Lima: Fakta

1667 Words
"Mimpi itu nggak bisa lo lepas, apalagi kalau sudah jadi bagian hidup." *** "Lo nggak pulang dulu?" Vina mengerjapkan matanya, kaget sendiri melihat Egi yang sudah duduk manis di dalam kafe. Pemuda itu masih memakai seragam, bersama segelas es kopi di depannya. Dia tak pernah menyangka, bahwa Egi akan menunggunya dari jam 4 sore sampai jam 7 malam hanya untuk sekedar 'kepo' soal Rayna. Menghilangkan kecurigaan Vina, bahwa cowok itu hanya penasaran soal masa lalu Rayna. "Sebagai informasi aja, ini es kopi ketiga gue. Beserta 1 nasi goreng dan waffle gue," ujar Egi santai, meletakkan ponselnya yang sedaritadi jadi pusat perhatiannya ke atas meja. "Besok gue bakal ngantuk berat ini." "Ya, gue kan nggak nyuruh lo nunggu juga," sahut Vina jutek, tak ingin disalahkan. Ia menoleh kearah Adrian yang sedaritadi hanya diam disampingnya. Sadar, Egi mengernyit melihat kondisi teman sebangkunya yang bisa dikatakan mengenaskan itu. "Dia mabok fisika?" tanya Egi asal, namun kembali diam saat Adrian menatapnya tajam. "Bacot lo Gi," balas Adrian dingin, memijat pelipisnya capek. "Gue mesen makanan dulu ya. Biasa, biar otaknya balik bener lagi," ujar Vina melirik Adrian, yang sedang dalam mode 'senggol-bacok-'. Egi mengangguk, menyeruput pelan es kopinya. Pandangannya menyisir seisi kafe, baru sadar bahwa pengunjung cafe ini didominasi anak SMA Praha Bakti. Sekolah yang berjarak beberapa meter dari sekolahnya sendiri, SMA Intan Taruna. "Jadi, lo tau apa?" tanya Vina setelah memesan makanan, mengabaikan Adrian yang masih melamun di sampingnya. "Maksud gue, lo udah tau apa aja?" Entah kenapa, Egi jadi berdeham membenarkan posisi duduknya jadi sedikit tegap. "Gue pernah lihat Rayna nangis liat poster Lia di mading. Itu buat gue penasaran, kenapa Rayna yang gue tau ceria bisa sesedih itu hanya karena melihat prestasi orang lain," jelasnya menceritakan kegelisahannya selama beberapa hari ini. Ah tidak, sudah berminggu-minggu malah. Vina bertatapan sebentar pada Adrian yang balik menatapnya. Gadis itu masih diam, nampaknya masih ragu untuk menceritakan soal sahabatnya itu. Bahkan ketika pelayan sudah datang mengantarkan minuman, gadis itu tetap membisu. "Rayna yang lo lihat setiap hari, itu cuman topeng," ujar Vina memecah hening di meja mereka, suaranya pelan namun bisa terdengar jelas di telinga Egi. Pandangannya terangkat, menatap lurus Egi yang benar-benar menyimak sekarang. "Dia yang sebenarnya, adalah orang yang lo liat di depan mading kemarin." "Maksud lo dia punya semacam 2 kepribadian gitu?" tanya Egi menyeletuk. Adrian berdecak, jadi bergerak menjitak Egi yang langsung mengaduh kesakitan. "Lo pikir ini kaya drama, apa?"sindir Adrian kesal sendiri. "Ini emang sedrama itu." Ucapan Vina sontak membuat Adrian bungkam, berdecak melihat tatapan mengejek Egi. Sadar bahwa kedua pemuda di dekatnya itu akan beradu pendapat, Vina bersandar pada kursi menatap keduanya kesal. "Lo berantem sama Adrian, gue balik." "Mamp-" "Lo juga bisa diem nggak Dri?" sahut Vina dingin, kembali membuat Adrian menutup bibirnya rapat. Ia kembali memandang Egi, kembali serius pada topik pembicaraan mereka. "Mau gue ceritain mana dulu?" tanya Vina mengacungkan 3 jarinya ke hadapan Egi. "Bully,bulimia, sama body shaming. Mau yang mana dulu? Itu yang Rayna alamin, kalau lo mau tau." *** "Nanti nebeng Vina ya." Rayna membulatkan matanya, urung membuka kaitan helmnya. Ekspresinya berubah galak, menatap sebal cowok yang hanya menyengir lebar di balik helmnya. "Lo mau kemana adikku sayang?" tanyanya dengan nada manis namun tetap melotot. Illio melunturkan senyumnya, memasang wajah datar. Tak ingin kalah dari sang kakak, yang hanya beda beberapa bulan dengannya itu. Bahkan dia satu tingkat dengan Rayna sendiri. "Gue mau ngajak jalan Syahla nanti. Udah janji gue sama dia." Rayna mendengkus, namun jadi mengangguk. Dia memang tak bisa melarang, mengingat pacar Illio sudah berusaha keras menjadi putri sekolah agar dapat sebanding dengan Illio si juara satu pararel sekolah. Ciri-ciri kaum bucin yang sama seperti Vina dan Adrian. "Nanti gue bawain piscok kesukaan lo deh," ujar Illio mengacak rambut Rayna, sebelum menstarter motornya kembali,. "Udah ya, langsung pulang jangan kelayapan." pesannya lagi sebelum melajukan motornya meninggalkan sekolah Rayna. Tak sadar bahwa kehadiran murid SMA Praha Bakti itu, cukup menjadi pusat perhatian di pagi ini. "Eh itu tadi Illio anak Praha Bakti kan?" "Bukan kayaknya deh." "Tapi itu motornya dia banget." Rayna mendengkus, memilih menyumpal telinganya dengan earphone. Meredam kata-kata orang lain mengenai sang adik sebelum muncul perkataan aneh lain. Sampai sekarang, Rayna masih belum bisa menghadapi omongan orang lain. Walaupun itu bukan ditunjukkan untuknya. Lebih tepatnya Rayna takut. Siapa yang tau bukan, kalau suatu saat omongan-omongan itu akan balik menyerang dirinya lagi. *** Srek Rayna mendongakkan kepalanya, mengernyitkan dahi melihat sekantong plastik bermerek minimarket yang ia kenal. Masih dengan wajah mengantuk, Rayna mengerjap menatap bingung si pelaku penaruh kantong yang kini duduk di depannya. "Ini apa?" tanya Rayna melepaskan earphone yang ia kenakan. "Gue beli kelebihan" jawab Egi enteng, belagak tak peduli dan fokus pada ponselnya sendiri. "Buat lo." "Wah, makasih Egi," sahut Rayna riang, mulai mengubek-ubek kantong plastik di depannya. Tak sadar bahwa Egi menatapnya dengan kernyitan di dahi. "Lo bukannya lagi marah sama gue?"ujar Egi melirik Rayna bingung. Cowok itu tertawa pelan saat teman sekelasnya itu jadi melengos dan menghentikan gerakannya. Senang dia tuh, karena Rayna nggak hindarin dia lagi. Kalau tau makanan bisa buat Rayna negur dia dan nggak ngehindar, mungkin dari kemarin Egi udah kayak gini. "Lo juga udah tau gue marah, ngasih makanan, mau nyogok biar gue nggak marah atau gimana?" balas Rayna sengit, yang dibalas kekehan kecil dari Egi. "Ini terlalu banyak untuk ‘kelebihan’." "Tapi habis kan sama lo?" tanya Egi balik, tangannya meraih sekaleng kopi dan mulai berseru heboh. "Woy Roy! Bantuin gue dulu disini!" pekiknya heboh, memberi arahan pada Roy yang duduk berjarak 4 meja darinya. Rayna melirik sekilas layar ponsel Egi, hanya bisa mendesah malas melihat permainan Egi. Apalagi kalau bukan permainan ponsel yang kerap dimainkannya. Ia yakin, beberapa menit lagi akan terdengar u*****n dari pemuda di hadapannya itu. "WOY AN-" Tiba-tiba sebuah roti menyumpal mulutnya sebelum mengeluarkan u*****n, siapa lagi pelakunya kalau bukan Rayna. Gadis itu memasang wajah malas, sebelum melahap kembali roti coklatnya. Menendang sedikit kaki Egi dari bawah meja, untuk memberi peringatan bahwa dia tak suka mendengar u*****n sekarang. Egi sendiri cuman bisa menurut, mengunyah pelan sobekan roti di mulutnya. "Udah tau belum ada restoran baru di jalan utama?" tanya Egi masih dengan mata fokus pada ponsel. "Makanan korea tuh, murah katanya." "Semurah apa?" Rayna mengigit kecil-kecil rotinya, dengan tangan beralih meraih s**u strawberri di dalam plastik setelah s**u mokanya habis. "Terakhir kali lo bilang murah, tteobokki aja harganya 65 ribu. Standar murah lo sama murah gue beda." "Murah seriusan, baru opening soalnya," sahut Egi yakin. "Kalau duit lo kurang nanti gue yang bayar. " Rayna langsung bertepuk tangan heboh. "Seperti yang diharapkan, bos besar kelas," sahutnya dengan nada sedikit mengejek. "Sama siapa aja?" "Kita berdua aja." Egi mengalihkan tatapannya, menatap Rayna dengan senyum lebar. "Tenang nanti pulangnya gue anterin juga." Rayna diam sejenak, menimang-nimang apakah dia harus setuju atau tidak. Dibanding menumpang Vina dan harus jadi obat nyamuk ataupun naik ojek online yang lumayan mahal. Sepertinya lebih baik dia nebeng Egi saja, hitung-hitung mengganti waktu sharing K-pop mereka yang sempat terhenti. Dia juga udah nggak sabar, ceritain teori K-pop yang baru ia baca di twitter. "Yaudah." *** Egi menggaruk tengkuknya yang tak gatal, bingung sendiri bagaimana memulai pembicaraan. Sejak mereka berdua sampai ke restoran, tak ada pembicaraan lain selain K-pop. Padahal tujuan Egi mengajak Rayna kesini kan, untuk bicara empat mata dengan gadis itu. Ajaibnya, Egi seolah lupa dan larut akan topik yang diberikan Rayna sedaritadi. "Ray,"panggil Egi pelan, tepat ketika Rayna memasukkan potongan terakhir Kimbap ke dalam mulutnya. Menjadikan piring-piring di atas meja sudah kosong melompong sekarang. Gadis di depannya mengerjap pelan, menunggu ucapan selanjutnya dari Egi yang tak kunjung terucap. "Gue udah tau soal lo." Egi mengatakannya ragu, takut salah berbicara dan Rayna akan marah lagi padanya. “Soal gue cantik?” balas Rayna dengan nada bercanda, mengerjapkan matanya beberapa kali dengan maksud menggoda. Namun, melihat ekspresi Egi yang begitu serius membuat Rayna berpikir apa maksud perkataan pemuda itu. Kunyahan Rayna terhenti ketika menyadari sesuatu, matanya langsung sedikit menyipit memberikan ekspresi datarnya. Cukup lama gadis itu membeku, sebelum akhirnya meletakkan sumpitnya kasar dan kembali mengunyah. Untuk pertama kalinya, Egi sadar bahwa Rayna berkali-kali lipat menyeramkan sekarang. "Kenapa sih lo penasaran banget sama urusan orang?" tanya Rayna dingin, benar-benar marah sekarang. "Gue udah bahagia sekarang tanpa orang lain tau, tapi kenapa lo masih keras kepala sih?"lanjutnya tak tau bahwa Egi mengetahui kalau gadis itu berbohong. Menatap mata Rayna saja, dia menyadari ada banyak emosi yang ditahannya. "Lo cuman pura-pura, keliatan tau gak? Sangat jelas,"balas Egi sedikit kesal. "Lo harus berhenti takut buat nulis lagi, itu mimpi lo dan omongan orang nggak bisa memengaruhi lo seharusnya." "Kalau lo nggak tau kisah gue pun, lo nggak bakal tau kalau gue pura-pura kan?" ujar Rayna berhasil membuat Egi terdiam. Gadis itu menipiskan bibir, sedikit mendongakkan matanya ketika menyadari bahwa air mata sudah akan jatuh dari pelupuk matanya. Kilasan balik dirinya di masa lalu berputar di otak, dan itu menyiksanya. Egi terdiam, segala argumennya tertahan di lidah. Ucapan gadis itu ada benarnya juga, kalau saja Egi tak melihat Rayna menangis hari itu dia takkan pernah bergerak sejauh ini. Dia takkan pernah tau bahwa perempuan yang selalu ceria di kelasnya, nyatanya pernah jadi korban bully hingga mengubur mimpinya dalam-dalam. Namun, Egi juga tak bisa menampik bahwa dia tak ingin Rayna yang sudah ia anggap sebagai teman menyimpan lukanya sendiri. Kalau saja gadis itu tau, betapa asingnya perasaan Egi saat ini. Menyadari setiap tawa dan senyuman Rayna yang kerap ia perhatikan, tak pernah berasal dari dasar hatinya lagi. "Gue mau pulang," ucap Rayna pelan,setelah mengontrol dirinya agar tak menangis. Walaupun, Egi bisa melihat samar pundak gadis itu bergetar. Egi menghela napas, mengambil tasnya di kursi sebelahnya lantas menyusul Rayna yang sudah beranjak keluar restoran. "Ray," panggil Egi, sebelum Rayna benar-benar sampai di dekat motornya. Gadis itu berbalik menatap Egi datar, tak sadar bahwa tatapannya membuat ucapan Egi lagi-lagi tertahan di lidah. "Gimana kalau gue bantuin lo balikin kepercayaan diri lo lagi?" Untuk kesekian kalinya Rayna menghela napas, lantas mengusap wajahnya kasar. "Gue udah bil-" "Sepuluh hari,kasih gue sepuluh hari buat yakinin lo raih mimpi itu lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD