Bab 6 Hadiah

1975 Words
Selang beberapa kemudian Mas Rangga pulang, Mas Rangga masuk ke dalam Rumah dengan senyum lebar di wajahnya sambil membawa dua Paper bag di tangannya. “Nisa.” “Ibu.” “Nisa!” teriak Mas Rangga. Aku yang sedang memasak di dapur mendengar suara Mas Rangga memanggilku dan ibu. Aku mencuci tanganku lalu buru-buru menemui mas Rangga. “Iya Mas, ada apa?” tanyaku. Mas Rangga tidak menjawabku, ia langsung memelukku dengan erat. Aku lalu membalas pelukan Mas Rangga, Wajah mertuaku terlihat tidak suka saat melihat Mas Rangga memelukku. “Sudah-sudah.” Ibu mas rangga melepaskan paksa tangan mas Rangga yang masih memelukku. Mas Rangga kemudian melepaskan tangannya dari tubuhku lalu mencium punggung tangan ibunya. “Bu, ini ada hadiah untuk ibu dan ini untukmu Dek.” Mas Rangga memberikan satu Paper untuk ibu dan satu Paper bag lagi untukku. “Ini apa Rangga?” tanya ibu. “Ibu lihat saja sendiri,” jawab Mas Rangga tersenyum. Ibu mas Rangga kemudian membuka isi Paper bag nya dan mengambil sebuah jilbab di dalamnya, ibu Mas Rangga tersenyum senang melihat jilbab itu sangat cantik dan warnanya sesuai dengan warna baju seragam pengajian ibu yang baru. “Wah ini cantik sekali, Makasih ya Rangga,” ucap ibu Mas Rangga dengan mata berbinar. “Iya Bu,” sahut mas Rangga. Aku dan Mas Rangga tersenyum melihat wajah ibu yang sangat senang. lalu aku memandang Paper bag yang ada di tanganku. “Kok belum di buka Dek?” tanya Mas Rangga. “Nanti aja Mas,” jawabku. “Sekarang aja ya.” Mas Rangga lalu mengambil kembali Paper bag dari tanganku dan mengambil isi di dalamnya. Mataku membulat saat melihat sebuah kotak merah isi dari Paper bag itu. Mas Rangga lalu membuka kotak merah itu untukku, terlihat di dalam kotak itu sebuah kalung emas yang sangat indah. Aku menutup mulutku tak percaya kalau Mas Rangga membelikan kalung emas itu untukku. “Bagaimana Dek? Apa kau menyukainya?” tanya mas Rangga. “Iya Mas, aku sangat suka,” jawabku senang dengan senyum tiada henti terpancar di wajahku. “Mas pakaikan ya,” ujar mas Rangga. Aku menganggukkan kepalaku, Mas Rangga lalu memakaikan kalung itu di leherku. Aku memegang kalung itu yang kini bersemat di leherku. “Makasih ya Mas,” ucapku sambil menatap wajah mas Rangga. “Iya Dek.” Mas Rangga mencium lembut keningku, Ibu mas Rangga memutar kedua bola matanya Ia tidak suka melihat kalung itu berada di leherku. Menurutnya wanita malam sepertiku tidak pantas memakainya. “Rangga, kenapa hanya Nisa yang di belikan kalung sedangkan ibu Cuma jilbab biasa?” tanya ibu mas Rangga tak terima. “Ibu kan lagi membutuhkan jilbab untuk baju baru ibu, kalau Nisa itu karena dulu aku pernah berjanji padanya ingin memberikannya kalung,” jawab Mas Rangga. Aku terkejut mendengar ucapan Mas Rangga, aku tidak menyangka mas Rangga ternyata masih mengingat janjinya saat hari Ulang tahunku yang ke 20 tahun. Kala itu Mas Rangga berjanji akan membelikan kalung untukku sebagai hadiah karena waktu itu mas Rangga belum punya uang. Ibu mas Rangga merasa kesal mendengar jawaban mas Rangga, ia lalu kembali ke kamarnya. Mas Rangga yang tahu ibunya sedang marah kemudian menyusulnya ke kamar. “Ibu jangan marah dong, Rangga janji nanti kalau ada Rezeki lagi, Rangga akan membelikan kalung baru untuk ibu,” tutur mas Rangga. “Janji ya!” desak ibu. “Iya Rangga janji Bu.” Mas Rangga meyakinkan ibunya. ibu mas Rangga kembali tersenyum. Mas Rangga lalu memeluk ibunya ia tidak bisa melihat ibunya sedih atau pun marah. “Ya sudah, Rangga mandi dulu ya Bu.” Ibu mas Rangga tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Mas Rangga lalu berjalan keluar dari kamar ibu menuju kamar mandi. Aku merasa tidak enak kalau ibu sampai marah, aku melepaskan kalung yang berada di leherku dan akan mengembalikannya nanti setelah mas Rangga selesai mandi. Aku duduk di tepi ranjang menunggu mas Rangga, tidak lama mas Rangga masuk sambil memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. “Mas!” Panggilku. “Apa Dek?” tanya mas Rangga sambil mengambil bajunya di dalam lemari dan memakainya. Aku beranjak dari dudukku dan memeluk mas Rangga dari belakang. Mas Rangga memegang tanganku yang melingkar di perutnya lalu membalikkan tubuhnya ke arahku. “Mas, aku tidak bisa menerima ini, lebih baik untuk ibu saja.” Aku memegang tangan mas Rangga lalu memberikan kalung itu ke tangannya. Mas Rangga terdiam, ia tidak mengerti kenapa aku mengembalikan hadiah pemberian darinya. “Dek, Mas sengaja membelikan ini untukmu.” “Tidak Mas, menjadi istrimu saja itu sudah cukup bagiku,” ucapku tersenyum. Mas Rangga menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang besar, ia menatap kedua manik mataku dengan dalam. “Dek, dengarkan Mas. Mas itu sangat mencintaimu, mas juga sudah berjanji akan selalu membahagiakanmu, kalung ini sebagai tanda cinta Mas padamu karena kau sudah hadir di hidup Mas. Dan soal ibu, mas akan membelikannya lagi nanti kalau mas ada Rezeki,” ucap Mas Rangga tulus. Aku menangis terharu mendengar kata-kata tulus yang keluar dari mulut mas Rangga. Mas Rangga menghapus air mataku dan mengecup keningku, kecupan mas Rangga terus turun di kedua kelopak mataku, hidung, pipi dan bibirku. Aku lalu memeluk tubuh kekar Mas Rangga dengan erat, aku benar-benar bersyukur mendapatkan suami seperti Mas Rangga. Mas Rangga membelai rambutku dengan lembut lalu memakaikan kalung itu kembali ke leherku. “Terima kasih Mas sudah mencintaiku.” “Mas, yang seharusnya berterima kasih, karena kau sudah mau menjadi istri Mas.” Aku tersenyum malu mendengar kata-kata mas Rangga, di saat semua orang menanggap aku tidak pantas menjadi istri mas Rangga tetapi Mas Rangga malah merasa bangga memiliki istri sepertiku. “Ow ya Mas, mas dapat uang dari mana untuk membeli kalung ini?” tanyaku heran. “Dari Bos mas, kebetulan perusahaan mas mendapat keuntungan besar dari hasil iklan yang Mas buat,” jawab mas Rangga. “Emmm gitu,” aku menganggukkan kepalaku mengerti “Ya sudah, kalau gitu sekarang kita makan. Mas pasti sudah lapar!”. Mas Rangga menganggukkan kepalanya, lalu kami berjalan ke meja makan. Tapi sebelum aku dan mas Rangga sampai di meja makan, kami masuk ke kamar ibu terlebih dulu untuk mengajaknya makan bersama. “Bu Makan dulu Yuk!”. Aku dan Mas Rangga tersenyum mendekati ibu, ibu Mas Rangga membalas senyum Mas Rangga tapi tidak membalasku. “Iya Rangga, kau duluan saja ke meja makan. Nanti ibu menyusul,” sahut ibu mas Rangga. “Iya Bu.” Mas Rangga lalu berjalan terlebih dulu keluar dari kamar ibu kemudian aku menyusul Mas Rangga, tetapi baru beberapa langkah kakiku tiba-tiba saja ibu menarik tanganku dan mendorongku sampai terjatuh. “Aaaahhh, bruk!” aku langsung terduduk di lantai hampir saja kepalaku terbentur dinding. “Astagfirullah hal Azhim, apa yang ibu lakukan?” Tanyaku lirih. “He Nisa, kau itu jangan senang dulu ya, percuma saja kau pakai kalung yang bagus baju yang bagus itu semua tidak akan menutupi statusmu bekas wanita malam,” ucap mertuaku sambil menunjuk wajahku. Aku hanya bisa diam, bagaimanapun juga ibu mas Rangga adalah ibuku juga aku tidak mungkin melawannya. “Ingat ya Nisa, sampai kapan pun ibu tidak akan menerimamu sebagai menantu ibu,” bentak mertuaku marah lalu pergi meninggalkanku. Tanpa terasa air mataku jatuh membasahi pipiku, sebegitu bencinya kah mertuaku padaku. Sampai ia tidak mau menerimaku sedikit pun di hatinya. “Ya Allah, bukakanlah pintu hati mertuaku,” batinku. Aku beranjak dari dudukku, berdiri dan menghapus air mataku seolah-olah tidak terjadi apa pun, aku kemudian kembali menyusul mas Rangga ke meja makan. Ku lihat ibu dan Mas Rangga tengah berbincang bersama. “Dari mana Dek? Kok lama sekali?” tanya mas Rangga. “Maaf Mas, aku tadi ke kamar mandi dulu sebentar,” jawabku berbohong. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya aku tidak mau mas Rangga dan ibunya bertengkar yang akan membuat mertuaku semakin membenciku. “Ya sudah, sekarang kita makan!”. “Iya Mas, tapi maaf ya Mas hari ini aku tidak masak ayam atau ikan, uangku Cuma cukup untuk beli tahu, tempe, sayur, dan bumbu dapur,” ucapku terus terang. “Iya tidak apa-apa Dek, nanti Mas kasih uang belanja lagi,” sahut mas Rangga. Aku menganggukkan kepalaku lalu mengambil nasi untuk piring mas Rangga, Kemudian ibu dan aku. kami semua makan dalam keadaan diam. Ku lihat mas Rangga makan dengan lahab semua masakanku. **** Sehabis makan seperti biasa aku membersihkan meja makan dan mencuci piring, sedangkan Mas Rangga sudah kembali ke kamar bersiap untuk Sholat magrib di mesjid. “Nisa, awas kamu ya kalau bicara macam-macam dengan anak ibu!” ancam mertuaku. “Iya Bu,” ucapku pelan. Mertuaku sengaja mengancamku agar aku tidak mengadu pada Mas Rangga karena ibu mertuaku sudah tahu Mas Rangga pasti akan marah jika tahu ibunya bersikap kasar dengan istrinya. Setelah mengancamku, Ibu mertuaku lalu pergi ke ruang tengah menonton TV. Lagi-lagi aku menghela napasku menghadapi sikap mertuaku itu dan kembali mencuci piring. “Dek, sudah magrib Ayo ke mesjid!” panggil Mas Rangga. “Iya Mas,” aku langsung menghampiri Mas Rangga, meninggalkan cucian piringku yang tinggal sedikit lagi. aku akan melanjutkannya nanti setelah pulang dari mesjid. Mas Rangga terlihat sudah rapi dengan baju Koko berwarna biru muda, sarung, dan lengkap dengan kopiahnya. Aku terpaku menatap Mas Rangga yang sangat tampan sekali seakan sosok Nabi Yusuf ada di dalam dirinya. “Dek, kok malah lihatin Mas. Ayo cepat sebentar lagi azan loh,” ucap Mas Rangga menyadarkan Ku. “Iya-iya Mas.” Aku buru-buru mengambil Air wudhu dan memakai mukenaku. Lalu aku dan Mas Rangga pergi bersama jalan ke mesjid. Tidak lama suara azan dan Iqamah terdengar ketika kami sampai di mesjid. Pak Ustadz Musa memimpin Shalat Magrib berjamaah, aku Shalat di barisan paling belakang karena ibu-ibu lainnya tidak mau Shalat dekat denganku. “Assalamualaikum warrohmahtullahi wabarakatu.” Terdengar suara Ustadz Musa mengucapkan salam bertanda Shalat magrib telah selesai. Aku dan ibu-ibu lainnya lalu pulang terlebih dulu ke rumah masing-masing. “Nisa, kamu ini gak punya malu ya! kenapa kamu masih Shalat di mesjid ini,” ucap Bu Siti ketus. “Bu, Mesjid ini Rumah Allah semua orang berhak untuk Sholat di sini.” “Iya, tapi tidak untuk perempuan seperti kamu,” sambung Bu Wati. “Bu, percuma saja ibu Sholat tapi ucapan ibu masih menyakiti orang lain, itu juga Dosa Bu,” ucapku memberi pengertian kepada Bu Siti dan Bu Wati. “Sudahlah Nisa, kamu itu gak usah ceramahi kami. Kami itu lebih baik dari kamu!” ucap Bu Wati lalu pergi bersama Bu Siti dan ibu lainnya. “Astagfirullah hal Adzim.” Aku mengelus dadaku. Aku tidak habis pikir kenapa Bu Wati dan Bu Siti bicara seperti itu padahal yang menentukan siapa manusia yang lebih baik di dunia ini, itu hanya Allah semata. Tanpa terasa langkah kakiku tiba di Rumah, aku menyimpan kembali mukena dan sajadahku di dalam lemari, Lalu aku menghampiri ibu yang sedang menonton TV di ruang tengah. Mungkin ia sudah Sholat waktu aku dan mas Rangga pergi ke mesjid. “Belum tidur Bu!” sapaku mencoba lebih dekat dengan mertuaku. “Gak usah sok baik dan perhatian sama ibu, ibu tetap gak suka sama kamu,” balas mertuaku ketus. “Maaf Bu, Nisa hanya ingin dekat dengan ibu,” ucapku lirih. “Nisa, kamu itu tuli ya! Ibu itu gak suka sama kamu. Kenapa kamu itu gak pisah aja sama anak ibu!” teriak mertuaku marah. Lagi-lagi aku tidak bisa membendung air mataku yang mengalir di sudut mataku. Mertuaku mendengus kesal melihat wajahku. “Aku sangat mencintai Mas Rangga, Bu. Aku tidak mungkin pisah sama mas Rangga,” ucapku sambil menangis sesenggukan. “Ibu tidak peduli, pokoknya ibu akan buat kamu pisah sama anak ibu. Ibu tidak mau punya menantu wanita malam seperti kamu. Ibu malu!” bentak Mertuaku kemudian berlalu kembali ke kamarnya. Kakiku terasa lemas, aku terduduk di lantai dekat Sofa. Air mataku terus mengalir deras, hatiku terasa sangat sakit mendengar ucapan ibu yang ingin memisahkanku dengan Mas Rangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD