Key turun dari motor Tristan begitu dia sampai. Sementara Ravano langsung memasukkan motornya ke dalam garasi.
"Makasih," ucap Key. Tristan tersenyum dan mengacak puncak kepala Key. Dia lalu beralih menatap Ravano baru saja keluar dari garasi. Pandangan kedua lelaki itu saling bertumbuk, sebelum akhirnya saling melempar senyuman. Key bahkan terkejut. Dia menatap Tristan dan Ravano bergantian.
"Ada apaan nih? Gue ngerasa ada yang gak beres," ucap gadis itu yang langsung disambut oleh gelak tawa Tristan.
"Gak usah mikir yang aneh-aneh. Sana masuk, jangan lupa besok dandan yang cantik." Tristan mengedipkan sebelah matanya.
Key tertawa pelan. "Bawel lo. Gue kan emang cantik," ucapnya dengan penuh percaya diri. Tidak lama kemudian Tristan berpamitan pulang. Key dan Ravano pun masuk ke rumah.
Suasana terasa begitu berbeda begitu mereka masuk. Handoko yang sedang libur itu pun terlihat sedang bercanda dengan Irina di sofa depan TV. Sementara Karin hanya menyimak mereka, sesekali ikut tertawa.
"Ada apa nih? Seneng banget kayaknya." Key menatap mereka bertiga. Irina yang melihat Key pun segera berlari dan memeluk kakaknya.
"Kenapa sih?" Ravano ikut penasaran.
"Aku mau punya adik loh, Kak," ucap Irina dengan senyum lebarnya. Masih dengan posisi memeluk perut Key, Irina menengadahkan kepalanya.
Key berkedip dua kali. Lalu menatap kedua orang tuanya. "Beneran?"
Karin dan Handoko bertatapan satu sama lain. Mereka tersenyum, dengan Karin yang langsung memeluk lengan Handoko erat. Hal itu membuat Key lantas menatap Ravano yang juga terkejut. Mereka berdua tampak terdiam selama beberapa saat, bahkan sempat membuat senyuman Handoko dan Karin memudar perlahan. Apa Key dan Ravano tidak senang?
Namun perkiraan mereka langsung hilang begitu Key dan Ravano memeluk erat, disusul oleh Irina yang menempatkan dirinya di antara tubuh Handoko dan Karin, memeluk lengan kedua kakaknya.
Karin hampir saja meneteskan air matanya melihat rona bahagia di wajah Key. Dia sempat berpikir kalau Key akan kembali membencinya dan menjauh, namun dia begitu bersyukur karena Key justru ikut bahagia. Akhirnya gadis itu benar-benar kembali.
"Udah berapa minggu, Ma?" tanya Key begitu melepaskan pelukannya.
"Kata dokter, baru dua minggu." Karin tersenyum. Dia mengelus rambut Key dengan lembut.
"Aku nggak sabar~" Irina kembali memeluk perut Karin.
"Semoga nanti bayinya perempuan. Pasti bakalan cantik—"
"Bayinya cowok, Key," ucap Ravano, membuat senyuman Key memudar. Gadis itu langsung menatapnya dengan tatapan tidak setuju.
"Gue maunya cewek."
"Lo kan udah ada Irina. Dia juga cewek. Sekarang giliran gue, jadi bayinya harus cowok," balas Ravano. Keduanya kini menatap sengit satu sama lain. Karin langsung menatap Handoko. Apa yang harus dia lakukan? Memangnya jenis kelamin bayi bisa ditentukan sesuka hati dengan mudah?
"Kak, tapi kan aku belom pernah punya adik." Irina tidak mau kalah. Gadis itu menatap kedua kakaknya.
Key dan Ravano menatap Irina selama beberapa saat dan menghela napas. "Ya udah deh, kembar cewek cowok," ucap mereka bersamaan. Kedua orang tua mereka terkejut mendengar itu. Suasana kembali hening, namun kembali ramai saat tawa mereka kembali terdengar.
***
Handoko yang tengah membaca koran di teras menoleh begitu sebuah mobil berhenti di halaman rumah. Dua orang remaja keluar dari dalam.
"Pagi, Om," sapa seorang gadis. Handoko menyipitkan kedua matanya, merasa mengenali sosok itu.
"Adel, 'kan?" ucap Handoko memastikan. Lelaki itu tersenyum.
"Hehe. Iya, Om." Adel segera menghampiri Handoko dan menyalaminya.
"Lama ya, kamu gak ke sini," ucap Handoko seraya mengacak pelan puncak kepala Adel. Netranya lalu menatap seorang laki-laki yang datang bersama Adel. "Ini siapa? Pacar kamu, ya?"
Adel sontak memelotot dan menoleh ke arah Kinn dengan kening berkerut. "Bukan, Om! Dia temennya Ravano. Kemarin kita janjian mau pergi bareng, jadi kita nyamper dulu ke sini," ungkap Adel.
"Iya juga gak apa-apa kali, Del." Handoko tertawa pelan.
Kinn segera menyalami pria itu. "Saya Kinn, Om. Temen sebangkunya Ravano," ujarnya.
"Ehh ... ada Kinn. Lama gak ketemu, ya."
Kinn tersenyum dan menyalami tangan Karin yang baru saja keluar. "Tante apa kabar?"
"Baik. Mama kamu gimana kabarnya?" balas Karin.
"Mama sehat, Tante."
Karin tersenyum. Dia lalu menatap Adel dan mendekatinya. "Ini pacar kamu? Cantik, ya. Pantes gak pernah nyamper main Ravano lagi." Karin tertawa. Kedua remaja itu lagi-lagi tersentak dan menatap satu sama lain.
"Dia bukan pacar aku kok. Kita cuma temen," jelas Adel buru-buru. Kenapa jadi salah paham begini?
"Dia temen sebangkunya Key." Kinn melanjutkan.
Karin mengernyit bingung, sementara Handoko tertawa pelan. Dia hendak kembali membaca koran namun pandangannya kembali teralih saat sebuah motor berhenti di halaman rumah.
"Nah, kalo yang itu pacarnya siapa?" tanya Handoko dengan diiringi tawa pelan. Kinn dan Adel menolehkan kepalanya dan mereka tersenyum simpul.
"Kalo itu pacarnya anak Om," Adel tergelak, membuat Handoko dan Karin bertatapan satu sama lain. Handoko lalu berdiri, menghampiri si pengemudi motor yang kini melepaskan helmnya.
Raut wajah Adel seketika berubah panik. Dia langsung menyikut lengan Kinn. "Gimana nih? Kalo si Tristan diamuk gimana?" bisiknya. Tapi bukannya panik, Kinn justru malah menyeringai.
"Mampus si Tristan, pasti bakalan kena semprot." Kinn berkata lirih dan Adel langsung menyikutnya. Apalagi saat Karin ikut mendekati Tristan, seringaian Kinn semakin menjadi.
Tristan terkejut saat seorang pria dan wanita menghampirinya. Lelaki itu lantas segera menyalami mereka.
"Kamu pacarnya Keanna?" tanya Handoko to the point. Dia merasa tidak asing dengan wajah itu. Tristan berkedip dan melirik Adel dan Kinn yang tengah cekikikan di belakang sana.
"Eh?" Tristan mengelus tengkuknya. "I-iya, Om. Saya Tristan."
"Udah lama?" Kini Karin yang bertanya. Dia yakin dia pernah mendengar nama itu.
"Baru dua minggu."
"Ah, pantesan. Dia yang diomongin sama Irina itu loh, Pa. Yang katanya temen baru Key yang waktu itu nyamper berangkat sekolah ." Karin menatap Handoko.
Tristan mengernyit bingung, dia menatap Handoko dan Karin bergantian.
Handoko lantas mengamati wajah Tristan yang terlihat memar di beberapa bagian. Diperhatikan seperti itu membuat Tristan salah tingkah sendiri dan memilih menunduk.
Bersamaan dengan itu, Ravano dan Key keluar. Mereka melihat kedua orang tua mereka tengah bersama dengan Tristan.
"Ada apaan nih?" tanya Key pada Adel.
"Cowok lo lagi diinterogasi, Key." Kinn menyahut, kemudian tertawa. Key berkedip dan segera menghampiri mereka bertiga. Sementara Ravano hanya berdiri di tempatnya.
"Lo gak panik, Rav?" tanya Adel.
Ravano menatap Adel sekilas dan berkata dengan wajah lempeng, "kenapa gue harus panik?"
Key langsung berdiri di depan Tristan hingga Handoko dan Karin terkejut. "Papa ngapain? Gak usah interogasi Tristan segala dong." Gadis itu membentangkan tangannya dan menatap kedua orang tuanya bergantian.
Handoko melipat kedua tangannya di depan d**a. "Yang bilang Papa lagi interogasi Tristan siapa, hm? Irina bilang katanya dia temen baru kamu, tahu-tahunya cowok baru kamu. Kenapa gak bilang, hm?" Handoko menyentil dahi hingga gadis itu mengaduh pelan.
"Ravano tahu, kok!" tunjuk Key pada Ravano.
"Beda lah, Keanna." Karin tertawa pelan.
Handoko kembali menatap Tristan, "Kamu berkelahi sama Ravano, ya?"
"Eh?" Tristan dan Ravano saling bertatapan satu sama lain.
"Enggak kok!" Key kembali menyahut. Di detik berikutnya dia bergumam, "eh, pernah sih. Eh, enggak!"
Handoko dan Karin mengerutkan dahi, Adel dan Kinn tergelak di belakang sana. Teman tidak berakhlak ya seperti mereka, bukannya membantu malah menertawakan.
Tawa Handoko lantas terdengar. "Iya, tahu. Wajar sih kalo mereka berkelahi." Pria itu lantas menolehkan kepalanya ke arah Ravano yang langsung mengerjap.
"Tristan yang kemarin bantuin aku. Dia nyuruh bawa Key pulang." Ucapan Ravano membuat semua orang terkejut.
Mampus! Kenapa Ravano harus ngomong, sih? Kalo Papa sampe tahu Tristan pernah terlibat tawuran—
"Kamu yang kemarin berantem juga sama anak-anak yang suka tawuran itu?" Wajah Handoko berubah lebih serius, membuat Key memucat. Adel dan Kinn langsung terdiam. Mereka lantas menatap Ravano, sementara lelaki itu mengangkat bahu merasa kalau ucapannya tidak salah.
"Iya." Tristan berujar pelan.
Hening selama beberapa saat. Di detik berikutnya jantung Key seperti hendak meloncat keluar saat Handoko mengangkat salah satu tangannya ke udara. Key hendak bertindak namun langsung terdiam saat tangan Handoko yang melewati kepalanya itu malah menepuk bahu Tristan.
"Lain kali jangan terlalu maksain, apalagi kalo sampe ngelawan sendiri. Makasih karena sudah melindungi anak saya."
Tristan mengerjap. Dia lantas menatap Ravano yang kini tersenyum miring. Tristan perlahan tersenyum dan mengangguk. "Iya, Om."
"Kenapa mukamu begitu?" Handoko tertawa melihat wajah tegang Key. Gadis itu mengerjap dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Pasti susah ya, dapetin Keanna?" Handoko tersenyum simpul. Pria itu lantas menoleh ke belakang, tepat ke arah Ravano.
Ravano terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya ikut tersenyum.
— To be continued