Jam dinding masih menunjukkan pukul satu dini hari. Semua orang masih tertidur lelap. Ravano perlahan menaiki satu per satu anak tangga. Rasa haus yang tiba-tiba datang membuatnya harus turun ke dapur.
Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar Key yang berada di sebelah kamarnya. Lelaki itu terdiam. Sejujurnya dia masih khawatir pada gadis itu. Tapi sekarang mungkin Key sudah tidur.
Tepat ketika dia melangkah, dia mendengar sesuatu dari dalam kamar Key. Kening Ravano berkerut dan dia mendekatkan telinganya pada pintu. Dia yakin dia mendengar sesuatu tadi.
"Key?" panggilnya pelan seraya mengetuk pintunya. Namun tidak ada respon. Ravano tidak langsung pergi, karena mendadak perasaannya tidak enak. Kini dia bahkan seperti mendengar Key terbatuk di dalam sana. Terlanjur khawatir, akhirnya Ravano segera memegang kenop pintu. Beruntung Key tidak mengunci pintunya, jadi Ravano bisa langsung masuk.
Key tidak terlihat di ranjangnya. Kedua mata Ravano menatap pintu kamar mandi dan dia segera mendekat ke sana begitu mendengar suara keran dinyalakan.
"Keanna?" Dia mengetuk pintunya. "Key? Lo baik-baik aja?"
Pintu kamar mandi tidak dikunci, Ravano segera membukanya. Lelaki itu terkejut melihat Key yang terduduk di bawah wastafel. Dahinya berkeringat. Ravano segera mengangkat tubuh Key dan langsung membawanya kembali ke ranjangnya.
"Key? Lo kenapa?" Ravano menyentuh kening Key yang terasa dingin. "Gue panggilin mama, ya?"
Key langsung menahan tangan Ravano begitu lelaki itu hendak pergi. "Gue nggak mau ganggu. Bentar lagi juga gue baikan." Key berucap lirih.
"Kepala gue masih pusing," lanjutnya.
"Lo barusan muntah?"
Key mengangguk, membuat Ravano semakin cemas. "Gue ambil minum dulu."
Key memijit keningnya yang masih terasa berdenyut. Dia tidak menyalahkan Irina, karena gadis itu memang tidak tahu apa pun tentang phobianya.
Tidak lama kemudian Ravano datang dengan membawa segelas air dan obat. Dia lalu membantu Key mendudukkan tubuhnya.
"Minum obatnya, habis itu lo tidur. Harusnya tadi lo bilang kalo lo sakit."
"Gue gak sakit, cuma pusing doang," ucap Key lalu meminum obat yang diberikan Ravano. "Makasih. Sori karena gara-gara gue lo jadi keganggu. Lo bisa kembali ke kamar lo." Key merebahkan tubuhnya.
"Gue tetep di sini sampai lo tidur." Ravano menaikkan selimut milik Keanna. "Lo pasti dari tadi gak bisa tidur. Iya kan?"
"Rav, lo nanti bisa ngantuk. Gue udah agak mendingan. Ini masih malam, lo harus tidur." Menolehkan kepalanya ke arah lain dan memejamkan kedua matanya.
Pada akhirnya Ravano memilih menurut. Dia berdiri dari posisinya lalu berkata, "tapi kalo ada apa-apa lagi, lo telepon gue."
Tidak ada jawaban dari Key. Ravano mengusap puncak kepala gadis itu sebelum pergi.
"Sleep well, Keanna."
Kedua mata Keanna perlahan terbuka tepat ketika pintu kamarnya ditutup. Gadis itu menoleh. "Sleep well, Ravano."
***
Handoko memperhatikan piring Keanna yang masih tampak bersih. Dia lalu menatap putrinya yang kini tengah meminum segelas s**u.
"Kamu gak makan, Key?" tanyanya hingga beberapa orang yang ada di sana menatap ke arah gadis itu.
"Key gak nafsu makan, Pa."
"Kak Key sakit? Kenapa Kakak sekolah?" Irina memegang pergelangan tangan Key begitu sang kakak berdiri.
"Kakak hari ini ada ulangan." Key tersenyum tipis.
"Rav, kamu berangkat sama Key, ya? Mama khawatir kalo dia harus naik angkot terus." Karin menatap Ravano yang duduk di depannya.
"Nggak usah. Aku udah baikan," jawab Key cepat sebelum Ravano membuka suara. "Kakak berangkat dulu, ya." Key mengusap puncak kepala Irina.
"Hati-hati ya kak. Aku doain semoga nilai ulangan Kakak bagus!" Irina mengacungkan kedua jempolnya, membuat Key tersenyum gemas. Gadis itu lalu menghampiri sang ayah dan langsung menyalaminya. Sejenak dia menatap Karin, sebelum akhirnya dia pun menyalaminya juga.
"Aku berangkat."
"Hati-hati, ya." Karin hendak mengusap kepala Key namun gadis itu menghindar dan langsung pergi. Handoko yang melihat itu hampir saja memanggil kembali putrinya namun Karin segera menahannya. Wanita itu tersenyum, dan kembali menatap Ravano. Dia memberi kode kepada putranya agar segera menyusul Key.
Ravano pun segera menyelesaikan sarapannya dan menyalami Handoko dan Karin. Dia juga mencium puncak kepala Irina.
"Kak, jagain Kak Key, ya!" Irina mengerjapkan kedua matanya. Ravano tertawa pelan dan mencubit pipi adik bungsunya itu sebelum pergi menyusul Key.
"Maafin sikap Key, ya. Dia benar-benar belum terbiasa," ucap Handoko. Karin hanya tersenyum. Dia tidak pernah marah atas sikap Key, karena dia sangat memahami apa yang dirasakan oleh gadis itu. Karin yakin, suatu saat nanti keluarganya akan menemukan kebahagiaan, tidak terkecuali Ravano dan Keanna.
Sementara itu di luar, Ravano tengah memaksa Key agar mau berangkat bersamanya.
"Lo gak denger tadi mama ngomong apa? Dia bahkan khawatir sama lo, Key."
Key terdiam. Akhirnya dia menyerah dan memilih menurut dibandingkan harus berdebat dengan Ravano. Key mengambil sebuah helm yang Ravano berikan, sebelum akhirnya dia naik ke atas motor lelaki itu.
"Bawel," ucap Key pelan ketika motor milik Ravano melaju.
"Gue denger," sahut Ravano, membuat Key mengerjapkan kedua matanya dan langsung membuang muka ke arah lain.
***
"Key, lo nggak apa-apa?" Adel bertanya begitu kelasnya keluar dari lab biologi. "Selama ulangan tadi, gue khawatir sama lo. Apalagi tadi Ravano sempet ngirim gue SMS. Katanya phobia lo kambuh, gara-gara semalam naik bianglala bareng Irina."
Kedua alis Key bertaut. "Ravano SMS lo?"
"Iya. Pantesan aja lo keliatan pucat gitu. Padahal gak usah dipaksain berangkat."
"Dasar ember."
Adel mencebik. "Ish, Ravano tuh khawatir sama lo. Jadi dia nitipin lo ke gue. Jadi sebagai teman sebangku sekaligus sahabat lo, gue bakalan mastiin lo baik-baik aja."
Key melirik Adel dengan ekor matanya. "Lo kan bukan tempat penitipan, Del. Dan lo mau-mau aja?"
"Udah gue bilang kalo Ravano khawatir sama lo, Keanna Eirene. Dia gak bisa dateng terus ke kelas buat cek keadaan lo. Yang ada lo pasti langsung ngusir dia." Adel menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Lagian lo kenapa harus nurut? Lo kan tinggal bilang sama Irina kalo lo phobia ketinggian."
"Gue gak tega. Gue udah terlalu sering nolak ajakan dia." Key menghela napasnya.
Lapangan futsal terlihat ramai oleh beberapa murid laki-laki begitu mereka lewat. Key tidak sengaja melihat Ravano, namun gadis itu langsung membuang muka.
"Si Key sekarang emang jarang ngomong, ya. Beda sama yang dulu," ucap Kinn. Ravano hanya mengangguk tanpa mengalihkan tatapannya dari Key.
"BTW dia kenapa, Rav? Kayak orang sakit gitu. Lo apain?"
Ravano langsung menoyor kepala Kinn. "Dia lagi gak enak badan. Lo gak usah nanya yang aneh-aneh deh."
Kinn hanya nyengir.
"Woy, buruan tendang bolanya!" seru siswa lain. Kinn segera mengambil ancang-ancang dan bersiap menendang bola, namun di detik berikutnya dia justru mengambil bola itu dan langsung melemparkannya. Kedua mata Ravano membulat.
"Kinn!"
Seringai mulai tercetak di bibir Kinn. Lelaki itu terlihat puas begitu lemparannya mengenai sasaran. Namun raut wajahnya mendadak panik saat orang yang menjadi sasarannya itu justru tumbang. Ravano langsung berlari ke sana.
"Keanna!"
— To be continued