BSC 7

1055 Words
Setelah malam panas yang dilewati Kenzio yang entah dengan siapa itu, ia memang sempat penasaran. Bisa saja ia melihat langsung melalui cctv siapa perempuan yang masuk ke dalam kamarnya saat itu, tapi ia tidak melakukannya. Ia justru lebih memilih menunggu. Ia pikir perempuan yang tidur dengannya malam itu pasti akan menghubunginya lagi. "Jadi kau benar tidak mengirimkan perempuan malam itu padaku?" tanya Kenzio memastikan. "Benar. Apa perlu aku mencari tahu siapa perempuan itu?" Kenzio menggeleng. Mereka kini sedang berjalan menuju lift. Saat sedang berjalan, tiba-tiba Kenzio dan Devon mendengar keributan. Keduanya pun menoleh ke sumber keributan. Ternyata di sana ada seorang cleaning service yang tidak sengaja menabrak salah satu tamu hotel dan menumpahkan air bekas pel hingga mengenai kakinya. Tamu hotel itu tampak marah dan memaki petugas cleaning service tersebut. Padahal petugas cleaning service itu sudah memohon maaf, tapi tamu hotel itu tampaknya belum puas hingga meminta manajer hotel memecat petugas tersebut. "Nona tenang saja, kami akan segera memecatnya," ucap manajer itu. Tamu hotel tampak tersenyum puas, sementara petugas cleaning service itu menggeleng dan terus memohon agar ia tidak dipecat. Mata yang sudah bengkak karena menangis semalaman, kini semakin membengkak saja. "Makanya kalau bekerja itu yang benar. Cepat bereskan barang-barang mu lalu pergi dari sini!" titah manajer hotel itu. "Apa yang terjadi di sini?" seru seseorang membuat semua orang terkejut, tak terkecuali sang manajer hotel. Sementara tamu hotel tampak tersenyum sumringah saat melihat wajah tampan Kenzio. Manajer hotel itupun menceritakan apa yang sudah terjadi. "Apa kau sudah melihat rekaman cctv mengenai apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Kenzio datar. Kenzio melirik petugas cleaning service yang tak lain adalah Sheina itu. Hidungnya mendadak berkerut samar. Ia seakan mencium aroma yang familiar, tapi menenangkan. Entah aroma apa itu dan dari mana sumbernya, tapi nyatanya ia merasa nyaman menciumnya. "Be-belum, Tuan," jawab manajer hotel. "Apa tuan tidak mempercayai kata-kataku?" Tamu hotel itu tampak kesal. Kenzio diam. Devon yang tahu Kenzio enggan berbicara dengan sembarang orang pun menyela. "Bukan begitu, Nona. Bisa saja pegawai kami tidak sengaja melakukannya." Perempuan itu berdecak kesal. Namun, ia terpaksa ikut saat manajer hotel memintanya ikut serta ke ruangan kontrol dimana layar segiempat berjajar menunjukkan rekaman cctv di setiap penjuru yang ada di hotel tersebut. Devon pun menginstruksikan petugas untuk mengecek rekaman cctv di waktu dan tempat kejadian barusan. Devon tersenyum saat melihat rekaman tersebut. Ternyata tamu hotel itulah yang sengaja menabrakkan diri pada Sheina. Wajahnya sontak memucat. Begitu pula dengan manajer hotel itu. Devon memuji intuisi Kenzio dalam hati. Pantas saja ia bisa menjadi pimpinan puluhan hotel kelas atas di usia muda sebab memang intuisinya memang sebagus itu. Ia juga tidak sembarangan memberikan keputusan dalam setiap tindakannya. Hanya satu kelemahan Kenzio, yaitu bila sudah terlanjur mencintai seorang perempuan, maka ia akan mencintainya seperti orang gila. Mencintai secara ugal-ugalan sehingga saat ia patah hati, maka ia pun akan ikut hancur seperti yang terjadi beberapa tahun ini. Bahkan hingga saat ini, Kenzio masih belum bisa menyembuhkan luka hatinya itu. "Bagaimana? Anda sudah tidak bisa mengelak lagi. Bukti sudah di depan mata kalau apa yang terjadi merupakan sebuah kesengajaan yang kau lakukan pada karyawan kami," ucap Devon tegas. "Saya, saya ... tapi saya tamu hotel ini. Tamu adalah raja. Seharusnya kalian lebih memihakku. Bagaimana pun tanpa orang-orang sepertiku, hotel ini takkan pernah bisa maju," ucap perempuan itu pongah. Mendengar kata-kata perempuan itu, sontak memancing emosi Kenzio. "Devon," panggil Kenzio tegas. Perempuan itu tersenyum manis. Ia pikir Kenzio akan mempertimbangkan kata-katanya tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Perempuan itu terperangah. Bahkan mulutnya sampai menganga karena tidak percaya atas kata-kata tersebut. "Iya, Tuan." Meskipun mereka bersahabat, tapi bila di hadapan orang lain, Devon akan memposisikan dirinya sebagai bawahan. Hal ini demi menjaga wibawa Kenzio dan Devon sendiri. "Usir perempuan ini dan blacklist namanya dari seluruh cabang Kenz Hotel!" tegas Kenzio. "Baik, Tuan," sahut Devon patuh seraya menganggukkan sedikit kepalanya. "Apa? Kalian tidak bisa melakukan itu! Tuan, oke, oke, maafkan aku. Aku bersalah. Ya, aku memang sengaja melakukannya. Tapi aku memiliki alasan. Perempuan ini bukan perempuan baik-baik jadi ... " "Tutup mulutmu, Nona. Segera bereskan barang-barangmu sebelum kami sendiri yang menyeretmu keluar dari hotel ini," tegas Devon dengan tatapan tajam dan mengintimidasi. Perempuan itu terdiam dengan wajah seputih kapas. "Dan kau ... " Devon menatap tajam manajer hotel yang tadi sudah mengambil keputusan sepihak. "Selesaikan masalah ini lalu temui aku di ruanganku," tukasnya membuat sang manajer tertunduk tidak berdaya. *** "Sheina." Chessa menghampiri Sheina yang sedang termenung seorang diri di dekat ruang loker. Melihat wajah berantakan, Chessa pun segera duduk di sampingnya. Chessa sudah mengetahui apa yang terjadi pada Sheina pagi tadi. "Chessa," lirih Sheina. "Aku sudah mendengar apa yang terjadi pagi tadi. Semuanya sudah beres, 'kan?" Sheina mengangguk. "Lalu kenapa kau masih murung seperti ini?" Sheina tersenyum tipis. "Mommy." "Apa yang terjadi dengan mommy-mu? Dia baik-baik saja, 'kan?" Sheina menggeleng. "Mommy semakin memburuk. Aku ingin membawanya keluar dari sana dan berobat ke rumah sakit lain, tapi butuh persetujuan Daddy." "Kau sudah menemui Daddy-mu?" "Sudah. Tapi dia tidak setuju. Entah apa salah dan dosa mommy padanya sehingga ia begitu tega pada mommy." Chessa sedih mendengarnya. "Kau tau, ada yang lebih mengejutkan dari semua itu. Aku sudah biasa dengan sikap Daddy yang tidak peduli, tapi ada hal yang mengejutkan lagi. Kau tau, ternyata Moreno memiliki hubungan dengan Sylvia. Kau bahkan memergoki mereka sedang bercinta di rumahku. Bagaimana? Kau terkejut?" Sheina tertawa. Tapi tawa itu terdengar memilukan. "Apa? f*****g sh!t! Apa dia sudah gila?" seru Chessa terkejut. "Bukan hanya dia, tapi semua. Ayahku, istri mudanya, Sylvia, mereka semua gila. Mereka semua jahat. Mereka semua kejam. Mereka semua tidak memiliki hati." Air mata menetes dari pelupuk mata Sheina. Teringat akan ucapan ibu tirinya kemarin. Ia sungguh tidak menyangka kalau wanita yang dianggap ibunya saudara itu begitu tega menusuknya. Ia bukan hanya merebut ayahnya, tapi merebut segalanya. Termasuk perusahaan yang didirikan sang ibu dengan kedua tangannya. Dan sang ayah hanya diam. Ia justru ikut mendukung. Bahkan ia juga mendukung kebejatan Sylvia. Entah bagaimana caranya, mereka mengatakan kalau Sanz Group kini sudah menjadi milik ayahnya dan perempuan itu. Hati Sheina semakin hancur. Luluh lantak tak berbentuk lagi. Kini, apa yang Sheina punyai? Tak ada. Ibunya gila. Ia tidak memiliki kuasa maupun uang yang banyak untuk menyembuhkan sang ibu. Ia juga tidak memiliki kuasa untuk merebut Sanz Group dari tangan orang-orang kejam tersebut. "Aku harus apa, Chess? Aku harus bagaimana?" lirih Sheina yang nyaris putus asa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD