Bab 5 sikap kasar ibu

2090 Words
Mas Rangga kemudian menggeser tubuhnya yang sudah dekat denganku lalu menggenggam tanganku dan mengecup keningku lembut. “Mas sudah membuktikan sendiri kalau istri mas itu bukan wanita malam,” bisik mas Rangga di telingaku. “Ih, Mas ini Apaan sih!”. Aku memalingkan wajahku tersenyum tersipu malu, Mas Rangga lalu memegang daguku dan mengarahkan wajahku lagi ke arahnya. Sejak kami berpacaran Mas Rangga memang selalu bisa membuatku tersenyum kembali. “Nanti malam Mas minta lagi ya,” ucap Mas Rangga menggodaku. “Mas!” ucapku sedikit keras sambil memukul pelan bidang d**a mas Rangga. Mas Rangga tertawa memegang tangan mungilku dan mengecupnya. Sikap lembut mas Rangga yang seperti ini membuatku sangat mencintainya, aku akan sanggup bertahan tinggal bersama mertuaku demi mas Rangga. “Yuk kita makan malam, Mas sudah lapar ni!” ajak Mas Rangga. “Iya Mas,” sahutku. Aku dan Mas Rangga pergi ke meja makan, tidak lupa kami mengajak ibu Makan bersama kami. Aku mengambilkan nasi dan lauk ke piring mas Rangga. “Sini Bu, biar aku ambilkan,” tawarku. “Tidak usah, ibu bisa ambil sendiri,” sahut mertuaku ketus. Aku tersenyum dengan penolakan ibu, ibu lalu mengambil sendiri Nasi dan lauknya kemudian aku. Kami semua lalu makan malam bersama. “Rangga, ibu minta uang ya,” ucap Ibu Mas Rangga sehabis makan. “Tapi Rangga belum gajian Bu,” jawab mas Rangga. “Rangga semua teman-teman ibu beli seragam pengajian baru, ibu kan juga mau,” desak mertuaku. “Ya sudah, tunggu ya Bu. Rangga ambilkan dulu uangnya.” Mas Rangga lalu pergi masuk ke kamar dan mengambil uang simpanannya di dalam lemari pakaian untuk ibu. “Ini Bu, Rangga Cuma punya empat ratus ribu.” Mas Rangga memberikan empat lembar uang kertas berwarna merah itu kepada ibunya. Senyum langsung mengembang di wajah ibu mas Rangga setelah menerima uang itu. “Makasih ya Rangga, ibu simpan uang ini dulu.” Ibu mas Rangga beranjak dari duduknya lalu pergi ke kamarnya. Ia langsung membuang wajahnya saat melihatku. Setelah ibu masuk ke kamarnya, Mas Rangga kemudian mengeluarkan satu lembar uang seratus ribu dari saku celananya dan memberikannya untukku. “Maaf ya Dek, uang Mas tinggal segini untuk belanja besok,” ucap mas Rangga lirih. “Iya Mas, gak pa-pa kok. Ini sudah cukup,” ucapku tersenyum agar mas Rangga tidak kecewa. “Ya sudah, Mas siapkan pekerjaan mas dulu ya untuk besok.” “Iya Mas.” Mas Rangga lalu ke ruang tengah menyelesaikan pekerjaannya sedangkan aku membersihkan meja makan bekas makan malam kami. Setelah selesai semua pekerjaan rumahku, aku lalu kembali ke kamar untuk Sholat isya dan beristirahat. Tanpa terasa sudah pukul 11 malam, aku yang sudah ketiduran langsung terbangun saat mas Rangga hendak ingin memakaikan Selimut untukku. “Maaf Dek, Mas jadi membangunkanmu,” ucap Mas Rangga tidak enak “Tidak apa-apa Mas, mas kok belum tidur?” tanyaku. “Iya pekerjaan Mas baru aja selesai,” jawab Mas Rangga. “Ya sudah, Mas sekarang tidur.” Aku menepuk tempat tidur di sebelahku. Mas Rangga lalu naik ke atas ranjang dan langsung memelukku. Kedua tangan Mas Rangga perlahan mulai membuka piyama Ku dan mengecup bibirku, napas mas Rangga mulai terasa berat. Aku menikmati kecup mesra dari bibir mas Rangga, Hatiku dan mas Rangga kembali saling bertautan dengan dentuman hebat. Mas Rangga mulai menyentuhku dengan sentuhan jemarinya menemani detak cinta seirama menjelajahi waktu. Mas Rangga menarik selimut dan mengurungku di dalamnya, pandanganku menatap bidang d**a lebar mas Rangga yang menggauliku dengan lembut dan kehangatan sampai Mas Rangga menuntaskan hasratnya. Aku terkulai lemas bersama Mas Rangga, ia lalu membawaku ke dalam pelukannya dan terlelap bersama. ******** Pagi hari seperti biasa Azan Shubuh terdengar, kali ini Mas Rangga yang terlebih dulu terbangun, ia kembali memakai kaosnya lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi junub. Sehabis mandi mas Rangga kemudian membangunkanku. “Dek bangun, sudah shubuh,” ucap Mas Rangga sambil menyentuh lembut pipiku. Aku mulai menggeliat dan membuka mataku perlahan, ku lihat Mas Rangga sudah tampak segar dengan rambutnya yang basah. “Mas, sudah mandi ya?” tanyaku. “Iya, memangnya kenapa? kau mau lagi Dek.” “Mas!” pekikku. Aku memukul Mas Rangga dengan bantal yang berada di sampingku. Mas Rangga terus tertawa melihat wajahku yang kesal karena mas Rangga selalu saja menggodaku. “Sudah sana cepat mandi, mas tunggu!” perintah Mas Rangga. “Iya Mas.” Aku langsung beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi tidak lupa aku membaca doa mandi junub sebelum mengguyur tubuhku. Selesai mandi dan berpakaian, aku dan mas Rangga Sholat subuh bersama. Mas Rangga berdoa kepada Allah meminta agar Rumah tangga kami selalu bahagia dan juga berdoa untuk ibu, aku mengaminkan doa Mas Rangga semoga Allah mengabulkan doa kami dan senantiasa bersama kami. Selesai berdoa seperti biasa aku mencium punggung tangan Mas Rangga lalu mas Rangga mencium keningku. "Mas, aku masak dulu ya untuk sarapan," ucapku sesudah Shalat. "Iya Dek," sahut mas Rangga tersenyum. Aku menyimpan kembali mukenaku lalu melangkahkan kakiku menuju dapur, ku ambil sayuran di dalam kulkas dan memotongnya. hari ini aku memasak sayur lodeh dan sambal ikan sarden. Dari jendela dapur ku lihat Mas Rangga sedang memperbaiki sepeda motornya, aku yang baru selesai masak lalu menghampiri mas Rangga sambil membawa nampan berisi segelas kopi s**u untuknya. "Mas, ini kopi susunya di minum dulu," ucapku. "Iya, Makasih Dek. letakkan saja di atas meja situ!". Mas Rangga menunjuk sebuah meja kecil yang tidak jauh dari Mas Rangga, aku lalu meletakkan kopi s**u itu di sana. "Motornya kenapa Mas?" tanyaku sambil terus memerhatikan keadaan motor mas Rangga yang sedang di bongkar. "Biasalah Dek, motor sudah tua," jawab mas Rangga tanpa mengalihkan pandangannya tetap fokus memperbaiki motornya. "Ehmm...kenapa Mas gak beli motor yang baru saja?" tanyaku lagi. "Sayang Dek uangnya, Lebih baik Mas tabung di Bank untuk biaya kalau ibu sakit sama kalau kita punya anak nanti," jawab Mas Rangga. "Memangnya Mas mau punya anak berapa?" tanyaku menggoda mas Rangga. Mas Rangga tertawa mendengar ucapanku, ia lalu kembali memasang motornya dan mendekatiku. "Dek, kau ini sudah pintar menggoda ya." Mas Rangga mencubit hidungku, aku langsung memukul tangan mas Rangga yang jahil. "Mas, sudah mau jam 07.00 loh, cepat berangkat ke kantor." Aku mengingatkan Mas Rangga takut ia terlambat dan di marahi Bosnya. Mas Rangga menganggukkan kepalanya lalu meminum kopi s**u buatanku. "Ya sudah, Mas ganti baju kerja dulu." Mas Rangga kembali ke kamar sedangkan aku pergi ke kamar ibu mas Rangga untuk membangunkannya. Aku membuka gorden jendela di kamar ibu agar cahaya bisa masuk ke dalam kamar. "Bu bangun sudah siang," ucapku sambil menggoyangkan pelan tangan ibu mertuaku. "Nisa, kau ini ganggu ibu tidur saja!" seru mertuaku marah. "Maaf Bu," jawabku lirih. "Sudah sana kau keluar dari kamar ibu," ucap mertuaku mengusirku. Aku keluar dari kamar ibu lalu menyiapkan sarapan untuk mas Rangga. Mas Rangga yang tidak melihat ibunya di meja makan kemudian pergi ke kamarnya. "Bu, sudah siang begini kok belum bangun." Mas Rangga memegang tangan ibunya. Ibu mas Rangga lalu terbangun. "Aduh ibu kesiangan, istrimu itu tidak mau membangunkan ibu dari tadi," ucap ibu mas Rangga kesal. "Ya sudah, mulai besok Rangga menyuruh Nisa untuk membangunkan ibu ya, agar ibu lebih sehat menghirup udara pagi," sahut mas Rangga. “Iya Nak.” Ibu mas Rangga tersenyum. Mas Rangga dan ibunya lalu keluar dari kamar berjalan menuju meja makan yang sudah aku siapkan. Mas Rangga lalu duduk bersama ibu, aku lalu menyiapkan piring dan mengambilkan nasi untuk Mas Rangga. “Dek, Mas minta setiap pagi kau bangunkan ibu ya!” Titah mas Rangga. “Iya Mas, tadi pagi aku juga sudah membangunkan ibu tapi ibu malah mengusirku,” ucapku. “Tidak Rangga istrimu itu berbohong jelas-jelas tadi ibu masih tidur dan kau membangunkan ibu, bagaimana bisa ibu mengusirnya,” kilah mertuaku. “Iya Dek, tadi ibu masih tidur ibu tidak mungkin mengusirmu karena kau adalah istri Mas, Dek.” Mas Rangga membela ucapan ibunya dan tidak percaya padaku, aku ingin mencoba menjelaskan pada mas Rangga yang sebenarnya tapi mertuaku menatap tajam padaku seolah mengancamku. Akhirnya aku memilih diam, membiarkan ucapan ibu mertuaku itu benar. “Baik Mas, mulai besok aku akan membangunkan ibu,” ucapku di hadapan mertuaku. “Ya sudah, kalau begitu Mas berangkat kerja dulu ya!” pamit mas Rangga setelah menghabiskan makanannya. “Iya Mas,” sahutku tersenyum. Mas Rangga lalu mengecup keningku dan aku mencium tangannya. Setelah itu mas Rangga mencium tangan ibunya lalu pergi keluar rumah menaiki sepeda motornya berangkat kerja. Begitu mas Rangga pergi, Ibu Mas Rangga langsung menjambak rambutku yang panjang dengan kuat, aku merasa terkejut dengan apa yang di lakukan ibu mertuaku. “Aahh...sakit Bu.” Aku merintih kesakitan sambil memegang rambutku. Tapi mertuaku malah dengan sengaja menjambak rambutku semakin kuat. “Sakit, ini hukumanmu karena kau sudah menjelekkan nama ibu di depan anak ibu sendiri,” ucap mertuaku lalu melepaskan rambutku dengan kasar. “Maaf Bu, Nisa tidak bermaksud seperti itu, Nisa hanya bicara yang sebenarnya,” ucapku lirih. “Awas kau ya, sekali lagi kau menjelekkan nama ibu. Ibu akan menghukum mu lebih dari ini!” ancam mertuaku lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Aku lalu terduduk lemas di lantai dan menangis tersedu-sedu, aku memang sudah sering mendapat perlakuan kasar dari ibuku dan bela adikku tapi aku tidak menyangka kalau aku juga mendapat perlakuan kasar dari mertuaku. Ibuku dan Bela tidak bersikap kasar padaku jika di hadapan ayahku, begitu pun juga mertuaku ia akan menyembunyikan sikap kasarnya jika di hadapan mas Rangga. “Ya Allah kuatkan lah aku.” Aku memukul pelan dadaku berkali-kali mencoba menguatkan diriku. Setelah mengeluarkan air mataku aku merasa sedikit tenang, aku menyeka sisa air mata di sudut mataku. Tidak lama kemudian mertuaku yang baru selesai mandi datang menghampiriku sambil membawa pakaian kotornya dan melemparkannya ke wajahku. “Itu cuci sana!” perintah mertuaku. Aku menganggukkan kepalaku pelan, lalu mengambil pakaian kotor ibu dan membawanya ke belakang untuk di cuci. Sedangkan mertuaku pergi ke Rumah Bu Wati sambil membawa uang yang di berikan mas Rangga tadi malam. Seperti Biasa sehabis mencuci aku mandi dan pergi ke pasar belanja untuk masak nanti dan besok pagi, dengan uang seratus ribu dari mas Rangga aku berusaha menghemat dengan membeli sayur, tempe dan tahu saja. ***** Sementara itu sisi lain perusahaan swasta tempat Mas Rangga bekerja sedang mendapatkan keuntungan yang besar, berkat iklan yang di buat oleh Mas Rangga, penjualan produk perusahaan itu meningkat secara drastis dan Mas Rangga mendapat hadiah bonus dari Bosnya karena hasil pekerjaan Mas Rangga yang memuaskan. “Terima kasih Pak,” ucap Mas Rangga saat menerima amplop berwarna coklat itu. “Ya sama-sama Rangga, Saya minta kamu selalu meningkatkan kualitas pekerjaanmu,” pesan pak Ferdi Bos Mas Rangga. “Baik Pak,” sahut Mas Rangga menundukkan kepalanya. Mas Rangga lalu kembali ke ruang kerjanya sambil tersenyum senang. Mata Mas Rangga terbelalak saat melihat uang isi dari amplop itu cukup banyak. “Alhamdulillah terima kasih ya Allah,” ucap mas Rangga bersyukur. Mas Rangga lalu menyimpan uang itu ke dalam tasnya kerjanya, ia berniat hari ini ingin membelikan hadiah untuk istri dan ibunya. *** Hari sudah mulai sore aku lalu buru-buru pulang ke Rumah naik ojek agar lebih cepat, biasanya aku hanya berjalan kaki saja walau pasar itu sedikit jauh dari Rumah mas Rangga. Begitu tiba di Rumah aku memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah sisa uang belanjaku kepada tukang ojek itu. “Makasih Bang,” ucapku setelah turun dari motor. “Iya sama-sama Mbak,” ucap Bang ojek itu lalu pergi. Aku kemudian masuk ke rumah sambil membawa satu plastik hitam besar berisi belanjaanku. Ku lihat ibu sedang mencoba baju seragam pengajiannya yang baru. “Jam segini baru pulang, habis dari pasar apa habis pacaran,” sindir mertuaku. Aku diam saja tidak menanggapi mertuaku, aku tidak ingin berdebat dengannya. Padahal aku kesiangan pergi pasar karena mencuci pakaian ibu yang banyak tadi. “Duh... biasa menjadi wanita malam, suami pergi kerja langsung pergi keluar mencari pria lain,” sindir mertuaku lagi. Aku tidak tahan mendengar sindiran ibu lagi, aku langsung menghampirinya, aku tidak bisa membiarkan ibu mertuaku bicara yang tidak – tidak lagi. “Bu, aku minta jangan bicara seperti itu lagi,” ucapku sopan. “Memangnya kenapa? Kamu gak terima? Kan memang kenyataannya kau seperti itu Nisa,” cerca mertuaku. “Bu, sudah berulang kali aku katakan aku bukan wanita malam.” “Ibu gak percaya!” bentak mertuaku lalu pergi kembali kamarnya. Aku menghela napasku, dengan cara apa agar aku bisa membuktikan kepada ibu mertuaku kalau aku bukan wanita malam. Haruskah aku meminta ibuku dan Bela menjelaskan yang sebenarnya kepada mertuaku tapi itu tidak mungkin ibu dan Bela pasti tidak akan mau melakukannya untukku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD