Masuk ke ruangan Kenzio, Sheina tak henti-hentinya berdetak kencang. Keringat dingin bercucuran. Bahkan tubuhnya menegang sendiri kala aroma parfum Kenzio menyeruak memenuhi rongga hidungnya.
"Astaga, bagaimana ini?" Sheina memejamkan matanya. Kakinya mendadak terasa berat. Sukar digerakkan bagai terpaku di lantai.
Ketakutan itu nyata. Bagaimanapun ia takut kalau Kenzio menyadari kalau ia perempuan yang pernah menghabiskan malam panas dengannya.
"Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku sebelum Tuan Kenzio kembali," gumam Sheina. Ia pun berusaha sekuat tenaga meyakinkan dirinya kalau semua akan baik-baik saja. Ia pun memaksakan tubuhnya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Menyapu, mengepel, membereskan meja, lalu mengelap setiap sisi dan sudut dari meja, lemari, hingga kaca jendela. Setelah semuanya beres, Sheina pun bergegas untuk keluar. Karena berjalan terlalu tergesa, ia tidak sadar kalau Kenzio sudah kembali dan hendak masuk. Sheina yang membuka pintu berjalan begitu saja hingga akhirnya tubuhnya menabrak tubuh Kenzio.
"Aaakh ...." pekik Sheina saat tubuhnya menabrak tubuh besar dan keras Kenzio. Ia hampir saja jatuh kalau saja tidak segera ditangkap Kenzio.
"Kau bisa berjalan, tidak?" sentak Kenzio yang segera melepaskan tubuh Sheina. Sheina menegang kaku. Rasa takut itu kembali. Ia pun segera menundukkan kepalanya agar mata mereka tidak bersirobok.
"Ken, jangan memarahinya. Sepertinya dia tidak sengaja," bela Devon.
"Kau membelanya?" Kenzio memicingkan mata. Devon menghela nafas panjang. Suasana hati Kenzio mendadak berubah karena barusan berpapasan dengan Alfons dan Lucy. Apalagi mereka memamerkan kemesraan tepat di depan matanya membuat gemuruh di hatinya seketika berkobar.
"Kau ... Keluarlah. Angkat kepalamu. Nanti kau malah menabrak lagi," ujar Devon yang langsung diangguki Sheina tanpa mengangkat kepalanya.
"Baik, Tuan. Kalau begitu, saya per-"
"Berhenti!" seru Kenzio tiba-tiba membuat jantung Sheina berdebar kencang.
"A-ada apa, Tuan?"
"Kau yang membereskan mejaku?" tanyanya membuat Sheina semakin gugup.
"I-iya, Tuan."
"Kembalikan ke susunan semula. Kau tahu, kau sudah mengubah susunan berkas-berkas di sini. Kau tahu, berkas-berkas di sini sudah tersusun sesuai dengan mana yang harus aku dahulukan selesaikan. Dan kau mengubahnya semau mu. Kau sama saja menambah pekerjaanku kalau begitu."
Mata Devon membulat. Kenapa Kenzio mendadak bertingkah aneh?
"Ba-baik, Tuan." Sheina menjawab gugup.
Ia pun segera kembali ke meja Kenzio dan mulai meletakkan berkas-berkas itu sesuai susunannya semula. Namun, karena sedikit tremor, Sheina justru menjatuhkan berkas-berkas itu hingga berjatuhan ke lantai.
"Apa-apaan kau? Apa kau tidak bisa bekerja? Kau tahu, setiap berkas itu memiliki nilai nominal yang sangat fantastis. Kau mau membuat aku merugi?" sentak Kenzio membuat jantung Sheina nyaris lompat dari tempatnya.
"Ma-maaf."
Devon berdecak kesal. Padahal ia sudah tahu bagaimana karakter Kenzio, tapi entah mengapa di matanya kali ini Kenzio terlihat begitu menyebalkan.
"Sini, aku bantu!" Devon ikut berjongkok membuat Kenzio mendadak kesal.
"Biar dia kerjakan itu sendiri. Kau, urus saja yang tadi aku perintahkan!" titahnya pada Devon.
"Sebentar. Biar aku membantu dia terlebih dahulu."
"Kau membantah perintahku?" raung Kenzio membuat Devon tersentak. Devon menghela nafas panjang. Kemudian segera berdiri.
"Oke, oke, aku kerjakan sekarang! Dasar menyebalkan!" kesal Devon yang segera keluar dari ruangan itu meninggalkan Sheina dan Kenzio berdua saja.
Mendadak tubuh Sheina bergetar. Sebisa mungkin ia menutupi ketidaknyamanan itu agar tidak terbaca oleh Kenzio.
Sementara itu, Kenzio tampak menarik nafas dalam-dalam. Lagi, ia bisa mencium aroma menenangkan itu. Padahal tadi ia sedang kesal bukan main. Apalagi ia baru saja bertemu dengan Alfons dan Lucy. Namun, saat masuk ke ruangannya dan mencium aroma itu, perasaannya mendadak membaik. Bahkan ia rasa kesalnya tadi menguap entah ke mana.
Setelah berhasil menyusun setiap lembaran berkas itu seperti semula, Sheina pun segera berpamitan untuk keluar. Sepanjang berada di ruangan itu, Sheina tidak mengangkat wajahnya sama sekali. Ia benar-benar takut Kenzio mengenali wajahnya lalu memecatnya. Sementara ia membutuhkan uang untuk biaya perawatan ibunya. Meskipun ayahnya yang menjadi wali sekaligus penanggung jawab bagi ibunya di rumah sakit itu, tapi ia sudah lama tidak membiayai perawatannya. Sheina benar-benar bingung dengan sikap ayahnya itu.
"Tunggu," sergah Kenzio saat Sheina hendak keluar.
"I-iya, Tuan." Sheina membalikkan badannya kembali.
"Mulai sekarang, tugasmu membersihkan ruangan ini setiap pagi dan sore. Sedangkan setiap siang, tugasmu membersihkan kamarku. Kau mengerti?"
Mata Sheina membulat. Ingin menolak, namun ia tak kuasa. Sheina hanya bisa pasrah meskipun rasanya begitu berat. Terlebih saat Kenzio memintanya membersihkan kamarnya. Kamar yang menjadi saksi bagaimana keperawanannya diambil tanpa sadar oleh atasannya itu.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sheina sudah datang ke ruang kerja Kenzio. Madam Olive sudah memberinya kunci khusus ruang kerja Kenzio. Bagaimanapun itu adalah ruangan pribadi Kenzio. Tidak boleh sembarang orang masuk ke dalamnya. Apalagi di sana pasti menyimpan banyak berkas penting.
Sheina sengaja datang pagi-pagi sekali agar ia tidak bertemu dengan Kenzio. Begitu pula hari-hari berikutnya. Kenzio sampai kesal sendiri karena tidak pernah melihat Sheina secara langsung.
"Devon, minta perempuan itu agar tidak datang terlalu pagi. Katakan padanya kalau dia boleh pergi setelah aku tiba di sini," ucap Kenzio pada Devon.
"Kenzio, kau kenapa mendadak aneh seperti ini? Kau bukannya tertarik dengan Sheina 'kan?"
"Sheina?" beo Kenzio.
"Ya, Sheina. Namanya Sheina."
Kenzio berdecak. "Apa kau gila? Tidak mungkin aku tertarik dengan seorang cleaning service seperti dia. Kau jangan bicara sembarangan. Bila ada yang mendengar, mereka pasti bisa salah paham," tegas Kenzio.
"Kau berkilah, tapi sikapmu justru mengatakan sebaliknya."
"Tak perlu banyak berkomentar. Lakukan saja apa yang aku perintahkan," titah Kenzio karena Devon selalu saja membuatnya kesal.
"Kalau tertarik, bilang saja. Toh yang penting dia wanita. Siapa tau dia bisa menjadi obatmu."
"Berhenti banyak bicara. Cepat lakukan saja apa yang aku perintahkan!" sentak Kenzio. Devon menghembuskan nafas panjang. Ia pun segera berlalu dengan mulut sambil mengoceh.
***
Sesuai perintah Kenzio, Devon pun segera menyampaikan apa yang atasannya itu diperintahkan pada Madam Olive. Madam Olive jelas saja heran dengan sikap bos besar mereka itu.
"Apa kau mencoba menggoda Tuan Kenzio dengan tubuhmu? Aku yakin kau sudah mencoba menggodanya, bukan? Karena itu, ia memilihmu untuk membersihkan ruangannya dan kamarnya?" sinis Madam Olive.
"Aku tidak pernah melakukannya," bantah Sheina.
"Dia pasti berbohong, Madam. Aku yakin, dia berusaha naik ke atas ranjang Tuan Kenzio. Itu sebabnya dia yang dipilih. Apa kau pikir, dengan begitu kau akan dipilih Tuan Kenzio? Ya, kau memang bisa naik ke atas ranjangnya, tapi itu hanya sementara. Setelah itu, kau akan segera dibuang seperti wanita lainnya yang sudah mencoba naik ke atas ranjang tuan Kenzio," tuduh Lyora yang juga sesama rekan cleaning service di Kenz Hotel.
"Aku tidak seperti itu. Madam, sungguh, aku tidak seperti itu. Aku sendiri tidak mengerti mengapa Tuan Kenzio memilihku. Sungguh," ucap Sheina sungguh-sungguh, tapi madam Olive dan Lyora tidak percaya. "Begini saja, bagaimana kalau kita tukaran tugas? Ambil alih pekerjaanku dan aku yang akan mengerjakan pekerjaan mu!" tawar Sheina.
Kalau bisa, ia tidak ingin berurusan dengan Kenzio sama sekali. Sheina pun terkejut bukan main saat mengetahui Kenzio memintanya pergi setelah ia datang. Itu artinya mereka akan semakin sering bertemu.
Lyora tersenyum lebar. Mendapatkan tawaran menggiurkan seperti itu, jelas membuat Lyora tergoda. Madam Olive yang mendengar itu pun setuju sebab sebenarnya Lyora adalah putrinya. Ia pun berharap Lyora bisa menjadi istri Kenzio atau paling tidak dengan Devon sebab kedua orang itu merupakan merupakan orang-orang yang paling berpengaruh di Kenz Hotel dan hanya kedua orang itu yang paling potensial untuk menjadi pasangan putrinya.
"Baiklah. Aku setuju."