"Gimana? Udah ketemu?"
"Hm. Sesuai sama yang lo bilang." Sepasang mata monolid itu menatap segerombolan murid yang baru saja keluar dari lab biologi.
"Oke deh. Gue serahin sisanya sama lo."
Sambungan telepon dimatikan. Mata itu masih menatap murid-murid yang kini berjalan di koridor dan bergegas kembali ke kelas.
Sementara itu, di antara murid-murid yang baru saja keluar dari lab, Key terlihat sedang mengobrol dengan Adel dan juga Tristan. Mereka membahas kembali materi yang dijelaskan tadi dan sesekali menjadikannya bahan candaan.
Key tertawa lalu ia menoleh ke arah lapangan futsal. Bersamaan dengan itu, ia melihat sebuah bola yang melesat ke arahnya.
"Tris, awas!" Key dengan segera berbalik ke belakang lalu mendorong tubuh Tristan hingga mereka hampir terjatuh. Langkah beberapa orang di saja sempat berhenti begitu mendengar keributan kecil. Bahkan Adel yang sempat berjalan mendahului Key itu sampai berhenti dan berbalik ke belakang.
"Sori, gue gak sengaja!" Seseorang berlari kecil arah mereka. Ia kemudian mengambil bola yang berada tak jauh dari kedua orang itu, lalu kedua matanya menatap tangan Key yang terlihat sudah menahan Tristan agar tak melakukan apa-apa.
"Hm. Lain kali hati-hati, bisa kan? Apalagi kalo situasinya lagi rame," ujar Key.
"Lo gak kenapa-napa, Key?" Adel bertanya lalu gadis itu menatap lelaki yang memegang bola futsal di tangannya.
Lelaki itu hanya mengangguk pelan sebagai respon. Ia belum beranjak dari posisinya dan masih menatap mereka yang kini sudah pergi.
"Key, kayaknya dia masih ngeliatin lo deh." Adel bergerak menyusul Key saat gadis itu berbalik ke belakang.
Mendengar ucapan Adel, Key menolehkan kepalanya ke belakang selama beberapa saat, bahkan saat ia dan juga teman-temannya yang lain menaiki tangga, lelaki itu masih bergeming, dengan salah satu bibir terangkat.
"Kayaknya gue gak asing sama dia," batin Key. Namun tanpa ia sadari di belakangnya, Tristan sempat menghentikan langkahnya dan lelaki itu ikut menolehkan kepalanya ke belakang untuk memeriksanya dan benar saja, murid lelaki itu masih berada di posisinya, sebelum akhirnya ia beranjak dari sana.
"Tris?"
Tristan mengerjap pelan dan menatap Key yang sudah terlebih dahulu menaiki tangga. Lelaki itu kemudian kembali melanjutkan langkahnya dan menaiki satu per satu anak tangga.
"Apa cuma perasaan gue, ya? Kayaknya gue gak begitu asing sama cowok tadi." Tristan membatin.
Key memasuki kelasnya dan gadis itu sempat terkejut saat melihat ada sesuatu yang diletakkan di atas mejanya.
"Apa nih?" Adel berlari kecil dan mengambil sebotol air yang ada di sana.
Tristan dan juga Key menatap sebotol air yang dipegang oleh Adel, sebelum akhirnya mereka melihat selembar sticky note yang di tempel di atas permukaan meja.
Pulang sekolah, temui gue di rooftop.
"Dari siapa, Key?" tanya Adel.
Key menggelengkan kepalanya pelan, "Enggak ada nama pengirimnya. Buat lo kali, Del."
"Kok gue? Orang itu disimpen di meja bagian lo, kok," ujar Adel, "Eh, masih ada tulisan di belakangnya, coba liat!" Ia kembali berujar usai menyadari masih ada pesan di balik sticky note itu.
Key kemudian membalikkan kertas itu dan ia kembali mendapat pesan di sana.
Gue mau minta maaf soal botol air yang sempat kena kepala lo.
"Tunggu, ini dari orang yang—"
Belum sempat Key menyelesaikan kalimatnya, Tristan dengan cepat merebut kertas itu dari tangan Key dan ia kembali membaca pesan yang ditulis di sana. Tak ada nama pengirimnya sama sekali.
"Kenapa dia bisa tahu kalo kelas lo di sini? Dan— dia juga tahu posisi bangku lo," ujar Tristan. Ia kemudian menatap botol air yang masih berada di tangan Adel.
"Bener juga, ya? Dari mana dia tahu?" Adel mengerutkan dahi.
"Ntar biar gue yang ke sana," ujar Tristan.
"Enggak. Ini urusan gue, Tris." Key merebut kembali sticky note itu dari tangan Tristan.
"Urusan lo, urusan gue juga. Lagian kenapa dia harus ngajak ketemu pas pulang sekolah? Kalo dia emang tahu kelas lo, kenapa gak ke sini langsung?"
Key sempat kehabisan kata-kata untuk membalas kalimat Tristan. "Ya mungkin dia ngerada gak enak kalo langsung ke sini. Bisa aja, kan?"
"Tapi gue rasa harusnya enggak di rooftop juga, Key. Kayaknya itu terlalu sepi. Gimana kalo ternyata orang itu cowok? Gue takut dia cuma berniat jebak lo." Adel kemudian menyahut.
"Iya sih. Mungkin biar dia leluasa ngomong ke gue. Pokoknya, ntar gue ke sana. Dan buat lo, Tristan. Lo jangan macam-macam."
"Justru gue khawatir dia yang macam-macam sama lo, Keanna!" Tristan menyentil dahi gadis di sebelahnya hingga mengaduh pelan.
"Saran gue sih, sebaiknya lo ajak juga Tristan. Lo bahkan gak tahu orang itu sama sekali kan? Bisa aja dia kelas dua belas atau anggota OSIS yang super galak," ujar Adel.
Kedua mata Key sempat melirik Tristan yang berdiri di sebelahnya, "Gue khawatir kalo orang ini ujung-ujungnya bikin ribut di sana," jawabnya.
"Gue gak bakalan nyari ribut kalo bukan dia yang duluan, ngerti?" Tristan membalasnya.
"Tapi kenapa dulu lo sempet gak ngelawan Ravano pas dia mukul lo duluan?" tanya Key dengan kedua tangan yang sudah dilipat di depan d**a.
"Key, itu beda lagi."
"Intinya—"
"Intinya ntar pulang sekolah gue ikut sama lo." Tristan menginterupsi.
"Gimana kalo lo bilang aja ke Ravano?" ujar Adel.
"No! Itu sama sekali bukan jalan keluar yang bagus. Lo sendiri tahu kan, Del, Ravano itu orangnya kayak gimana. Seperti yang gue bilang, dulu aja Ravano duluan yang bikin Tristan babak belur." Key kembali melirik lelaki di sebelahnya. Ia kemudian membuang napas pelan.
"Kalo gitu biar gue aja yang ikut!" ujar Tristan.
"Oke, tapi inget, harus jadi anak yang baik. Paham?" Key sengaja menekankan bagian akhir kalimatnya, lalu menepuk pelan bahu tinggi Tristan selama beberapa kali.
Bersamaan dengan itu, seorang guru masuk ke dalam kelas. Semua murid duduk di tempatnya masing-masing.
Key menatap sticky note dan juga botol air yang berada di mejanya. Ia sama sekali tak ada gambaran tentang siapa yang melakukan hal ini. Apakah orang itu memang memiliki masalah dengannya ataukah benar-benar tak sengaja?
*
Usai jam terakhir, satu per satu siswa meninggalkan kelas. Adel beberapa saat yang lalu berpamitan pulang terlebih dulu karena mamanya sudah menelepon. Sementara Key sendiri masih berada di dalam kelas usai mengirim pesan pada Ravano agar lelaki itu pulang terlebih dulu dan Key beralasan kalau dirinya akan pergi sebentar bersama Tristan.
Namun bukan Ravano namanya kalau menurut begitu saja. Tanpa Key duga, Ravano justru datang ke kelasnya bersama dengan Kinn dan membuat Key yang baru saja berniat meninggalkan kelas itu terkejut.
"Lo mau ke mana?" tanya Ravano.
"A-ah, gue— mau beli buku. Stok buku gue udah abis di rumah," ujar Key.
"Udahlah, Rav. Key kan bareng sama Tristan. Dia gak bakalan aman kok. Lo kayak bokapnya Key, tahu gak? Lagian mereka juga udah beberapa kali jalan berdua dan gak ada yang aneh, kan? Lo masih gak percaya sama Tristan, ya?" Kinn yang berdiri di ambang pintu itu berujar.
"Bukan gitu maksud gue." Ravano membuang napas kasar. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas, "Terus? Tristan mana?"
"Dia lagi ke perpustakaan buat nyimpen buku paket. Gue gak bakalan pulang malem kok, lo tenang aja. Lo bisa pulang duluan." Key memutar tubuh Ravano dan ia mendorong bahu Ravano, membawa lelaki itu keluar dari kelasnya.
"Ya udah, kalo gitu gue pulang duluan. Kalo ada apa-apa telepon gue," ujar Ravano begitu mereka sampai di koridor bawah.
"Astaga, Rav. Lo protektif banget ya, kayaknya." Kinn segera menarik Ravano pergi dari sana. "Gue sama Ravano pulang duluan ya, Key. Bye!"
Sepeninggal Ravano, Tristan belum juga kembali dari perpustakaan. Gadis itu kemudian mengeluarkan botol air dan juga sticky note yang ia simpan di dalam tasnya.
Karena tak ada tanda-tanda Tristan kembali, akhirnya Key memutuskan untuk pergi ke atap sendiri. Gadis itu sedikit mempercepat langkahnya melewati orang-orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Ia berbelok menuju sebuah tangga yang mengarah ke rooftop sekolah.
—tbc