Enam: Bersiap

1669 Words
"Kadang seseorang hanya perlu bersembunyi di balik selimut untuk menjatuhkan kita." **** "Pulang sama siapa lo tadi?" Illio menatap Rayna yang baru masuk rumah dengan wajah tertekuk. Cowok itu menaruh helmnya di atas meja, mengambil alih mangkuk soto ceker yang hanya dianggurkan saja sedaritadi. Rayna masih terdiam, entah terlalu fokus dengan drama korea di televisi atau pikirannya sedang melalang buana entah kemana. "Mah, ada nasi nggak?" teriak Illio membawa mangkuk sotonya ke dalam dapur, menghampiri sang ibu yang masih berkutat di sana. Rayna mendengus, membiarkan saja Illio yang sudah berseru heboh melihat makanan yang dibuat ibunya. Sepertinya pemuda itu tak sadar bahwa hari ini hari ulang tahunnya, karena selanjutnya ia bisa mendengar Mamanya berseru heboh. "RAYNA! KOK ILLIO DIBIARIN KE DAPUR?!" Suara tawa Illio yang terdengar, membuat Rayna menarik senyum tipis. Ia lantas meringkuk di atas sofa panjang yang didudukinya. Tak lagi mendengarkan omelan ibunya, yang kesal karena kejutannya untuk Illio terbongkar. Rayna meraih ponselnya, memandangi sebuah room chat yang kosong melompong. "Woy! Ayo makan!" Rayna berjengit, ketika Illio dengan seenaknya mendorong tubuhnya agar menjadi duduk. "Nggak, gue masih kenyang," tolaknya mentah-mentah, kembali pada posisi rebahannya di sofa lain. "Lo kenapa sih? Loyo banget, udah kayak boneka mampang-WOY!" Sebuah bantal sofa yang mendarat ke kepalanya tiba-tiba, berhasil membuat Illio terkejut. Untungnya ia cukup cepat menghindari timpukan bantal itu sehingga tak terkena soto di tangannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Rayna yang sudah tertawa kencang. "Mampus," sahut Rayna kegirangan. "Gue lagi ulang tahun loh, malah dilempar," sungut Illio mengusap kepalanya yang sedikit pening. Pemuda itu diam lagi, mulai melahap soto di tangannya. Tak berniat mengganti seragamnya dahulu. Rayna memeluk bantal sofa, menatap langit-langit rumahnya yang bercat krem. Kembali teringat kesepakatannya dengan Egi beberapa jam lalu. Ia berdecak, menguburkan wajahnya ke bantal lantas berteriak histeris, yang sukses membuat Illio tersedak kuah sotonya. "AH GUE UDAH GILA!" *** "Udah semua?" Rayna mengangguk, memasukkan kaki seribu kedalam toples wadah. 11 Ipa 4 memang baru saja menyelesaikan praktik biologi mereka, pernapasan pada serangga. Kalau umumnya hewan yang dipake adalah belalang ataupun jangkrik, beda lagi dengan guru mereka. Beliau malah meminta praktik dengan hewan berbeda-beda tiap kelompok, mulai dari kelabang, kaki seribu, kecoak batu, hingga nyamuk. "AH! NOVI!!" Pekikan itu membuat Rayna menoleh, menipiskan bibir melihat Uti yang sudah heboh sendiri. Gadis itu terus berlarian mengelilingi laboratorium, untung saja tak ada barang pecah belah di dekat mereka. Kalau iya, mungkin sudah banyak barang pecah karena kelakuannya. Novi tertawa kencang, mengacung-acungkan kecoak batu yang ia pegang menggunakan penjepit. Tak sadar tindakannya itu bukan hanya membuat Uti ketakutan, tetapi juga teman sekelasnya yang lain. Salahkan saja Pak Asep yang malah memilih murid perempuan untuk praktek di lab, sementara sisanya di dalam kelas karena praktek tanpa menggunakan hewan. "Hih, Rayna!" goda Novi, mengacung-acungkan kecoak batu tersebut ke depan mata Rayna. Bukannya mendapatkan teriakan ketakutan seperti temannya yang lain, Novi justru dibuat kaget oleh temannya yang satu itu. Rayna dengan berani memegang kecoak batu itu langsung dengan tangannya yang masih terbalut sarung tangan. Rayna berbalik, menatap teman-temannya yang memasang ekspresi horror. Apalagi ketika Rayna justru mengelus hewan itu sembari tersenyum. Vina membulatkan matanya, mengacungkan sapu ditangannya ketika sahabatnya itu sudah beranjak mendekatinya. "Lo maju, mati sama gue," ancamnya sedikit melotot. "So,then i die." "HUAA RAYNA!!" *** Seisi kelas 11 Ipa 4 lagi-lagi riuh. 2 jam terakhir Biologi memang sengaja dikosongkan, karena mereka praktik tadi mengambil jam istirahat. Ada yang langsung mengolah data praktek, makan, ataupun bergosip. Kalau biasanya, murid cowoknya akan larut dengan permainan game milik mereka masing-masing kali ini berbeda. Sesuai dengan pesan mereka, 2 belalang yang dijadikan bahan praktek tadi sengaja tidak di buang. Kini mereka justru asyik bermain dengan Kipli dan Joger, dua belalang tersebut. Bahkan mereka sempat-sempatnya memetik daun, dan memberikannya kepada kedua belalang yang sudah diumumkan sebagai hewan peliharaan kelas. Kalau kata Roy sih, kasihan lucu-lucu kayak gitu dibuang mending dipelihara aja. Perkataan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh yang lain. "Kipli nggak gigit, Ter. Coba deh pegang," bujuk Andy menyorongkan belalang hijau, si Kipli- ke arah Tere. Gadis itu menggeleng, semakin mengacungkan pengki yang ia pegang sebagai tameng. "Pergi Andy!" usirnya kesal. Rayna tertawa melihatnya, kembali fokus pada bekalnya yang sedang ia habiskan. Ia sedikit mengernyit ketika Egi sudah beralih duduk di sebelahnya, sesekali tertawa melihat kehebohan kelas karena tingkah usil mereka menakut-nakuti para penakut serangga. "Ngapain?" tanya Rayna ketika Egi jadi fokus kepadanya. Cowok itu tersenyum lebar, merogoh kantung jas almamaternya. "Mau coklat?" Rayna mengerjap, melihat satu bungkus kecil coklat yang disorongkan Egi padanya. "Lo nggak liat gue lagi makan nasi?" tanya Rayna balik, menunjuk bekalnya yang berupa nasi dengan ayam balado. Kan tidak mungkin dia makan coklat, kalau lagi kayak gini. "Yaudah kalau nggak mau." balas Egi cuek membuka bungkus coklatnya. Namun gerakannya terhenti ketika Rayna justru bertanya. "Itu coklatnya less sugar?" "Emang ada?" tanya Egi balik, yang hanya dibalas gelengan kecil Rayna. Gadis itu tersenyum meledek, sebelum memakan bekalnya kembali. "Udah makan aja, gue udah banyak makan hari ini." "Bukannya lo baru makan bekal doang ya?" Rayna mengangguk, masih dalam kondisi mengunyah. "Iya, tapi porsinya banyak." jawabnya santai setelah makanannya ditelan. Menyadari wajah bingung Egi, gadis itu mencibir. "Lo bukannya udah tau masa lalu gue ya?" Egi mengangguk, mencoba mengontrol ekspresi wajahnya. "Tapi,kata Vin-" "WOY REZA!!" Suara pekikkan itu sontak memotong ucapan Egi, keduanya menatap ke depan kelas. Di sana, sudah ada Arya yang berdiri membatu sembari memejamkan mata. Reza sudah tertawa terpingkal-pingkal di belakang badan pemuda itu, sembari menunjukkan belalang yang masih ia pegang. "ZA! LEPASIN BELALANGNYA DARI BADAN GUE!"pekik cowok itu ketakutan jadi memeluk Adrian yang berdiri di sebelahnya. Ketika ia berbalik, semakin pecahlah tawa anak kelas. Padahal yang berada di seragamnya bukanlah belalang melainkan sebuah jepit rambut berwarna biru. "ZA! GUE TAKUT BELALANG!" teriak Arya lagi. Rayna dan Egi tertawa terpingkal-pingkal, bahkan Egi sudah menjadi sasaran empuk gadis itu untuk dipukul. Kebiasaan Rayna setiap tertawa, memukul orang di dekatnya tanpa sadar. Tawa Egi reda lebih dahulu, jadi fokus ke Rayna yang masih tertawa karena Arya malu sendiri ketika tau bahwa di belakangnya hanyalah sebuah jepit rambut. "Sumpah, nggak ngerti lagi gue,"seru Rayna heboh,memegangi pipinya yang sakit akibat tertawa. "Tadi harusnya lo video in itu, eh tapi lo ngapain ngeliatin gue gitu." Alih-alih menjawab, Egi malah mengeluarkan ponselnya dan kembali bergabung dengan teman sekelasnya yang sibuk mengerjai Arya. Meninggalkan Rayna yang bingung sendiri, tanpa tau bahwa Egi tersenyum lebar. Menahan rasa senang melihat Rayna tertawa seperti tadi. *** Rayna menggembungkan pipinya, menunggu Egi yang tak kunjung keluar dari ruang OSIS. Cowok itu sedang izin dengan sang ketua, agar tidak ikut rapat hari ini. Mengingat dirinya adalah ketua tim disiplin, dan itu jelas posisi yang amat penting di organisasi. "Rayna!" Rayna menoleh, namun menyesal secepatnya ketika tau siapa yang memanggil. Ia menarik sudut bibirnya, memberikan senyum terpaksa ketika 2 orang yang amat sangat ia kenal berjalan mendekat. Rasanya tubuh Rayna langsung membeku, ingin pergi namun tak bisa. "Hai Lia, Adel." Kedua gadis itu langsung mengambil posisi duduk di samping Rayna. Menjadikan Rayna duduk diapit oleh kedua gadis itu. "Wah udah lama ya kita nggak ketemu, gara-gara beda jurusan. Lo sama Vina apa kabar?" "Yah,baik kok," jawab Rayna pendek, berharap Egi secepatnya kembali dan membawanya pergi dari kedua orang yang membawa kembali kenangan buruk baginya. "Oh iya Ray! Mumpung gue inget." Lia menjentikkan jarinya, dengan senyum tertahan membuka tas kecil yang ia bawa. "Nih, n****+ kedua gue. Di baca ya," ujarnya riang meletakkan sebuah n****+ ke atas pangkuan Rayna. "Nggak-" "Lo mau nolak pemberian gue?" Penolakan Rayna langsung tertahan di lidah, sedikit melirik Lia yang masih mempertahankan senyuman. Pasalnya, perempuan itu mengatakannya sedikit kencang hingga menarik perhatian beberapa murid di dekat mereka. Rayna menghela napas, menerima n****+ itu sebelum orang-orang berpikir buruk soalnya. Bagaimanapun di mata mereka, Rayna termasuk orang beruntung dapat n****+ gratis dari Lia. "Ray, ayo pulang." Rayna mendongak, mendapati Egi sudah berdiri di depannya. Cowok itu menarik tangannya, sedikit mengangguk singkat kearah Adel dan Lia sebelum mengajak Rayna pergi. Atau lebih tepatnya, mengajak Rayna kabur dari situasi yang membuatnya tak nyaman. " Sini bukunya." Egi menarik buku di tangan Rayna saat mereka sudah sampai di parkiran. Cowok itu membuka tasnya, menjejalkan buku tersebut dalam tasnya yang penuh. Tak peduli bahwa buku itu bisa saja tertekuk bahkan sobek. "Lo juga nggak usah nangis." Menyadari bahwa airmatanya hendak jatuh membuat Rayna menggigit bibir, meremas roknya ketika lagi-lagi kilasan masa lalunya bermunculan di kepala. Ia cuman bisa menunduk,berusaha mengontrol dirinya yang mulai bergetar. Egi menghela napas, meraih helm putih yang tergantung di stang motornya. Helm milik sang kakak, yang sengaja ia pinjam untuk hari ini. "Semakin lo nangis, dia semakin merasa paling hebat," ucap Egi mengingatkan, seraya memasangkan helm tersebut di kepala Rayna. "Hari ini lo cuman boleh fokus sama apa yang akan kita lakuin jangan urusin hal lain." Rayna mendengus, mengusap wajahnya kasar lantas tersenyum miring. "Nggak ada hak ngatur, kita nggak ada hubungan."sungutnya dengan nada mengejek. "Dalem banget omongan si mbak," balas Egi meledek, kini meraih helmnya. "Peraturan untuk hari ini, bikin quote dari kata-kata yang gue minta nanti." "Oke," ujar Rayna setuju. Jadi duduk duluan di atas motor matic kesayangan Egi. "Tapi jangan pulang malam banget ya, nanti orangtua gue nyariin." "Gampang, itu udah gue urus," sahut Egi yakin, mulai memundurkan motornya agar bisa keluar dari barisan parkir. Cowok itu menoleh ke belakang, memastikan bahwa Rayna sudah siap. "Lo suka egg roll ?" Pertanyaan Egi memancing kerutan di dahi Rayna yang kebingungan. "Egg roll?" tanyanya heran, langsung teringat restoran Jepang yang berada di jalan utama.. "Kita mau makan di Hakaben?" "Suka nggak?" tanya Egi tak menjawab pertanyaan gadis itu. Rayna mendengus, lantas mengangguk mengiyakan. "Suka." "Kalau sama gue?" Refleks Rayna berdecih, memukul keras pundak Egi hingga pemuda itu mengeluh kesakitan. "Dasar buaya," sinisnya ketika Egi hanya tertawa kesenangan karena berhasil menggoda Rayna . Egi melajukan motornya, sedikit tersenyum kecil ketika melihat senyuman Rayna yang terlihat dari kaca spion. Intinya Rayna seolah melupakan kejadian yang membawa kembali traumanya. Bersama suara bising kendaraan dan langit yang berwarna biru cerah, keduanya memulai perjalanan. Mencari arti apa itu mimpi. Tak sadar bahwa perjalanan ini akan memberi makna lain untuk keduanya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD