Bab 8 masa lalu

2075 Words
Sementara itu setelah empat puluh menit berkendara dengan sepeda motornya, Mas Rangga akhirnya tiba di kantor. Mas Rangga memarkirkan kendaraan roda duanya di halaman tempat parkir khusus Karyawan. Mas Rangga segera melangkahkan kakinya memasuki kantor langsung menuju ruangan Bosnya. Di dalam ruangan berukuran besar itu terlihat Pak Ferdi, Bos Mas Rangga sedang menunggu kedatangan Mas Rangga. “Selamat pagi Pak!” sapa Mas Rangga. “Iya selamat pagi, bagus kau sudah datang Rangga. Kita harus segera pergi sekarang menemui salah satu klien baru kita,” ujar Pak Ferdi. “Baik Pak.” Mas Rangga menundukkan kepalanya. “Ow ya Rangga, di mana berkas kemarin yang sudah kau siapkan?” tanya Pak Ferdi. “Ada Pak. tunggu sebentar,” jawab Mas Rangga. Mas Rangga membuka Tas kerjanya dan mencari berkas itu di dalamnya, tetapi ia tidak menemukannya. “Astagfirullah Hal Adzim.” Mas Rangga beristigfar teringat berkas yang ia cari rupanya tertinggal di rumah, Mas Rangga lupa memasukkannya ke dalam Tas kerja. “Maaf Pak, berkasnya tertinggal di rumah,” ucap Mas Rangga gugup. “Rangga, kamu ini ceroboh sekali! Bagaimana bisa berkas itu tertinggal!” teriak Pak Ferdi marah. “Sekali lagi Saya minta maaf Pak. Saya akan meminta istri saya untuk mengantarkannya ke kantor ini,” ucap Mas Rangga. “Baiklah, suruh ia cepat datang kesini!” Perintah Pak Ferdi. Mas Rangga menjawab dengan anggukkan kepalanya kemudian mengambil ponselnya yang ada di dalam saku celana lalu menghubungi ponselku. “Tut, Tut, Tut.” Mendengar suara ponselku berdering, aku segera mengambilnya. Ku lihat di layar ponsel nama Mas Rangga yang meneleponku, aku segera mengangkat panggilan telepon dari Mas Rangga. "Halo, Assalamualaikum Mas." "Wa’alaikum salam. Dek, Mas bisa minta tolong gak? tanya Mas Rangga." "Minta tolong apa Mas? tanyaku bingung." "Tolong antarkan berkas Mas di atas meja dekat lemari, tadi Mas lupa ketinggalan." "Ow iya Mas, aku akan mengantarkannya sekarang juga." "Iya, Makasih ya Dek." Mas Rangga lalu mematikan panggilan teleponnya. Kemudian aku menyimpan sisa uang tiga ratus ribu rupiah itu di dalam Tasku lalu bersiap ke kantor Mas Rangga, aku mengganti pakaianku dan memakai hijabku tidak lupa pula aku membawa berkas kerja milik Mas Rangga. “Bu, aku pergi dulu ya ke Kantor Mas Rangga mengantar berkas kerjanya ketinggalan,” pamitku pada ibu mertuaku. “Iya baguslah kau pergi, kalau perlu tidak usah kembali lagi,” sahut mertuaku ketus. “Astagfirullah Hal Adzim, Ibu mengusirku,” ucapku sedih. “Iya mau ibu seperti itu. kalau bukan karena Rangga, ibu tidak mau kau tinggal di rumah ini!” terang mertuaku. Lagi-lagi aku mengelus dadaku, aku harus terbiasa mendengar semua kata-kata kasar dari ibu. Kadang aku berpikir tidak bisakah sekali saja ucapan yang keluar dari mulut ibu itu lembut, selalu saja menyakitkan hatiku. Aku lalu berjalan keluar Rumah menunggu mobil angkot yang lewat. Tidak lama menunggu aku melihat sebuah mobil angkot berwarna merah datang semakin mendekat ke arahku, aku melambaikan tanganku agar mobil angkot itu berhenti. “Mau ke mana Mbak?” tanya sopir angkot itu ketika berhenti di hadapanku. “Mau ke kantor CV. Group Pak,” jawabku. “Ow, ayo Mbak naik. kebetulan angkot Saya lewat ke arah Sana.” “Iya Pak, terima kasih.” Aku kemudian mengangkat kakiku masuk ke dalam angkot tersebut, dalam perjalanan menuju ke kantor Mas Rangga, aku terus menggenggam tanganku. Aku takut terlambat mengantar berkas penting ini untuk Mas Rangga. Sesampainya di kantor Mas Rangga, aku segera menapakkan kakiku masuk ke dalam, Ku lihat semua mata tertuju padaku, para rekan kerja Mas Rangga menatapku sambil berbisik satu sama lain. “Siapa wanita cantik itu?” tanya salah satu pegawai wanita pelan kepada rekan kerja wanita lainnya. “Kalau tidak salah dia istri Rangga,” jawab wanita rekan kerja Mas Rangga yang menghadiri saat pernikahanku dengan Mas Rangga. “Cantik sekali ya istri Rangga.” “Iya, tapi untuk apa punya istri cantik kalau bekas wanita malam.” “Ah, yang benar?” tanyanya terkejut. “Entah lah dari gosip yang beredar begitu.” Bisik mereka lagi. Aku masih bisa mendengar ucapan mereka tentang diriku meskipun mereka berbisik pelan, aku terus berjalan masuk berpura-pura tidak mendengar apa pun. Tanpa sengaja aku melihat Dion teman kerja Mas Rangga yang aku kenal, lalu aku mempercepat langkahku menghampiri Dion. “Mas Dion!” panggilku. “Nisa, sedang apa kau disini?” tanya Mas Dion kaget. “Aku datang untuk mengantar berkas ini milik Mas Rangga ketinggalan,” jawabku. “Ow, Rangga ada di Ruangan Bos. Langsung saja ke sana,” ucap Mas Dion sambil menunjuk ruangan atasannya. “Baiklah, terima kasih Mas Dion,” ucapku tersenyum. Aku kembali melangkahkan kakiku menuju ruangan Bos Mas Rangga. Ku lihat pintu ruangan itu terbuka, saat aku berdiri di ambang pintu betapa terkejutnya aku melihat sesosok Pria di dalam ruangan itu. “Bruk!”. Berkas Mas Rangga terjatuh dari tanganku. Mas Rangga dan Pria itu lalu menoleh ke arah pintu dan melihatku yang masih berdiri di ambang pintu. “Dek, kau sudah datang,” ucap Mas Rangga mendekatiku. Aku masih terdiam, tatapanku masih mengarah kepada Pria itu. Pria itu juga sedikit terkejut saat melihatku. Aku lalu mengambil berkas yang terjatuh dan memberikannya kepada Mas Rangga. “Ini Mas berkasnya, aku pulang dulu,” pamitku. “Iya Dek Makasih ya, hati-hati di jalan,” pesan Mas Rangga. Aku menganggukkan kepalaku pelan, lalu segera keluar dari kantor Mas Rangga dan pulang ke rumah naik angkot lagi. Aku benar-benar tidak menyangka Pria yang hampir membeliku karena mengira aku wanita malam ternyata adalah Bos Mas Rangga. Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan Mas Rangga dan Rekan-rekan kerja Mas Rangga. Aku merasa takut Mas Rangga akan di pecat oleh Bosnya dan karena gosip itu Mas Rangga pasti merasa malu mempunyai istri sepertiku. **** Sementara itu di dalam ruangannya, wajah Bos mas Rangga berubah menjadi marah. Ia teringat saat aku memukulnya di sebuah Klub’ malam. Malam itu aku menjemput Bela adikku yang mabuk di klub malam dan tanpa sengaja aku bertemu dengan pak Ferdi, waktu itu aku tidak tahu kalau ia adalah Bos Mas Rangga. Pak Ferdi merasa tertarik denganku dan ingin membeliku tapi aku menolaknya karena aku bukan wanita malam, aku langsung memukul kepala pak Ferdi dengan sebotol Wine saat ia hendak berbuat lancang padaku. Kejadian itu membuat pak Ferdi sangat marah, ia lalu berjanji akan membalasku. Dan karena itu juga, semua orang mengira aku wanita malam. “Rangga, apa wanita itu istrimu?” tanya pak Ferdi. “Iya Pak. Apa Bapak mengenal istri Saya?” tanya Mas Rangga balik. “Ya, aku mengenal wanita malam itu,” jawab Pak Ferdi. “Maaf Pak, istri saya bukan wanita malam itu semua hanya gosip,” ucap Mas Rangga membelaku. “Tidak Rangga, kau sudah di tipu wanita itu. wanita itu adalah wanita malam, bahkan dia sudah berani kurang ajar padaku,” tutur pak Ferdi. “Itu tidak mungkin Pak, istri saya wanita baik dan Sholehah,” ucap Mas Rangga meyakinkan pak Ferdi. Pak Ferdi tidak percaya dengan ucapan Mas Rangga, ia yakin dengan apa yang ia lihat tidak mungkin wanita baik berada di klub malam. Pak Ferdi yang masih kesal dengan perbuatanku, lalu mempengaruhi Mas Rangga untuk berpisah denganku. “Rangga sebaiknya kau ceraikan saja istrimu itu, dia itu tidak pantas untukmu,” saran Pak Ferdi. “Tidak Pak, saya sangat mencintai istri Saya. Sampai kapan pun Saya tidak akan berpisah dengannya!” ucap Mas Rangga tegas. “Jangan bodoh kau Rangga, wanita rendahan seperti itu hanya akan membuatmu malu,” cemooh Pak Ferdi. Mendengar ucapan Pak Ferdi seketika membuat Mas Rangga marah, Mas Rangga tidak terima istrinya di pandang rendah oleh orang lain. “Maaf Pak jaga bicara Bapak. Ini berkas bapak, maaf Saya tidak bisa menemani bapak pergi menemui klien,” ucap Mas Rangga sambil memberikan berkas itu lalu pergi kembali ke ruang kerjanya. Pak Ferdi akhirnya pergi bersama Dion menemui klien, sedangkan Mas Rangga menggantikan pekerjaan Dion. Saat ini mas Rangga tidak ingin bertemu dengan Bosnya itu. **** Waktu sudah berubah menjadi siang, tanpa terasa mobil angkot yang aku naiki berhenti di dekat rumah. Aku turun dari angkot tersebut dan membayarnya lalu aku terus berjalan hendak memasuki Rumah. “Assalamualaikum!” aku memanggil ibu sambil berdiri di depan pintu. “Wa’alaikum salam,” sahut mertuaku dari dalam rumah lalu membuka pintu depan rumah yang di kunci. “Nisa, kamu ngapain pulang? Kenapa gak sekalian belanja?” tanya mertuaku saat melihat aku pulang dengan tangan kosong. “Astagfirullah hal Azhim, maaf Bu. Nisa lupa,” jawabku baru teringat. Aku mengusap wajahku pelan, Karena terus memikirkan Mas Rangga, aku sampai lupa pergi belanja ke pasar dan pulang tidak membawa belanja apa pun. “Ibu tidak mau tahu ya, cepat kau pergi ke pasar sekarang juga!” perintah Mertuaku. “Tapi Bu, bolehkah besok saja aku ke pasarnya hari ini aku sangat lelah,” pintaku. “Tidak boleh, kau harus pergi sekarang juga dan jangan pulang sebelum belanja!” teriak mertuaku marah. “Iya Bu,” jawabku lirih. Ibu mertuaku mendengkus kesal melihatku, lalu ia sengaja menutup pintu Rumah dengan keras di hadapanku. “Jeduar!”. Aku langsung tersentak kaget melihat ibu membanting pintu. “Ya Allah Ibu,” batinku. Aku menjejakkan kakiku lagi meninggalkan rumah, aku melihat ke kanan dan ke kiri mencari tukang ojek tapi tidak ada Satu pun yang lewat. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki saja. Hari semakin panas, keringat mulai mengalir deras di tubuhku, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi berjalan. Kepalaku terasa pusing karena terkena panas terus-menerus dan pandanganku mulai terlihat kabur. Aku memegang kepalaku untuk menjaga keseimbanganku tapi akhirnya aku roboh juga dan tidak sadarkan diri di pinggir jalan. Beberapa orang yang melihatku pingsan langsung membawaku pergi ke klinik terdekat, dokter segera menanganiku dengan mengecek tekanan darahku juga memasang selang infus di tanganku. Aku masih tidak sadarkan diri dan di rawat di sana. Salah satu orang yang menolongku, mengambil ponselku di dalam tas. mencoba untuk menghubungi keluargaku, di lihatnya panggilan terakhir adalah nomor telepon Mas Rangga. Ia lalu menghubungi Mas Rangga. “Tut, Tut, Tut.” "Halo, Assalamualaikum Dek" jawab mas Rangga dari seberang telepon. "Maaf Pak, apa Bapak keluarga pemilik ponsel ini?" "Iya, saya suaminya. Anda siapa?" tanya mas Rangga bingung. "Saya adalah orang yang kebetulan lewat dan melihat istri Bapak pingsan di pinggir jalan," jawabnya. "Apa istri Saya pingsan! Dimana istri Saya sekarang?" Tanya mas Rangga panik. "Istri Bapak sedang di rawat di klinik Aini." "Baiklah terima kasih, Saya akan segera ke sana sekarang juga," ucap Mas Rangga lalu mematikan teleponnya. Dengan cepat Mas Rangga membereskan pekerjaannya, mau tidak mau mas Rangga harus menemui Bosnya dan meminta izin pulang cepat hari ini kepada Bosnya. Mas Rangga tidak peduli jika nanti Bosnya mengizinkannya atau tidak yang ada di pikiran mas Rangga saat ini hanya lah aku, ia sangat khawatir dengan keadaanku. Dengan perasaan ragu-ragu Mas Rangga mengetuk pintu ruangan Pak Ferdi Bosnya yang baru saja pulang setelah bertemu dengan kliennya bersama Dion. “Tok, tok, tok.” “Masuk!” terdengar suara Pak Ferdi dari dalam. Mas Rangga membuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam menemui pak Ferdi. “Ada apa?” Tanya pak Ferdi masih fokus dengan laptopnya tanpa melihat ke arah mas Rangga. “Maaf Pak, Saya mau minta izin pulang. Baru saja Saya mendapat kabar kalau istri saya pingsan di jalan,” ucap Mas Rangga. Pak Ferdi hanya diam saja tidak menanggapi Mas Rangga, ia lalu menutup laptopnya yang sejak tadi di bukanya. Pak Ferdi beranjak dari duduknya kemudian berjalan mendekati Mas Rangga. “Maaf Rangga, aku tidak bisa memberikanmu izin hari ini,” ucap pak Ferdi tersenyum licik. “Tapi Pak, Saya sangat khawatir dengan istri Saya. Sebagai gantinya Bapak bisa memotong gaji saya,” tutur Mas Rangga. Pak Ferdi kembali terdiam cukup lama, ia sengaja ingin menahan Mas Rangga agar tidak pergi menemuiku. Pikiran Mas Rangga semakin tidak tenang sebelum ia melihat keadaanku. “Pak, Saya mohon izinkan saya pulang,” desak Mas Rangga. “Rangga, kalau kau masih bersikeras untuk pulang maka kau akan aku pecat!” Ancam Pak Ferdi. “Baiklah terserah Bapak,” ucap Mas Rangga lalu keluar dari ruangan pak Ferdi. “Rangga tunggu! Kau akan menyesal dengan keputusanmu!” teriak Pak Ferdi marah. Mas Rangga tidak memperdulikan pekerjaan, ia terus melangkahkan kakinya keluar dari kantor menuju parkiran mengambil sepeda motornya. “Aaaahhh!” teriak Pak Ferdi Murka. Pak Ferdi sebenarnya tidak ingin perusahaannya kehilangan karyawan terbaik seperti Mas Rangga, tetapi karena Pak Ferdi ingin membalas perbuatanku yang sudah membuatnya malu di klub malam. Akhirnya ia terpaksa membuat Mas Rangga keluar dari kantornya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD