Di ruangannya, Kenzio tampak tercenung sambil mengetuk-ngetukkan bolpoin ke meja. Bahkan karena terlalu asik tercenung, ia sampai tidak menyadari kalau Devon sudah sejak beberapa menit yang lalu berdiri di seberang mejanya.
"Kenzio!" seru Devon dengan suara sedikit keras membuat Kenzio tersentak.
"Kau ... Apa-apaan kau, hah? Kau sudah bosan bekerja denganku?" sentak Kenzio sambil menatap tajam Devon.
Devon tersenyum lebar. "Salahmu sendiri terlalu asik melamun sampai tidak menyadari kedatanganku. Bahkan aku sudah memanggilmu berkali-kali, tapi kau tidak mendengar."
Kenzio mendengus. Ia menghempaskan bolpoinnya ke atas meja kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kebesarannya.
"Tadi ... saat keributan di lobby tadi, apa kau mencium aroma sesuatu?" tanya Kenzio membuat dahi Devon berkerut.
"Aroma? Aroma apa? Kentut?"
"Sh!t! Bisa tidak kau bicara dengan serius?" umpat Kenzio kesal.
"Aku hanya bertanya."
"Aku bertanya lebih dulu padamu, kenapa kau malah bertanya balik?"
"Sorry, sorry. Oke, oke, jelaskan, aroma apa maksudmu?"
"Sudahlah. Kau memang tidak berguna."
"Ayolah, Kenz, berhenti marah! Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini. Hidup ini indah, Man. Jangan terlalu terpaku dengan masa lalu yang pada akhirnya membuatmu ...."
"Aku tidak membicarakan tentang masa lalu, Sialan! Aku bertanya apa kau mencium aroma sesuatu. Sesuatu yang harum dan menenangkan?"
"Aroma? Aroma parfum?"
"Entahlah. Aromanya begitu lembut dan menenangkan."
"Mungkin itu aroma parfum perempuan yang kita usir tadi."
Kenzio menggeleng. "Bukan. Bukan dia. Aroma parfumnya sudah biasa tercium di indra penciumanku. Yang ini beda. Aromanya entah mengapa bisa membuatku seketika rileks."
"Tapi aku tidak mencium aroma yang berbeda. Seperti yang kau katakan, aroma parfum perempuan itu sudah pasaran. Biasa saja. Untuk aroma lain?" Devon tampak berpikir. "Aroma parfum manajer kita juga sudah biasa tercium juga. Tidak ada yang istimewa. Aroma lain? Apa? Aku tidak mencium aroma yang lain." Devon mengatakan yang sebenarnya sebab ia sudah familiar dengan berbagai aroma parfum karena memang pekerjaannya yang melibatkan banyak orang. Ia sering bertemu rekan bisnis, klien, maupun investor pun tamu-tamu penting. Ia sudah tidak asing lagi dengan aroma parfum para orang kaya.
Kenzio menghembuskan nafas kasar. Kenzio jelas-jelas membaui aroma yang tak biasa. Tapi anehnya Devon tidak membauinya. Lantas, aroma apakah itu? Rasanya menenangkan sekali.
Sementara itu, di sebuah cafe, perempuan yang tadi diusir dari Kenz Hotel tampak sedang menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik dengan berpakaian seksi masuk ke dalam cafe. Ia duduk berseberangan dengan perempuan tadi.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" Tanya perempuan yang tak lain adalah Sylvia.
"Kau tahu, aku sangat kesal sekali. Semua gara-gara perempuan sialan itu."
"Perempuan sialan siapa maksudmu?"
"Saudarimu itu. Sheina."
"Sheina? Memangnya apa yang sudah dia lakukan?"
"Seperti yang kau instruksikan tempo hari, aku sengaja membuat keributan agar ia dipecat. Tapi apa kau tahu apa yang selanjutnya terjadi? Justru aku yang diusir dari Kenz Hotel. Bukan hanya itu, namaku juga diblacklist dari semua cabang Kenz Hotel. b******k! Semua karena perempuan sialan itu," geram perempuan bernama Sheryl itu.
"Apa? Bagaimana bisa?" Sylvia benar-benar terkejut. Padahal Sheryl adalah selebgram ternama. Keluarganya pun termasuk pejabat pemerintah, tapi bagaimana pihak Kenz Hotel justru lebih memilih mengusir dan mem-blacklist Sheryl dibandingkan memecat Sheina yang hanya bekerja sebagai cleaning service.
"Aku juga tidak mengerti. Benar-benar menyebalkan," kesal Sheryl sambil menenggak minumannya.
Sylvia tampak berpikir. Usahanya dan ibunya sebenarnya sudah sangat berhasil, menguasai sang ayah, menguasai Sanz Group, mengusir Sheina dari rumah, membuat ibu Sheina terdampar di rumah sakit jiwa, bahkan mereka juga membuat nama Sheina tidak diterima di universitas manapun. Hal itu memang sengaja mereka lakukan agar Sheina tidak memiliki kemampuan untuk mengambil alih Sanz Group. Apalagi Sheina merupakan anak yang cerdas. Bila mereka membiarkan Sheina mengenyam pendidikan di universitas, bukan tidak mungkin ia akan memiliki kemampuan untuk mengambil alih Sanz Group dengan kemampuannya tersebut.
***
Pulang bekerja, Sheina dan Chessa mampir ke sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari Kenz Hotel. Itu karena Chessa menuntut Sheina untuk menceritakan apa yang sudah terjadi kemarin.
"Jadi, apa kau sudah bisa bercerita?" tanya Chessa. Sheina dan Chessa sudah saling mengenal sejak SMA. Bila Sylvia bersekolah di sekolah internasional, maka Sheina hanya di sekolah biasa. Oleh sebab itu, ia bisa mengenal Chessa.
Sheina tampak menimbang. "Tapi ...."
"Kenapa?"
"Mungkin kau takkan bisa mempercayai ini."
"Kenapa kau berpikir seperti itu? Apa kau tidak memercayaiku?"
"Bukan tidak percaya, tapi belum sanggup."
Chessa mengerti perasaan Sheina. Ia pun menggenggam tangan Sheina untuk menenangkannya.
"Tak apa kalau kau belum bisa cerita. Tapi ingat, kau tidak sendiri. Ada aku. Meskipun aku tidak bisa membantu banyak, tapi aku akan mengusahakan yang terbaik." Chessa berujar seraya tersenyum manis.
Sheina pun ikut tersenyum. "Terima kasih sudah mengerti aku."
***
Hari-hari Sheina coba lalui dengan ceria. Meskipun perasaannya selalu gusar karena memikirkan keadaan sang ibu, tapi Sheina mencoba untuk tetap tenang.
Siang ini Sheina mendapatkan giliran untuk membersihkan salah satu kamar yang ada di lantai 25. Dengan perlengkapan bersih-bersih di tangan, Sheina pun berjalan menuju lift khusus pekerja seperti mereka. Saat sedang berjalan, tiba-tiba Sheina berpapasan dengan Kenzio yang entah mau ke mana. Sheina sontak menghentikan langkahnya, kepalanya menunduk, tubuhnya seketika menegang kaku.
Kenzio yang berjalan melewati Sheina sontak menghentikan langkahnya. Lagi-lagi ia mencium aroma menenangkan itu. Ia memperhatikan ke sekeliling, tapi tak ada orang lain selain dirinya, Devon, dan beberapa staf yang sejak tadi mengekori, lalu ... Sheina.
'Aroma ini ... apa mungkin berasal dari dia?' Kenzio tidak yakin, tapi ia menyadari hanya mencium aroma itu saat Sheina berada tak jauh darinya. Sama seperti kemarin saat terjadi keributan di lobby hotelnya.
"Kau ... " Tunjuk Kenzio. Karena Sheina menundukkan kepalanya, ia tidak tahu kalau Kenzio sedang berbicara padanya. "Apa kau mendengarku?" tukas Kenzio saat Sheina tidak menyahut.
Devon pun lantas ikut bersuara. "Nona, tuan Kenzio berbicara padamu?"
"A-apa?" Sheina tampak gelagapan. Peluh sebesar biji jagung bercucuran. Padahal pendingin udara berfungsi dengan baik di hotel itu, tapi Sheina justru tampak kepanasan. Kenzio dan Devon sampai terkejut melihatnya.
"Kau kepanasan?" beo Kenzio terperangah. "Devon, apa AC di sini tidak berfungsi dengan baik?" Kenzio pikir AC di hotel itu ada yang bermasalah.
"Sepertinya tidak. Bahkan aku bisa merasakan dinginnya," jawab Devon. "Apa kau sedang sakit?" tanya Devon pada Sheina.
"Sa-saya tidak apa-apa, Tuan." Sheina menjawab dengan gugup. Ia masih tak berani mengangkat wajahnya. Ia khawatir Kenzio mengenali dirinya yang sudah menghabiskan malam panas dengan laki-laki beberapa malam yang lalu.
"Ya sudah, kalau kau tidak apa-apa. Sekarang pergi ke ruanganku. Bersihkan sekarang juga."
"Apa?" Seru Sheina terkejut. Namun cepat-cepat ia kembali menundukkan kepalanya saat matanya tanpa sengaja bersirobok dengan mata Kenzio. "Maaf. Tapi tuan, saya sudah mendapatkan tugas untuk membersihkan ...."
"Yang atasanmu sebenarnya di sini itu siapa?" tegas Kenzio.
"A-anda. Tuan Kenzio Hastama Holcher."
"Bagus. Kalau begitu, kau pasti tahu 'kan kalau aku yang memiliki kekuasaan tertinggi di sini?"
"I-iya, Tuan."
"Baguslah. Aku harap, ruanganku sudah bersih saat aku kembali."
Usai mengatakan itu, Kenzio pun segera berlalu meninggalkan Sheina yang mematung.
Saat berjalan mengekori Kenzio, Devon lebih dulu menghampiri Sheina.
"Kerjakan saja. Aku yang akan mengatakan pada Olive kalau kau mendapatkan tugas dari Tuan Kenzio." Devon berucap seraya tersenyum. Sheina pun balas tersenyum membuat Kenzio yang sempat menoleh ke belakang mendelik tajam.
'Apa-apaan dia? Tadi saat aku bicara, dia ketakutan setengah mati. Sudah seperti melihat hantu. Tapi dengan Devon, ia justru tersenyum.'