"
"Buruan! Duit gue abis. Gak ada buat ongkos!"
"Awas lo ya, gue tinggalin lo ntar di kuburan keramat!" ancam Kinn. Lelaki itu mengeluarkan motornya. Sementara Ravano sudah pergi terlebih dahulu.
"Gue gak takut!" balas Adel dan langsung naik ke atas motor Kinn.
***
"Makasih," ucap Key pelan begitu dia turun dari motor Tristan. Lelaki itu tersenyum tipis dan mengusap puncak kepalanya pelan.
"Sana masuk. Jangan lupa besok praktikum. Bahan-bahannya jangan sampe ketinggalan," kekehnya hingga Key berkedip dua kali. Gadis itu lalu tertawa pelan.
"Udah, sana masuk. Gue pulang ya."
Key mengangguk, "Hati-hati."
Motor Tristan perlahan menjauh. Key menghela napasnya.
Kenapa lo lakuin ini, Tris? Gue jadi ngerasa bersalah sama lo.
Key perlahan melangkahkan kakinya memasuki rumah. Setibanya di kamar, dia langsung merebahkan dirinya di kasur dan memandangi langit-langit.
"Lagian lo gak ngerasa aneh gitu, kenapa Tristan bisa masuk sini? Gak masalah kalo emang dia masuk kelas lain, tapi ini masuk ke kelas kita. Sekelas sama lo."
Sekarang Key paham ucapan Adel. Memang tidak pernah ada yang namanya kebetulan. Segala sesuatunya pasti sudah direncanakan. Termasuk kepindahan Tristan ke sekolahnya, ke kelasnya.
"Gue bilang sama Ravano kalo gue sayang sama Ravano."
Key mengusap wajahnya. Lalu dia menatap salah satu foto yang dipajang di kamarnya. Itu adalah foto keluarganya sekarang. Handoko dan Karin duduk di sebuah kursi dengan Irina yang duduk di antara keduanya. Sementara dia dan Ravano berdiri di belakang kedua orang tuanya. Key menatap dirinya di sana. Gadis yang berada di dalam foto itu menatap ke arah kamera tanpa senyuman sama sekali, berbeda dengan yang lain. Mereka tampak tersenyum lebar, begitu pula Ravano. Key menatap sejenak Ravano di sana. Dia tahu kalau lelaki itu tidak sepenuhnya tersenyum. Ya, hatinya terluka di sana.
"Ternyata wanita yang selama ini dibicarain papa itu mama lo, Rav. Mereka bakalan nikah dalam waktu dekat."
Key masih ingat bagaimana ekspresi Ravano malam itu. Senyuman di bibir lelaki itu mendadak hilang ketika mendengar ucapannya.
"Lo bercanda, kan?"
"Apa gue terlihat bercanda?"
"Terus kita? Kita gimana?"
"Kita ... Gak bisa bareng, Rav. Status kita bakalan beda."
Saat itu mungkin Key masih bisa tersenyum. Ya, tersenyum. Namun keadaan berbanding terbalik seiring berjalannya waktu. Ravano yang kala itu terlihat tidak terima justru tampak begitu bahagia, dan cenderung berusaha menenangkan Key yang sering memberontak dan putus asa.
"Apa gue bisa memulai semuanya lagi dari awal?" Key bergumam. Mengingat Tristan, membuatnya kembali merasa bersalah. Lelaki itu merelakan dirinya sebagai bahan pelampiasan, dan Key malah menerimanya begitu saja.
— To be continued