Empat: Pemaksaan

1764 Words
"Mereka yang bertahan disisimu apapun yang terjadi adalah harta paling berharga.” **** "Piket yang bener, belum bersih itu." Vina mendengus, dengan bibir manyun menurut. Semakin kencang mengepel lantai, meluapkan emosinya karena sedaritadi Tere protes akan kerjanya. Sekalian merutuki teman-temannya yang dengan tak tau diri, melewatinya begitu saja dengan sepatu yang masih dikenakan. Lagian kenapa sih dia harus kalah hompimpa dari yang lain, sehingga dia yang harus mengepel seperti ini. "Kurang bersih itu," ledek Egi, seraya mengangkat kakinya ke atas kursi. Cowok itu menunjuk-nunjuk bawah mejanya, menunjukkan lantai yang memang belum dipel Vina. "Yang bener dong." "Hih! Emang belum kelar!" pekik Vina tak tahan lagi, cewek itu mengangkat tangannya hendak menjambak Egi namun dengan cekatan dihindarinya. "Kalau nggak puas mending pel sendiri." "Galak banget," gumam Egi kembali fokus pada ponselnya. "Heran, kok Rayna bisa reda nangisnya gara-gara lo ya?" Gerakan Vina terhenti. Langkahnya yang sudah hendak beranjak ke bangku depan, kembali tertahan. Gadis itu menelan ludah, melihat sekitarnya lantas memandang Egi menyelidik. "Kok lo tau Rayna bisa reda nangisnya karena gue?" Sadar kalau sudah keceplosan, Egi ikut menoleh membalas tatapan Vina yang sudah menajam. Melupakan fakta ketika ia menyusul Rayna yang sedang menangis, malah menemukan gadis itu sudah lebih tenang dengan Vina yang menepuk-nepuk pundaknya. "Lo tau darimana Rayna nangis? Seinget gue, dia nggak pernah nangis di depan anak kelas. Kecuali lo ngeliat ketika nggak ada anak kelas" Seolah menyadari sesuatu, punggung Vina jadi menegak. Lantas tersenyum miring, "Jadi ini alasannya?" "Apa?" balas Egi dengan suara rendah, tak ingin Tere yang sudah melihat mereka curiga untuk mendengar. "Iya, gue lihat Rayna nangis pas lo nyariin dia waktu itu." Egi menjawab pertanyaan tak tersirat dari Vina. Vina mendengus, sedikit mengusap wajahnya ketika sadar bahwa dia terlalu banyak menunjukkan emosi. "Rayna nggak papa serius." "Apa salahnya sih gue tau dia kenapa?" Egi mengernyitkan dahi, bingung sendiri akan sikap Vina yang menurutnya aneh. "Mungkin aja gue bisa bantuin lo setiap dia kayak gitu, kalau masalahnya emang berat kalian nggak bisa sembunyiin berdua aja. Harus ad-" "Dengan semua orang tau, memang itu bisa menyelesaikan masalah?" Egi bungkam, diam saja ketika Vina memijat pelan pangkal hidungnya. Pusing sendiri. " Lo cuman penasaran alasan dia nangis, bukan benar-benar ingin bantu." "Kalau gue beneran ingin bantu gimana?" Vina tersenyum sinis, menggeleng pelan sebagai isyarat bahwa dia tak lagi ingin berdiskusi. Cewek itu berbalik, kembali melanjutkan tugasnya. Meninggalkan Egi yang berdecak kesal dibuatnya. *** "Ray! Ayo nyanyi Blackpink kita!" Egi yang awalnya terfokus pada buku cetaknya jadi menoleh. Teralihkan perhatiannya yang semula hendak menyusun materi presentasi, ke keributan yang sedang terjadi di depan kelas. Di sana sudah ada Rena, dan Nayla yang bersiap untuk menari mengikuti irama dengan Uti yang seperti biasa hanya menjadi pengacau gerakan. Di pojok kelas, Rayna yang sedang bersandar pada dinding seraya memainkan hp yang sedang dicas menoleh kaget. Tak lama, ia menggeleng dengan cengiran khasnya. Menolak mentah-mentah ajakan Uti, dan menyebabkan gadis itu mengernyit bingung. "Loh Ray! Kenapa?!" Gadis itu tak menjawab hanya tertawa lebar, apalagi ketika Uti sudah ditarik Nayla untuk mengikuti gerakannya. "Kalian aja udah!" Gelagat Rayna membuat Egi menipiskan bibir, menahan dirinya untuk tidak menanyakan lagi kenapa gadis itu. Sudah cukup ia diingatkan oleh Rayna bahwa mereka hanya teman sekelas. Jadi, kalau gadis itu tak mengatakan apapun padanya berarti Egi memang tak seharusnya ikut campur. Walau Egi sadar betul bahwa ia dibuat gregetan dengan sikap Rayna yang berubah belakangan ini. "Woy Gi! Jangan melamun!" Egi tersentak, meringis sendiri akan tindakan Roy yang menepuk pundaknya keras. Cowok itu memasang senyum meledek, kembali fokus pada tugasnya mencari materi presentasi. Sadar bahwa diperhatikan, Egi menoleh ke depan bertatapan langsung dengan Vina yang juga balik menatapnya. Vina mendengus, kembali sibuk mengetik. Ternyata, bukan Egi saja yang sadar bahwa Rayna memang berubah. *** "Vin, nggak capek?" Rayna menggembungkan pipinya dengan dagu menempel di atas meja. Di hadapannya Vina sedang sibuk memindahkan catatan dari hapenya ke buku tulis. Bahkan kwetiaw kuahnya jadi mendingin, karena dibiarkan saja sedari tadi. Sahabat Rayna itu, terlalu fokus dengan materi-materi biologinya. "Ini materi bisa buat nambah poin. Gue nggak mau perjuangan selama ini sia-sia," balas Vina dingin, fokus seutuhnya pada pekerjaannya. Sekolah mereka memang menerapkan sistem poin dalam menyeleksi tim OSN nanti. Setelah menyeleksi beberapa murid, sekarang diseleksi lagi berdasarkan poin dan peringkat. Jujur saja, Vina sudah susah payah hingga dirinya masuk 3 besar selama ini. Berbanding terbalik dengan pacarnya, Adrian, cowok itu sudah masuk ke dalam tim karena lolos sampai tahap Provinsi sebelumnya. Membuatnya otomatis masuk kembali menjadi perwakilan sekolah. Rayna menghela napas, menyingkirkan piring nasi gorengnya yang sudah kosong. Tangannya bergerak meraih mangkuk kwetiaw, menggulungnya dengan garpu sebelum disorongkannya pada Vina. Sebagai teman sejak kecilnya, Rayna tau betul kalau sahabatnya itu tidak akan makan sampai pekerjaannya selesai. "Lo tuh ya suka banget telat makan," omel Rayna setelah Vina melahap suapannya tanpa protes. "Kalau sampai maag kayak gue, gantian gue yang ketawain lo nanti." "Kok jahat omongannya?!"sahut Vina tak terima, gerakannya menulis terhenti seketika. Rayna balas melotot, tak takut akan tatapan dingin yang diberikan Vina. Udah nggak mempan, buat dia tatapan itu. Vina mendengus, meraih kembali mangkuknya dan mulai makan sendiri. "Lo mah nakutin." Tangan Rayna bergerak menutupi buku-buku di depannya, menjaga tak ada cipratan kuah yang bisa saja m*****i buku nanti. "Terus nanti lo tetep tes juga, setelah dapet soal setumpuk dan rangkuman?" tanyanya yang memang sudah hapal dengan jadwal Vina saking seringnya ia merengek capek pada Rayna. "Lo masih belum ngobrol sama Egi lagi?" Alih-alih menjawab pertanyaannya, Vina malah bertanya hal lain. Sebagai pengamat kelas, dia sadar betul kalau Rayna dan Egi sedikit menjaga jarak sekarang. Apalagi keduanya sudah jarang ngehype bareng soal hal berbau Korea. Padahal biasanya, Vina akan mendapati keduanya duduk berhadapan dengan memakai satu earphone berdua. Menonton video korea dan tertawa sendiri. Gara-gara mereka berdua juga, Vina jadi suka K-Pop sekarang. Oke, ayo kita balik lagi ke kedua sahabat itu. Rayna seolah sengaja mengantungkan pertanyaan Vina. Alih-alih menjawab gadis itu justru asyik mengigit-gigit sedotan plastiknya, tak memperdulikan fakta kalau dia akan kesusahan minum Bubble Pop Ice nya yang masih tersisa banyak. "Gue nggak mau dekat sama orang selain lo lagi ah.” Vina mengernyit dalam, sedikit tak paham maksud Rayna. "Ray, kita udah bahas ini sebelumnya loh. nggak ada yang salah dengan terbuka soal-" "Gue nggak mau," potong Rayna datar, jadi memainkan sedotannya. Sesekali tersenyum menjawab sapaan adik kelas yang melewati meja mereka. Ia terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengulas senyum kecil. "Kalau gue dihakimi kayak dulu gimana?" Vina diam, kehabisan kata-kata. Setelah 2 tahun mereka lulus, kenangan itu masih membekas di otak Rayna sampai sekarang. Jujur saja, Vina tak suka melihat Rayna seperti ini. Terlihat terbuka dengan topeng cerianya di hadapan orang lain. Namun, sebenarnya tertutup tanpa orang lain sadari. Dia hanya ingin Rayna kembali bahagia tanpa berpura-pura. *** "Yaudah gue duluan ya." Vina mengangguk, tersenyum kecil melihat Adrian berlari kencang menuju ruko di ujung deretan. Sekolahnya memang memberikan pembinaan di tempat les, yang kebetulan memang milik wakil kepala sekolah mereka. Namun bedanya, Vina di ruko kedua dan Adrian di ruko pertama tempat les tersebut. Terpisahkan beberapa ruko lain. Vina mendudukkan dirinya di kursi depan kelas, tersenyum kecil kearah peserta pembinaan lain yang berasal dari kelas berbeda-beda. Tangannya bergerak membuka tas kecilnya, berniat untuk membaca ulang materi yang sudah ia rangkum sejak kemarin. Mata gadis itu membulat, ketika melihat tak ada buku besarnya dan map berisikan kertas catatan. Panik, Vina langsung membuka tasnya sendiri. Berdoa mati-matian bahwa bukunya itu tak tertinggal di sekolah. Namun sepertinya, ini hari buruknya. Ia tak mendapati sama sekali buku itu. Gadis itu menghela napas, menenangkan dirinya yang mulai panik. Pertama, mari menghubungi Adrian bisa saja cowok itu tak sengaja membawa bukunya kan? Pemikiran itulah, yang membuat Vina secepat kilat mengirimkan pesan pada sang kekasih. Vina: Buku sama map gue kebawa lo nggak? Adrian: Kagak, kenapa emang? Vina: Berarti ketinggalan :) Vina: Poin gue meluncur jatuh dong... Adrian: Minta guru lo ngasih waktu pengumpulannya pas pulang. Adrian: Nanti gue ambilin. Adrian: Udah gue pembinaan dulu. Vina menggeram pelan, mengacak rambutnya frustasi. Tak enak juga merepotkan Adrian, walaupun pemuda itu juga pasti tak keberatan. Sebagai sesama pasangan bucin, tindakan Adrian tuh sudah jadi hal lumrah dimata Vina. Namun tetap saja, keteledorannya jadi bikin repot orang lain. Baru saja Vina hendak membalas jawaban pada Adrian, tiba-tiba sebuah panggilan masuk muncul di layar ponselnya. Ia mengernyit sesaat melihat nama Egi di layar, bingung kenapa Egi sampai menelponnya. Urusan sepenting apa yang buat cowok paling males ngomong di kelasnya sampai menelpon? "Hal-" "Buka block Line gue anjer." Vina membulatkan matanya, menatap layar ponselnya kaget. Ia berdecak, namun menuruti ucapan Egi. Gadis itu membuka blokiran Line Egi yang tak sengaja pernah ia lakukan saat kelas 10, tentu masih dengan rasa penasaran di otaknya. Vina: Kenapa? Egi: Keluar, gue dpn tmpt les. Vina: Maaf nih Gi, kelas gue mau mulai Vina: Nggak usah belagak, kayak di cerita goals-goals gitu deh. Vina: Gue nggak bakal tersentuh, lo bukan Adrian soalnya. Egi: Bngst. Egi: Yaudah, buku dan map lo gue buang. Sontak Vina membulatkan mata, lantas berlari kencang keluar. Tak memperdulikan tatapan aneh peserta pembinaan lain. Benar saja, ketika keluar Vina langsung mendapati Egi yang duduk merengut di atas motornya. Cowok itu mencibir singkat, sebelum mengeluarkan buku dan map dari dalam tasnya yang sontak membuat Vina memekik riang. "MAKASIH EGI!!" Egi mendengus, tak mengatakan apa-apa bahkan ketika Vina sudah mencubiti pipinya gemas. "Sumpah, sumpah lo penolong gue hari ini.,"seru Vina riang, memeluk barangnya dengan erat. "Makasih ya." "Itu nggak gratis." Vina langsung memasang raut wajah datar, balik menatap Egi yang tersenyum lebar. Ia menunjuk Egi kesal. "Pokoknya gue nggak bakal cerita ya Gi." Egi tergelak, mengangguk paham. "Santai, gue bercanda." Ucapan Egi sukses membuat Vina menipiskan bibir, terdiam. "Kan kita teman, gue mah nggak masalah direpotin kok." “Sebenarnya nggak masalah loh nyeritain masalah Rayna ke orang lain. Siapa tau kan, dia bisa ngelakuin sesuatu yang nggak bisa lo lakuin.Ceritain garis besarnya aja, detailnya baru biarin Rayna yang cerita.” Entah kenapa perkataan Adrian tempo hari, mendadak terngiang di kepala Vina. Kala itu ia menanyakan, apakah tak apa jika Vina memberi tau masalah Rayna. Sejujurnya ia benar-benar berharap ada seseorang yang dapat merubah Rayna seperti apa yang ia ingat. Seseorang yang begitu bahagia dalam dunia imajinya. Bukan seseorang yang terus-terusan tertawa palsu. Bersamaan dengan itu ucapan pesimis Rayna tadi, jadi terngiang di otaknya pula. Sepertinya untuk beberapa hal, dia harus mengambil langkah sendiri. Mungkin saja Egi bisa jadi tempat bersandar Rayna selain dirinya kan? "Gi," panggil Vina, setelah Egi menstarter motornya. "Jam 7 nanti, gue tunggu di kafe sana," ujarnya menunjuk salah satu kafe di deretan ruko. Egi menaikkan sebelah alisnya, tak paham akan maksud Vina. "Gue bakal ceritain soal Rayna ke lo."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD