Bab 9 Amarah mertua

1833 Words
Mas Rangga terus mengendarai motornya secepat mungkin menuju klinik Aini, wajah Mas Rangga terlihat sangat khawatir. Ia takut sudah terjadi sesuatu yang buruk denganku. Tiga puluh menit kemudian Mas Rangga tiba di klinik Aini, mas Rangga segera memarkirkan sepeda motornya lalu berlari masuk ke dalam klinik menemuiku. “Dek, apa yang sudah terjadi denganmu?” tanya Mas Rangga panik saat melihatku tubuhku masih terbaring lemah dengan selang infus di tangan kiriku. Aku yang sudah tersadar sejak tadi tersenyum menatap wajah Mas Rangga. Mas Rangga lalu duduk di sampingku sambil menggenggam tanganku. “Aku tidak apa-apa Mas, jangan khawatir,” ucapku menenangkan Mas Rangga. “Bagaimana Mas tidak khawatir, mendengarmu pingsan di jalan Dek,” desah Mas Rangga. “Maafin aku ya Mas, sudah membuatmu cemas,” ucapku merasa bersalah. “Iya tidak apa-apa yang terpenting sekarang kau sudah baik-baik saja,” ucap Mas Rangga lega. Aku kembali menyunggingkan kedua sudut bibirku ke atas dan menjelaskan kepada Mas Rangga kalau aku pingsan sebab kepalaku pusing karena terlalu lama terkena panas dan juga kelelahan saat berjalan ke pasar. “Ya ampun Dek, kalau kau lelah kenapa pergi ke pasar kan bisa besok saja.” Mas Rangga menggelengkan kepalanya tidak habis pikir denganku. “Seandainya kau tahu Mas, kalau ibumu lah yang memaksaku,” guman hatiku. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Mas Rangga karena ibu sudah mengancamku untuk tidak mengadu apa pun kepada Mas Rangga. “Mas, aku ingin pulang,” pintaku. “Ya sudah, Mas tanya Dokter dulu ya,” sahut Mas Rangga. Aku menganggukkan kepalaku, kemudian Mas Rangga pergi menemui Dokter di ruangannya. Sesampainya di sana Mas Rangga langsung menanyakan keadaanku. “Bagaimana Dok, keadaan istri Saya?”. “Istri Anda baik-baik saja, ia hanya kelelahan dan dehidrasi saja,” jawab Dokter itu. “Syukurlah, apa istri saya boleh pulang sekarang Dok?”. “Boleh, nanti Saya akan buatkan resep obatnya.” “Baiklah, Terima kasih Dok.” “Iya sama-sama,” balas Dokter itu. Mas Rangga lalu keluar dari ruangan Dokter dan kembali menghampiriku memberi kabar kalau aku sudah boleh pulang. Tidak lama kemudian seorang Suster datang sambil membawa secarik kertas berisi tulisan Dokter dan memberikannya kepada Mas Rangga. “Ini Mas resep dari Dokter, bisa di tebus di Apotek.” “Baiklah terima kasih Sus.” Setelah menerima kertas itu, Mas Rangga lalu pergi ke bagian administrasi dan Apotek untuk menebus obat. Kemudian Suster itu melepaskan selang infus di tanganku. Lima belas menit kemudian, Mas Rangga sudah kembali sambil membawa seplastik obat di tangannya. “Dek, ini obatmu. Sekarang kita pulang ya!”. Aku menganggukkan kepalaku, lalu Mas Rangga merangkulku dan membantuku berjalan karena keadaanku masih sedikit lemah. Aku dan mas Rangga keluar dari klinik Aini menuju tempat parkir motor Mas Rangga. Mas Rangga menghidupkan sepeda motornya lalu aku naik ke atasnya. “Pelan-pelan Dek,” ujar Mas Rangga. “Iya Mas,” sahutku. Setelah aku naik ke atas motor, Mas Rangga lalu mengendarai motornya perlahan. Aku menutup mataku sambil menyandarkan kepalaku ke punggung Mas Rangga dan memeluknya, sesekali Mas Rangga mengelus tanganku yang melingkar perutnya. Aku benar-benar sangat bahagia meskipun hanya sekedar naik motor saja bersama Mas Rangga, aku sangat nyaman bersamanya tidak ada lagi yang Ku inginkan di dunia ini selain Mas Rangga. Tanpa terasa motor Mas Rangga berhenti, aku perlahan membuka mataku mengira aku dan Mas Rangga sudah sampai di rumah. Tapi ternyata kami berhenti di sebuah Cafe. “Mas ngapain kita kesini?” tanyaku bingung. “Mau makan Dek, Mas lapar tadi belum sempat makan siang di kantor,” jawab Mas Rangga. Setelah turun dari motor, Mas Rangga lalu menggenggam tanganku masuk ke dalam Cafe tersebut. “Mbak pesan Ayam geprek nya satu sama ayam biasanya satu,” ucap Mas Rangga kepada salah satu pelayan Cafe. “Iya Mas, minumnya mau pesan apa?”. “Es teh satu sama teh hangat satu.” “Baik Mas, silakan duduk,” ucap pelayan Cafe ramah. Aku dan Mas Rangga duduk menunggu pesanan kami datang, tidak beberapa lama pelayan Cafe datang sambil membawa makanan pesanan kami dan meletakkan nya di atas meja. Mas Rangga langsung menyantap makanannya, sedangkan aku tidak terlalu berselera makan mungkin karena efek aku sakit. “Kok gak dimakan Dek?” tanya Mas Rangga. “Aku gak lapar Mas,” jawabku. “Dek, kau masih sakit jadi harus makan sedikit saja,” paksa Mas Rangga. “Iya Mas.” Kemudian aku menyantap makananku. Aku ingin cepat sembuh, aku tidak mau terus merepotkan Mas Rangga nanti. Mas Rangga tersenyum senang melihatku makan. Sehabis makan aku dan Mas Rangga pulang tidak lupa kami memesan satu bungkus nasi beserta lauk ayam geprek untuk Ibu Mas Rangga. lalu aku dan Mas Rangga kembali mengendarai motor kami menuju Rumah. “Rangga tumben kau sudah pulang Nak?” tanya ibu mas Rangga begitu aku dan Mas Rangga tiba di rumah. “Iya Bu, Nisa sakit tadi pingsan di jalan,” jawab mas Rangga. “Istrimu itu memang selalu menyusahkan saja,” sahut Mertuaku sambil melirikku. “Bu, ibu tidak boleh bicara seperti itu. Nisa sudah menjadi istriku maka ia tanggung jawabku,” ucap Mas Rangga tegas. Mas Rangga lalu merangkulku dan membawaku masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Ibu Mas Rangga merasa kesal melihat mas Rangga yang perhatian padaku. “Dasar wanita malam itu, pasti ia sengaja ingin mencari perhatian putraku,” umpat mertuaku. Mas Rangga membaringkanku ke atas ranjang dan memberikan selimut untukku. Aku merasa senang melihat Mas Rangga yang begitu perhatian padaku. “Istirahatlah Dek,” ucap Mas Rangga sambil mengecup lembut keningku. Aku menutup kedua mataku dan terlelap. Mas Rangga lalu keluar dari kamar sambil menutup pelan pintu kamar agar aku tidak terbangun. “Ibu!” panggil Mas Rangga. Tetapi ibu Mas Rangga hanya diam saja, Mas Rangga lalu duduk di dekat ibu dan menepuk bahu ibu sambil tersenyum. “Ibu kenapa? Kok mukanya di tekuk gitu?” tanya Mas Rangga. “Rangga, istrimu itu Cuma pura-pura sakit, dia pasti sengaja tidak mau masak,” jawab ibu kesal. “Bu, Nisa benaran sakit. Ow ya tadi aku dan Nisa belikan ibu nasi dan ayam geprek.” “Mana sini berikan pada ibu, ibu sudah lapar.” “Tunggu sebentar ya Bu, aku ambilkan dulu.” Mas Rangga kemudian mengambil bungkusan Nasi ayam geprek dan meletakkannya di atas piring lalu memberikannya kepada ibu. “Ini Bu, tapi ibu jangan banyak-banyak ya makan sambalnya, nanti perut ibu sakit lagi,” ujar Mas Rangga. “Iya,” sahut ibu. Ibu mas Rangga lalu memakannya, sedangkan Mas Rangga pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. **** Sore hari sehabis mandi dan berpakaian Mas Rangga duduk di teras belakang sambil memejamkan kedua matanya, Mas Rangga masih memikirkan pekerjaannya jika Pak Ferdi benar-benar akan memecatnya. belum lama mas Rangga menjadi Karyawan tetap di perusahaan pak Ferdi dan kini ia akan dikeluarkan dari perusahaan itu. Ketika Mas Rangga membuka kedua matanya yang tertutup, Mas Rangga hampir saja jatuh terperanjat kaget saat melihatku berada di depannya. “Dek, kau sudah bangun?” tanya Mas Rangga. “Iya Mas baru saja. Mas sedang apa disini?” tanyaku balik. “Mas sedang memikirkan pekerjaan Mas. Ow ya Dek apa kau mengenal Pak Ferdi? Kenapa kau terlihat gugup saat melihatnya,” tanya Mas Rangga ingin tahu. Walaupun sebenarnya Mas Rangga sudah tahu kalau Pak Ferdi mengenalku, tetapi Mas Rangga ingin mendengarnya langsung dariku. Aku duduk di samping Mas Rangga sambil menatap kedua manik mata Mas Rangga lalu aku menceritakan semua apa yang terjadi waktu itu di klub malam antara aku dan Pak Ferdi. “Benarkah apa yang kau katakan Dek?” tanya Mas Rangga tak percaya. “Iya Mas,” jawabku sambil menganggukkan kepalaku. “Pantas saja begitu melihatmu wajah Pak Ferdi langsung berubah marah, bahkan ia tidak memberikan Mas izin menemuimu Dek dan mengancam akan memecat Mas jika Mas tetap pergi,” tukas Mas Rangga. “Apa! Mas di pecat?” pekikku terkejut. “Iya Dek, Mas di pecat karena Mas lebih memilih melihat keadaanmu daripada pekerjaan,” jawab Mas Rangga lirih. Akhirnya apa yang aku takutkan terjadi, Mas Rangga di pecat dari kantornya karena aku. Tiba-tiba tanpa sengaja ibu Mas Rangga mendengar semua percakapanku dengan mas Rangga saat ibu ke dapur hendak meletakkan piring kotor. “Apa Rangga kau di pecat!” teriak ibu datang menghampiriku dan Mas Rangga. Mertuaku terlihat sangat marah, Wajahnya memerah sambil menatap tajam ke arahku. “Iya Bu,” ucap Mas Rangga jujur. “Ini semua pasti gara-gara wanita malam ini,” ucap mertuaku geram. Ibu langsung menarik rambut dan tanganku lalu menyeretku ke kamar mandi, aku menangis sambil memegang rambutku yang terus di Jambak kuat oleh ibu mertuaku. “Aahh...sakit Bu!” teriakku. “Bu hentikan, lepaskan Nisa. Nisa tidak bersalah Bu,” ucap mas Rangga membelaku. “Diam kau Rangga, ibu akan memberikan pelajaran untuk wanita malam ini!” bentak ibu. Ibu terus menyeretku, begitu tiba di kamar mandi ibu mendorongku sampai terjatuh dan mengguyurku dengan Air berkali-kali. “Rasain kamu Nisa, dasar istri tidak tahu diri!” teriak mertuaku memakiku. Bibirku bergetar, air mataku terus mengalir deras menyatu dengan guyuran air. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis dan terus menangis. “Bu, sudah cukup hentikan!” bentak mas Rangga. Ibu langsung berhenti mengguyurku setelah mendengar ucapan keras dari mas Rangga. Mas Rangga terpaksa membentak ibu untuk menghentikan apa yang ibu lakukan karena ibu sudah keterlaluan padaku. Ibu yang masih merasa kesal padaku lalu membanting gayung itu ke lantai sampai pecah. “Belain aja terus istrimu itu!” seru mertuaku lalu pergi ke kamarnya meninggalkanku bersama Mas Rangga di kamar mandi. Aku masih terisak duduk di lantai kamar mandi, Mas Rangga lalu memelukku dengan erat tidak memperdulikan bajuku yang basah. Ku lihat kedua matanya berkaca-kaca, aku tahu saat ini Mas Rangga sangat sedih melihatku. Diam-diam mas Rangga menghapus sedikit air mata di sudut matanya, lalu mas Rangga melepaskan pelukannya dan mengambil handuk untuk membungkus tubuhku yang mulai menggigil kedinginan. Mas Rangga kemudian membantuku berdiri dan membuka pakaianku yang basah setelah itu mas rangga membawaku ke kamar. Aku duduk di ranjang dan masih terus menangis sesenggukan. Sementara mas Rangga mengambil bajuku di dalam lemari dan membantuku memakainya. “Dek, maafin ibu ya. Mas tahu ibu sudah keterlaluan padamu,” ucap Mas Rangga meminta maaf atas nama ibunya. “Ibu gak salah Mas, ibu benar semua ini salahku, gara-gara aku Mas Rangga jadi di pecat,” ucapku sambil menangis sesenggukan. “Enggak Dek, ini bukan salahmu. Mas tetap tidak bisa bekerja di perusahaan yang sudah merendahkan istri Mas,” tutur Mas Rangga. Aku menatap wajah Mas Rangga, aku sungguh tidak menyangka kalau Mas Rangga lebih memilih keluar dari perusahaan demi membela harga diriku. Mas Rangga kemudian menangkup wajahku, jari jemarinya menghapus lembut air mataku yang sejak tadi tidak berhenti mengalir di pipiku. “Jangan menangis lagi Dek, Mas tidak bisa melihatmu bersedih,” ucap Mas Rangga kembali memelukku dan mengecup puncak kepalaku. “Tidurlah Dek istirahat, kau masih sakit,” ucap Mas Rangga setelah melepaskan pelukannya. Aku lalu merebahkan tubuhku dan tertidur sambil menggenggam tangan mas Rangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD