Bab 7 Takut kehilangan

1351 Words
Mas Rangga yang baru pulang dari mesjid merasa terkejut melihatku menangis terduduk di lantai, ia langsung berlari menghampiriku. “Dek, ada apa? Kenapa kau menangis?” tanya Mas Rangga khawatir. Aku tidak menjawab mas Rangga, aku langsung memeluk mas Rangga dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya. Mas Rangga lalu merangkulku dan membawaku ke kamar. Aku duduk di tepi ranjang, sedangkan Mas Rangga duduk berlutut di hadapanku, telapak tangan mas Rangga yang besar mengusap sisa Air mata yang masih mengalir di kedua pipiku. “Dek, katakan yang sebenarnya. Kenapa kau menangis?” tanya mas Rangga sambil terus menatapku tak sabar menunggu jawaban dariku. “A..aku tidak mau berpisah denganmu Mas,” jawabku terbata-bata. “Dek, kenapa kau bicara seperti itu, tidak ada siapa pun yang akan memisahkan kita,” ucap Mas Rangga memelukku dan meyakinkanku. “Aku tidak bisa jauh darimu Mas, aku takut kehilanganmu Mas,” racauku lagi. Mas Rangga memelukku semakin erat, untuk menenangkanku. Ia masih tidak mengerti apa yang sudah membuatku sampai menangis seperti ini. Cukup lama mas Rangga memelukku, hingga aku tanpa terasa tertidur di pelukan Mas Rangga. Mas Rangga lalu membaringkanku perlahan di ranjang agar aku tidak terbangun. Di hapusnya sisa air mataku yang menganak di sudut mata sambil menatap wajahku yang lelah menangis. “Mas tidak menyangka, kau begitu mencintai Mas, Dek. Mas juga sangat mencintaimu Dek,” batin Mas Rangga. Mas Rangga kemudian memakaikan selimut untukku setelah itu mengganti pakaian Sholatnya dengan pakaian biasa. Mas Rangga lalu pergi ke kamar ibu untuk bertanya padanya. “Bu. sudah tidur ya!” panggil mas Rangga di iringi dengan ketukan pintu. Ibu Mas Rangga yang mendengar suara mas Rangga lalu menarik selimutnya berpura-pura tidur, Ibu mas Rangga tahu kalau mas Rangga pasti mau bertanya apa yang sudah terjadi. Mas Rangga lalu membuka pintu kamar ibu karena tidak ada jawaban dari ibu. Mas Rangga yang melihat ibu sudah tertidur lalu berjalan mendekati ibunya dan mengecup lembut keningnya. “Aku sayang sama Ibu,” batin Mas Rangga. Setelah itu Mas Rangga keluar dari kamar Ibu dan menutup pintu kamarnya kembali. Mas Rangga kemudian pergi ke dapur untuk membuat Teh hangat, di seduhnya air panas, gula, teh dan di aduknya perlahan. Selesai membuat Teh mas Rangga menghabiskan waktunya dengan duduk di Sofa sambil menyeruput Tehnya. Mas Rangga masih terus memikirkan aku dan Ibu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa Nisa dan Ibu bertengkar?” guman hati Mas Rangga bertanya-tanya. Mas Rangga terus meminum Tehnya sampai habis tak tersisa lalu kembali ke kamar untuk tidur mengistirahatkan tubuhnya karena besok ia harus berangkat pagi-pagi ke kantor atas perintah Bosnya. **** “Assolatu khoirumminannaum.” Terdengar suara Ustadz Musa berkumandang azan dengan merdunya. Aku yang tertidur sambil memeluk Mas Rangga lalu terbangun, Ku lihat wajah teduh Mas Rangga yang masih terlelap. “Ya Allah, jangan pisahkan aku dengan Suamiku,” batinku. Setelah puas memandang wajah Mas Rangga, aku pergi ke kamar mandi terlebih dulu. Cukup 10 menit aku mandi karena airnya sangat dingin, aku lalu buru-buru kembali ke kamar. “Mas, sudah bangun?” Tanyaku saat melihat tubuh Mas Rangga menggeliat. Mas Rangga lalu membuka matanya perlahan dan menoleh ke arahku. “Dek, kau sudah bangun?” Mas Rangga malah balik bertanya padaku. “Iya Mas, aku juga sudah mandi,” jawabku. “Dek, Tunggu Mas ya. kita Shalat Subuh berjamaah.” Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum, dengan cepat Mas Rangga mandi membersihkan tubuhnya sementara aku menggelar sajadah untukku dan Mas Rangga Shalat. Sehabis mandi dan berpakaian, seperti biasa aku dan Mas Rangga Shalat subuh berjamaah. “Dek, apa Mas boleh bertanya sesuatu?” tanya Mas Rangga setelah kami selesai Shalat. “Tanya apa Mas?” jawabku sambil melipat mukena. “Kenapa tadi malam kau menangis?” tanya Mas Rangga lagi. “Tidak ada apa-apa Mas,” jawabku gugup. “Dek, jangan berbohong sama Mas. Apa kau bertengkar dengan ibu?” tanya Mas Rangga semakin mendesak. “Tidak Mas, aku tidak mungkin bertengkar dengan ibu,” jawabku tersenyum. Aku terpaksa berbohong pada Mas Rangga, aku tidak sanggup mengatakan kebenarannya kalau ibu sangat membenciku dan akan membuat aku dengan Mas Rangga berpisah. “Mas aku masak dulu ya, langit sudah terang,” ucapku sambil melihat keluar jendela. Aku sengaja mengalihkan Mas Rangga agar Mas Rangga tidak bertanya lagi padaku. Mas Rangga lalu menggeser tubuhnya menjadi lebih dekat denganku, mas Rangga mengambil tanganku dan menggenggamnya. “Dek, kalau ada sesuatu katakan saja pada Mas ya, jangan menyembunyikan apa pun dari Mas,” tutur mas Rangga. “Iya Mas,” balasku tersenyum. “Dan satu lagi Dek, kalau kau merindukan Ayah bilang saja. Nanti kita bisa pergi ke rumah Ayah,” ujar Mas Rangga. “Benarkah Mas?” tanyaku senang karena aku memang sangat merindukan Ayah. “Iya, Mas janji kalau Mas libur kerja kita akan pergi ke Rumah Ayah.” “Terima kasih Mas.” Aku memeluk Mas Rangga, Mas Rangga membelai rambut panjangku dengan lembut sambil mengecup puncak kepalaku. “Ya sudah Dek, kalau kau mau masak. Mas juga harus berangkat kerja pagi-pagi ada rapat penting,” ucap Mas Rangga setelah aku melepaskan pelukanku. “Iya Mas,” ucapku tersenyum. Aku pergi ke dapur dan mulai memasak, hari ini aku memasak nasi goreng seafood. Sedangkan Mas Rangga mengganti pakaiannya dan menyiapkan tas kerjanya. Tidak lama Mas Rangga keluar dari kamar dalam keadaan sudah Rapi. Ibu Mas Rangga yang baru saja bangun tidur merasa heran melihat Mas Rangga sudah Rapi. “Rangga, kenapa pagi-pagi sekali berangkat kerjanya?” tanya Ibu. “Iya Bu, hari ini Rangga ada rapat penting jadi harus berangkat pagi,” jawab Mas Rangga. “Ow ya sudah, Ibu mandi dulu ya.” “Iya Bu.” Mas Rangga lalu duduk di meja makan menungguku menyiapkan Nasi goreng seafood untuknya. “Ini Mas sarapannya.” Aku menyodorkan sepiring Nasi goreng dan Segelas kopi s**u di hadapan Mas Rangga. Kemudian Mas Rangga memakannya, sedangkan aku hanya menemaninya saja. “Gak makan Dek?” tanya Mas Rangga sambil mengunyah makanannya. “Enggak Mas, nanti aja,” jawabku. Sehabis makan Mas Rangga lalu mengambil sepuluh lembar uang kertas berwarna merah dari dalam tas kerjanya dan memberikannya padaku. “Ini Dek, untuk uang belanja.” “Ini banyak sekali Mas.” “Iya gak papa, untukmu Dek kalau mau beli bedak atau baju.” “Makasih ya Mas.” “Iya, Mas berangkat kerja dulu ya,” pamit Mas Rangga. Seperti biasa aku mencium tangan Mas Rangga dan Mas Rangga mencium keningku. Tidak lama Ibu Mas Rangga keluar dari kamarnya. “Bu, aku berangkat kerja dulu,” ucap Mas Rangga mencium tangan ibunya. “Iya Rangga, hati-hati di jalan.” Mas Rangga menganggukkan kepalanya lalu keluar rumah mengendarai motornya menuju kantor di mana Mas Rangga bekerja. Aku dan ibu Mas Rangga lalu sarapan bersama, wajah mertuaku masih terlihat marah semenjak kejadian tadi malam. “Nisa, mana uangnya sini berikan sama ibu?”. “Uang apa Bu?” tanyaku tidak mengerti. “Ya uang dari Rangga, anak ibu. Jangan pikir ibu tidak tahu ya,” ucap mertuaku ketus. Aku terdiam sejenak, ternyata sejak tadi ibu diam-diam melihat dan mendengarkan ucapanku dengan Mas Rangga. “He Nisa, kenapa diam saja. Mana uangnya!” ucap mertuaku tak sabar. “Tapi Bu, ini uang ini untuk belanja beli beras, lauk, dan kebutuhan dapur lainnya,” ucapku lirih. Ibu lalu mengambil paksa uang yang di berikan Mas Rangga dari tanganku. Aku berusaha mempertahankan uang itu tapi sia-sia. Ibu mengambil semuanya dan hanya menyisakan uang tiga ratus ribu rupiah untukku. “Itu uang untuk belanja, selebihnya uang ini milik ibu. Ibu gak mau ya anak ibu kerja keras tapi malah untuk istri tidak tahu diri kayak kamu!” Cibir mertuaku. Aku memegang dadaku yang terasa sesak, semakin lama ucapan ibu semakin menyakitkan hatiku. Tapi aku selalu berusaha kuat menghadapi mertuaku. “Awas ya Nisa, kalau kamu sampai mengadu sama Rangga!” ancam mertuaku lagi. Aku menganggukkan kepalaku pelan. Ibu lalu berpindah tempat ke ruang tengah sambil membawa sarapannya sedangkan aku masih duduk di meja makan, Ku pandangi uang tiga ratus ribu rupiah yang ada di tanganku. “Ya Allah, bagaimana bisa aku membeli beras dan lainnya dengan uang segini,” guman hatiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD