Irina langsung berlari keluar dari mobil begitu melihat cahaya yang gemerlapan. Senyuman anak itu kian melebar. Tidak lama setelahnya, Ravano dan Key segera menyusul Irina.
"Sorry, ya. Irina kayaknya bener-bener pengen pergi sama lo," ucap Ravano.
"Gak masalah. Gue juga selama ini gak pernah ngajak Irina pergi kalau nggak sama Papa." Pandangan Key lurus ke depan, menatap Irina yang juga tengah menatapnya dan Ravano. Gadis kecil itu lalu berlari menghampirinya.
"Kak, aku mau beli itu!" tunjuk Irina pada penjual permen kapas seraya menarik tangan kedua kakaknya. Ravano dan Key saling bertatapan selama beberapa saat sebelum akhirnya mengikuti langkah Irina.
"Lo juga mau?" tanya Ravano pada Key.
"Nggak usah."
Ravano menghela napasnya. Dia lalu segera membelikan Irina permen kapas. Sementara Key kini menatap ke sekitarnya. Terakhir kali mereka pergi ke pasar malam, sekitar tujuh bulan yang lalu. Tepat sebelum orang tuanya dan Ravano memberikan pernyataan mengejutkan tentang rencana pernikahan mereka.
Lagi-lagi Keanna mengingatnya. Menyebalkan sekali. Key kini menatap Irina yang terlihat menikmati permen kapasnya. Key ingat, dulu dia sering pergi ke rumah Ravano dan membelikan Irina banyak makanan. Anak itu selalu senang setiap kali Key datang berkunjung. Bahkan tidak jarang juga dia dan Ravano mengajak Irina pergi.
"Kakak mau?" Irina menyodorkan permen kapas berwarna merah muda yang dia pegang. Key tersadar dari lamunannya dan tersenyum tipis. Dia mengusap puncak kepala Irina.
"Buat kamu aja."
"Aku seneng akhirnya Kak Key mau pergi sama aku. Kakak sibuk terus sampai jarang main lagi sama aku."
Ucapan Irina membuat Key terdiam. Gadis itu menatap Ravano. "Maaf, ya. Nanti Kakak temenin Irina main."
Kedua sudut bibir Irina membentuk lengkungan ke atas. Anak itu kembali menarik tangan kedua kakaknya. Irina menaiki beberapa wahana anak, sementara Key dan Ravano menunggunya. Sesekali Irina melambaikan tangannya. Dia tampak begitu senang.
"Makasih karena udah mau nemenin Irina. Mama seneng liat lo akhirnya mulai bisa nerima-"
"Gue ngelakuin ini buat Irina," potong Key cepat. Dia melambaikan tangannya ke arah Irina yang juga melambaikan tangan padanya.
"Key."
Senyuman Key perlahan menghilang. Dia lalu menatap Ravano. "Maaf. Tapi gue ngelakuin ini bener-bener cuma buat Irina. Selain itu, gue belum bisa."
Ravano membuang napasnya pelan. "Gue harus gimana biar lo bisa nerima keberadaan mama? Lo gak bisa gini terus. Orang tua kita berhak bahagia. Mama juga sebenarnya gak tahu kalo lo anaknya Om Handoko, begitu juga sama Om Handoko yang gak tahu kalo gue ini anaknya mama. Mereka gak tahu kalo kita kenal jauh lebih lama dibanding mereka."
"Lalu bagaimana dengan kita? Apa kita gak berhak bahagia?" Key menatap penuh Ravano. Kedua tangan gadis itu meremas pinggiran sweater yang dikenakannya.
"Key." Ravano menyentuh bahu Key namun langsung ditepis oleh gadis itu. "Gue udah pernah bilang sama lo. Mungkin ini yang terbaik buat kita. Bahagia itu nggak harus jadi pasangan. Kita juga bisa bahagia, meskipun status kita sekarang saudara. Kita masih bisa bareng, Key."
"Kakak kenapa?"
Ravano dan Key sontak menoleh pada Irina yang entah sejak kapan sudah keluar. Anak itu menatap kedua kakaknya bergantian. "Kalian berantem?"
"Enggak kok, kita gak berantem." Ravano mengusap puncak kepala adiknya. Dia lalu menatap Key yang kini membuang pandangannya.
"Kak Key?" Irina menarik pelan ujung sweater Key dan menatapnya. Key menoleh. "Kakak marahan sama Kak Ravano, ya?"
"Enggak kok." Key tersenyum tipis. "Oh, iya. Irina mau boneka nggak? Tadi Kakak lihat ada boneka yang bagus banget loh."
"Mau!" seru Irina dengan kedua mata berbinar.
Key mengacak pelan rambut Irina dan segera menarik tangan gadis itu. Ravano menatap mereka berdua yang pergi mendekati salah satu penjual boneka.
"Mau sampai kapan lo kayak gini, Key?"
***
Beberapa orang memperhatikan keributan kecil di depan pintu masuk bianglala. Seorang anak kecil tampak berusaha mengajak kakak perempuannya masuk, namun selalu ditolak. Sementara sang kakak laki-laki tampak berusaha menengahi mereka.
Ravano berkali-kali melirik ke arah antrean di belakangnya. Orang-orang tampak memperhatikannya, dan membuatnya merasa tidak enak.
"Irina naik sama Kak Ravano aja, ya? Kak Key nanti tunggu di bawah. Nanti kita naik yang lain," bujuk Ravano pada Irina. Gadis kecil itu memeluk erat boneka yang dibelikan Key tadi, lalu menatap kakak perempuannya itu dengan tatapan memohon. Tangannya bahkan masih setia meremas pinggiran sweater milik Key.
"K-Kakak gak bisa, Irina. Nanti aja ya?" Key berkata dengan napas yang semakin memburu. Dahinya mulai lembab, membuat Ravano yang melihatnya semakin khawatir. Keanna sejak kecil takut ketinggian. Dan penyebabnya adalah bianglala. Keanna dan teman-temannya dulu menaiki bianglala saat liburan sekolah, namun wahana itu bermasalah dan berhenti berputar, membuatnya terjebak di bagian paling atas selama berjam-jam. Keanna kala itu menangis histeris bersama teman-temannya. Handoko dan Diana yang melihat dari bawah khawatir bukan main, apalagi tangisan Keanna paling kencang dan terdengar hingga ke bawah.
"Nanti Kak Key sibuk lagi. Aku gak mau! Ayo, Kak." Irina semakin menarik tangan Key.
"I-Irina ... " Key menatap pintu bianglala yang terbuka lebar itu dengan kedua mata yang mulai berembun.
"Irina, jangan paksa Kak Key. Besok kita main ke sini lagi." Bujukan Ravano lagi-lagi tidak mempan. Lelaki itu menatap Key yang sudah memasuki bianglala dengan khawatir. Wajah gadis itu terlihat memucat.
Ravano menghela napas. Setelah meminta maaf pada si penjaga wahana, dia pun segera menyusul Irina dan Key.
"Tangan Kak Key kok dingin banget? Kakak kedinginan, ya?" tanya Irina. Key yang menunduk itu pun sedikit mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis.
"I-iya," jawab gadis itu seadanya. Dia berkali-kali menelan ludah, terlebih saat Irina berseru ketika mereka sampai di tempat yang paling atas. Gadis kecil itu tidak henti-hentinya memuji pemandangan malam yang dia lihat. Berbanding terbalik dengan Key yang terlihat semakin mengkhawatirkan.
Sejak naik tadi, Ravano tidak melepaskan pandangannya dari Key yang duduk di depannya, barang sedetik pun. Kedua tangan gadis itu bahkan terlihat bergetar, pandangan matanya tidak fokus dan terus menunduk ke bawah.
"Key ... " Ravano mulai panik sendiri saat melihat setetes keringat yang jatuh dari kening Key.
"Kak Key, lihat! Di sana ada pohon warna- warni!"
Tubuh Key tersentak saat Irina secara tiba-tiba menggenggam tangannya dan menunjuk ke arah yang dimaksud. Key hanya merespon seadanya. Kepalanya mulai terasa berputar, entah kenapa waktu seperti berjalan begitu lambat.
Ravano sudah hampir berdiri namun Key memberi kode dengan tangannya agar Ravano tetap diam di tempatnya.
"Key, tapi lo-"
Kepala Key menggeleng pelan. Tidak lama kemudian bianglala itu berhenti. Ravano dengan sigap menahan tubuh Key yang hampir tumbang. Wajahnya benar-benar pucat. Ravano segera memapah Key keluar. Dia menatap Irina yang sudah keluar terlebih dulu dan terus menerus tersenyum lebar. Gadis itu benar-benar senang.
"Kita duduk dulu, gue beliin lo minum." Ravano hendak mendudukkan Key namun gadis itu dengan cepat menggeleng.
"Kita pulang."
"Tapi Key-"
"Pulang," ulang Key dengan penuh penekanan. Akhirnya Ravano menyerah. Dia segera mengajak Irina pulang. Beruntung karena gadis kecil itu mau menurut dan langsung naik ke mobil.
"Key, lo yakin? Setidaknya lo harus minum."
Lagi-lagi Key menggelengkan kepalanya. Ravano segera membantu Key memasangkan sabuk pengaman. Dia segera menghidupkan mobil dan pulang.
Irina yang duduk di belakang rupanya tertidur. Gadis itu memeluk boneka pemberian Key. Pandangan Ravano kini beralih pada Key yang duduk di sebelahnya. Kedua mata gadis itu terpejam, namun Ravano tahu kalau Key tidak tidur.
"Maaf, ya. Irina gak tahu kalo lo phobia ketinggian."
"Gak apa-apa. Gue gak masalah selama Irina seneng." Kedua mata Key masih terpejam.
Ravano mengelus puncak kepala Key lembut. "Makasih banyak, Key. Lo sebaiknya tidur. Nanti gue bangunin kalo udah nyampe rumah." Lelaki itu kembali fokus pada jalanan.
Tidak ada jawaban. Namun setelah itu, tanpa Ravano ketahui, kedua mata Key perlahan terbuka.
- To be continued