Tristan menatap es krim yang disodorkan Key padanya. Lelaki itu kemudian menatap Key.
"Gue gak tahu ini bisa bantu atau enggak, tapi es krim bisa bikin sedikit naikin mood lo." Key berujar kemudian mendudukkan tubuhnya di sebelah Tristan.
"Thanks."
"Orang yang bernama Axcel itu, beneran masih ada hubungannya sama murid-murid SMA Panca yang waktu itu?" tanya Key.
"Gue belom pernah ketemu sama dia sebelumnya, tapi setelah apa yang dia lakuin tadi, gue rasa iya. Terlebih sewaktu—" Tristan menjeda kalimatnya lalu menatap kepala Key, membuat gadis itu ikut menoleh padanya.
Tangan Tristan kemudian bergerak mengusap puncak kepala gadis itu, "Sewaktu dia mukul kepala lo—dua kali," lanjutnya. "Sori, ya, Key. Gak seharusnya lo terlibat lagi."
"Kenapa lo yang minta maaf? Ini bukan kesalahan lo kok. Kalo emang cowok yang dulu gue pukul itu sepupunya, gue rasa wajar dia marah banget ke gue."
"Tapi lo cewek dan Axcel gak harus pake cara sekasar itu—"
"Dia ngebela sepupunya, Tris. Dan apa yang dia lakukan itu, sama seperti lo yang selalu belain teman-teman lo," sela Key. Gadis itu tersenyum tipis lalu mengusap rambut Tristan yang basah. "Tapi— gue keren, kan, waktu itu? Kapan lagi coba gue bisa masuk ke arena tawuran!" Gadis itu tertawa, lalu menggigit es krimnya.
"Lo bikin hampir bikin gue jantungan, Keanna! Dasar keras kepala!"
"Tapi kalo gak ada gue, lo pasti udah kena pukul!" Key membela diri.
Tristan terdiam sejenak lalu lelaki itu membuang napas pelan, "Oke, oke. Gue akui lo agak keren waktu itu. Tapi jangan diulangi lagi, hm? Itu bahaya, Key, Apalagi lo cewek."
"Kalo gitu berarti lo jangan terlibat tawuran lagi." Key menatap es krimnya yang mulai meleleh.
Tristan yang masih menatap gadis di sebelahnya pun menyadari perubahan ekspresi Key.
"Gue gak akan terlibat kalo gak ada yang mulai. Selama temen-temen gue aman, gue juga gak akan bikin keributan—"
"Tapi cowok yang bernama Axcel itu sekarang ganggu pikiran gue, Tris. Dia pasti gak akan berhenti gitu aja. Kejadian pas gue dilempar botol sama bola yang dia lempar tadi pagi itu udah bikin semuanya cukup jelas. Target utamanya itu bukan gue, tapi justru lo." Key menginterupsi, "Apalagi lo belom lama di Pelita dan yang bikin gue khawatir, gimana kalo dia berusaha bikin lo jadi murid bermasalah lagi."
"Si Axcel itu cuma bermulut besar, Keanna. Lo gak perlu sekhawatir itu. Gue justru sekarang lebih khawatir sama lo. Gue khawatir dia bakalan ngelakuin sesuatu lagi sama lo yang mungkin lebih parah dari sebelumnya."
Kedua mata Key menatap Tristan selama beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali menggigit es krimnya hingga habis. "Padahal hidup gue baru aja tenang, tapi kenapa harus muncul masalah lagi sih?" Ia melemparkan stik es krim di tangannya ke dalam sebuah tempat sampah.
Salah satu sudut bibir Tristan kemudian naik. Lelaki itu memberikan es krim di tangannya pada Key, "Gue rasa sekarang lo yang paling butuh ini," ujarnya.
Key menatap es krim itu, "Tapi itu buat lo—"
"Dengan lo ada di sini, itu udah cukup naikin mood gue kok. Sebaiknya lo yang makan ini." Tristan membuka bungkus es krim itu kemudian memberikan isinya pada Key.
"Oke, dengan senang hati." Key tertawa pelan. Ia mulai memakan es krim itu seraya menatap kegiatan orang-orang di sekitarnya.
"Oh, iya, Tris. Ntar bisa anter gue beli buku gak?" Key kembali menolehkan kepalanya.
"Buku?"
"Hm. Tadi gue bilang sama Ravano kali gue mau beli buku sebelum pulang."
Mendengar itu, Tristan lantas tertawa pelan, "Kenapa bikin alesan kayak gitu sih? Lain kali gak usah bohong begitu. Bilang aja lo mau jalan sama gue."
"Apa bedanya?"
"Beda dong. Nah, sekarang lo kan lagi sama gue di sini."
"Tetep gak ada bedanya, sama aja bohong. Tapi kayaknya masalah Axcel itu, gue belom bisa ngomong ke Ravano. Lo tahu, kan, Ravano orangnya kayak gimana. Dia agak sebelas dua belas sama lo yang kalo emosinya udah meledak, langsung lupa dunia," ujar Key.
"Lo juga sama, Keanna." Tristan menyentil dahi Key hingga gadis itu mengaduh.
"Oke, oke, berarti kita itu trio emosian. Puas? Gue, lo, sama Ravano, gak ada bedanya." Key melempar stik es krim itu. "Hm ... Tris?"
"Ya?"
"Bisa beliin gue es krim lagi gak?" Key menunjukkan cengiran khasnya.
Kedua mata Tristan berkedip dua kali, lalu lelaki itu kembali menyentil dahi Key, namun kali ini sedikit lebih keras, "Lo mau sakit perut?!" ujarnya, membuat bibir Key seketika mencebik.
"Sebaiknya sekarang lo pulang sebelum Ravano mulai suudzon lagi sama gue. Beli buku dulu, kan?" Tristan beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju motornya yang terparkir tak jauh dari sana.
Key memegangi dahinya yang masih berdenyut lalu membuang napas pelan, sebelum akhirnya beranjak dari sana.
*
"Kok sepi? Pada ke mana?" Key menatap ke setiap sudut rumah begitu sampai. Ia menatap Ravano yang tengah menonton di sofa.
"Mama lagi pengen makan seafood katanya, jadi pergi sama Papa," jawab Ravano tanpa mengalihkan pandangannya dari TV.
"Lho, Papa udah pulang?" Key sempat menghentikan langkahnya dan menatap Ravano yang berada di sofa.
"Udah, tadi."
"Sama Irina juga?"
"Hm."
"Terus kenapa lo gak ikut?"
"Males."
Key berdecak pelan kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Ia baru saja menginjak anak tangga kedua namun suara Ravano kembali terdengar.
"Heh, lo sama Tristan—"
Key mengangkat kantung kresek berisi buku di tangannya tanpa menghentikan langkahnya. Bahkan ia sudah bisa membaca isi kepala Ravano tanpa harus repot-repot mendengarkan kelanjutan kalimat lelaki itu.
Ravano menatapnya selama beberapa saat, "Oke." Ia kembali memfokuskan pandangannya ke layar TV.
Sementara itu Key memasuki kamarnya dan meletakkan tas juga kantung kresek yang dibawanya itu ke atas meja belajar.
"Kayaknya gue mesti lebih hati-hati lagi sama cowok yang bernama Axcel itu. Gue rasa, dia bener-bener serius sama omongannya," gumam Key. Gadis itu menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya di sana. Ia kemudian mengingat kejadian ketika ia memukul salah satu siswa Panca dengan kayu.
"Gue sama sekali gak terpikir kalo orang yang gue pukul itu, ternyata punya saudara di sekolah gue sendiri. Berarti selama ini secara gak sadar, gue udah ngundang Tristan ke dalam kandang singa dan parahnya, targetnya bukan cuma Tristan, tapi gue juga." Key membuang napasnya kasar. Jika sampai Ravano tahu soal ini, maka semuanya akan semakin kacau. Akan sulit baginya untuk menyelesaikan masalah secara diam-diam tanpa sepengetahuan Ravano.
—Tbc