"Makanya jangan lari. Kakak kan tadi udah bilang." Key menempelkan plester ke lutut Irina yang terluka. Gadis kecil itu terjatuh karena berlarian saat mengantar Key ke warung di dekat rumahnya. Key mendongak, menatap Irina yang masih sesegukan dengan kedua mata berair. Tangannya lalu mengusap puncak kepala Irina dengan lembut.
"Udah, jangan nangis lagi. Irina kan kuat," ucapnya.
"Makanya dengerin kata Kak Key." Karin ikut nimbrung dan meletakkan puding cokelat di atas meja. Kedua sudut bibir Irina semakin melengkung ke bawah.
"Udah, udah. Mendingan makan puding, hm?" Key mendudukkan tubuhnya di sebelah Irina dan menyuapinya sesendok puding. "Enak?"
Irina mengangguk, membuat Key mengacak puncak kepalanya gemas. Tidak lama kemudian Ravano datang dan mendudukkan dirinya di sofa yang berseberangan dengan Key. Gadis itu menatapnya sekilas sebelum akhirnya kembali fokus menyuapi Irina. Dia bahkan tidak menghiraukan Ravano yang terus menatapnya.
"Ekhm! Rav, bisa ambilin Mama minum?" Karin yang memang selalu peka dengan situasi di dekatnya langsung angkat bicara. Kedua putra putrinya pasti sedang tidak akur lagi, begitu yang dia simpulkan. Kadang mereka bareng, kadang sebaliknya. Mungkin lebih tepatnya mood Keanna yang selalu mudah berubah.
"Mau sekalian gak?" tanya Ravano pada Key. Gadis itu menatapnya sekilas. "Buat Irina aja. Gue bisa ambil sendiri."
Ravano menghela napas dan pergi ke dapur untuk mengambilkan minum.
"Key?"
"Ya?"
Karin tersenyum tipis saat Key menyahut panggilannya. Gadis itu perlahan mulai lunak padanya, meskipun belum bisa memanggilnya dengan sebutan mama.
"Kamu sama Ravano marahan lagi?" tanya Karin.
"Enggak kok. Biasanya kan juga gini." Key memasukkan sepotong puding ke dalam mulutnya.
"Maafin Ravano, ya."
Key membuang napasnya. "Gak ada yang salah kok. Gak perlu minta maaf."
Karin hendak kembali bicara namun langsung diurungkannya begitu melihat Ravano datang. Lelaki itu meletakkan dua gelas air ke atas meja.
"Makasih, ya." Karin mengambil salah satunya dan langsung meminumnya.
"Kak Tristan itu sebenernya siapanya Kakak sih?" celetuk Irina, membuat ketiga orang dewasa di sekitarnya langsung menatap padanya.
"Tristan siapa?" Karin menatap Key dan Ravano bergantian.
"Temen barunya Kak Key. Orangnya baik, terus keren. Tadi Kak Key juga pulangnya dianter sama Kak Tristan," ucap Irina sebelum memasukkan sesendok puding ke dalam mulutnya.
"Murid pindahan di kelas aku." Key menjelaskan begitu Karin menatapnya. "Orangnya asik. Baik kok. Dia orangnya gampang beradaptasi."
Pandangan Karin lalu teralih pada Ravano yang tidak berekspresi sama sekali. "Dia murid baru dan kalian sudah sedekat itu?" tanyanya lagi pada Key.
"Jadi sebelum dia pindah itu, aku beberapa kali pernah ketemu sama dia. Dia itu cowok yang kasih jaket ke aku pas aku pulang naik angkot." Kedua sudut mata Key melirik ke arah Ravano selama beberapa saat.
"Oh, ya? Wah ... Bisa kebetulan gitu ya. Apalagi dia masuk di kelas kamu."
Key tersenyum menanggapi ucapan Karin. "Iya, kebetulan banget."
Tiba-tiba Ravano beranjak dari tempatnya dan berjalan kembali ke atas. Karin menatap punggung putra sulungnya yang menjauh.
***
"Tristan!"
Kedua kaki Tristan berhenti dan dia menoleh ke belakang. Key tampak berlari menghampirinya sehingga Ravano tertinggal di belakang. Tristan sempat menatap Ravano selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia menatap Key seraya tersenyum tipis.
"Gimana? Udah nemu bahan buat besok?" tanya Key. Dia merangkul bahu tinggi Tristan hingga tubuh lelaki itu sedikit condong ke sampingnya.
"Udah kok. Santai aja."
Mereka berdua mulai menaiki satu per satu anak tangga. Ravano sempat menoleh ke arah mereka berdua sebelum akhirnya kembali melangkahkan kakinya menuju kelas.
Senang rasanya bisa melihat Keanna kembali tertawa, meskipun bukan karena dirinya. Ravano tersenyum tipis, dia berpikir mungkin hubungannya dengan Keanna tidak akan pernah baik-baik saja sampai kapan pun. Semakin hari mereka semakin berjarak, dan Key terasa semakin jauh darinya.
Kenapa rasanya masih sulit buat ngelepas lo, Keanna?
Kelas mulai ramai ketika Key dan Tristan masuk. Adel sudah berada di sana. Gadis itu langsung menatap kedatangan Key dan Tristan dengan salah satu alis yang sedikit mengangkat.
"Kalian berangkat bareng?" tanya Adel begitu duduk di sebelahnya.
"Enggak. Kita ketemu di koridor barusan. Gue berangkat sama Ravano kok."
"Oh." Adel menatap Tristan yang kini tengah mengobrol dengan beberapa murid laki-laki. "BTW Ravano gak komentar apa-apa liat lo deket sama Tristan?"
"Kenapa lo nanya gitu?"
"Ya ... Pengen tahu aja gitu. Lo sama Tristan kan belom lama ke kenal, tapi kalian udah deket—"
"Semalem kita bertengkar," potong Key.
"Hah? Maksudnya lo sama Ravano? Kok bisa?"
"Dia pengin gue gak terlalu deket sama Tristan. Dia bilang dia gak mau gue kenapa-kenapa lagi kayak minggu kemaren. Padahal Tristan itu cowok baik-baik, dia gak mungkin ngulangin kesalahan yang sama lagi," jelas Key.
"Tapi, Key. Gue juga sempet berpikiran sama kayak Ravano. Tristan kan belom lama ini terlibat kasus sampe dia di-DO dari Taruna. Gue emang gak tahu dia di-DO atau emang pindah. Tapi kemungkinan besar pasti gitu. Gue gak bilang dia dulunya trouble maker, tapi gue yakin lo ngerti maksud gue. Musuh-musuhnya dia mungkin aja ada yang masih nyariin. Gimana kalo ternyata mereka juga ngincar lo karena lo ada di tempat kejadian?"
Kedua mata Key berkedip dua kali. "Loh, kok gue?"
"Ya makanya. Lo boleh deket sama Tristan, tapi inget. Masalah dia belum sepenuhnya berakhir. Key, Ravano itu bener-bener khawatir sama lo. Dia bener kok. Dia gak bukannya ngelarang lo deket sama Tristan, tapi dia cuma minta lo sedikit jaga jarak sama dia." Adel sesekali membuang napasnya pelan, "Lagian lo gak ngerasa aneh gitu, kenapa Tristan bisa masuk sini? Gak masalah kalo emang dia masuk kelas lain, tapi ini masuk ke kelas kita. Sekelas sama lo."
"Del, itu kebetulan. Lo gak usah berlebihan lah." Key tertawa pelan dan mengeluarkan bukunya.
"Key, di dunia ini gak ada yang namanya kebetulan. Semuanya pasti udah direncanakan dan mempunyai alasan."
"Lo kok jadi kayak yang curiga sama Tristan?"
"Gue gak curiga, Keanna. Gue cuma ngerasa aneh. Hati orang tuh gak ada yang tahu." Adel meluruskan posisi duduknya ke depan begitu seorang guru masuk ke kelas.
***
"BIUS AKU DENGAN TATAPANMUUU~~ TATAPANMUUUU~~ JERAT AKU—"
Buk!
Kinn mengaduh saat Ravano memukul kepalanya dengan buku.
"Gak usah aneh-aneh lo!" ujarnya dan langsung meninggalkan Kinn. Sementara Kinn sibuk mengelusi kepalanya yang berdenyut. Dia menoleh ke koridor lain dan melambai pada Key dan Adel sebelum akhirnya pergi menyusul Ravano.
"Ngambek lo?" Kinn menyikut lengan Ravano.
"Berisik lo."
Kinn tertawa. "Lagian lo sih, masih aja hobi tatap-tatapan sama Key. Gimana mau move on coba? Inget, lo tuh sekarang abangnya. Tugas lo sekarang itu jagain Key. Dan mastiin kalo dia bisa dapetin cowok yang lebih baik dari lo. Ibaratnya, lo itu kayak sosok ayah kedua yang bakalan ngelepas anak ceweknya."
Meskipun sering bertingkah menyebalkan, namun ucapan Kinn memang ada benarnya. Ravano seringkali bungkam telak jika sudah berdebat dengan Kinn.
"Lo juga berhak bahagia, Rav. Belajar buka hati lo buat orang lain. Di luar sana, ada cewek yang udah disiapin Tuhan buat lo. Key bahagia, lo juga bahagia." Kinn menepuk pundak Ravano.
— To be continued