Kantung Bayi

1399 Words
Saya terima nikah dan kawinnya Ayra Hazira Binti Almarhum Rahman dengan seperangkat alat salat dan uang sejumlah 250 juta rupiah dibayar tunai." "Bagaimana saksi? Sah?" "Sahhh ...." "Alhamdulillah. Barokallah ...." Dua mempelai yang duduk di depan penghulu, ikut serta memanjatkan doa dengan mengangkat kedua tangan. Meski pernikahan itu digelar dengan seadanya, bahkan tak ada yang menghadiri kecuali penghulu, wali nikah, juga orang tua dari pihak mempelai pria, tetap saja suasana di sana terasa begitu sakral. Mempelai wanita yang tak lain adalah Hazira, sedikit memutar tubuhnya. Sedikit canggung mengangkat tangan demi melakukan tugas pertamanya setelah sah menjadi istri dari seorang Attarayyan Fahreza dan pria dingin itu, begitu saja menyambut tindakannya dalam diam. Tanpa berbicara sepatah kata setelah resmi menikahinya, ataupun menunjukkan ekspresi berbeda saat punggung tangannya yang kekar dia kecup hangat. "Ayo pergi." Dua kata tak biasa itu terdengar begitu dingin di telinga dan sebelum Hazira menjawab, Rayyan sudah lebih dulu bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan ruangan. Menyusul tuan Malik yang sejak tadi terdiam dengan sorot mata tajam dan terdiam tanpa sepatah kata pula. Meninggalkan Hazira yang termangu di ruangan itu sendirian. Mencoba tersenyum bahagia meski hatinya getir tak terkira. "Terima kasih banyak, Pak. Permisi." Hazira berpamitan sebelum bangkit dari kursi kayu yang menjadi saksi bagaimana dia menjadi istri dari seorang Rayyan. Sebuah kejutan besar yang sama sekali tak dia sangka karena sebelumnya, mengenal Rayyan adalah sebatas mengenal namanya saja. Tidak ada interaksi yang menunjukkan kedekatan dan tiba-tiba, pria itu datang menemuinya. Mengajukan sebuah ajakan menikah yang mana Rayyan tak memberinya pilihan untuk berpikir ataupun menolak. Rayyan menjadikan nenek Ratna sebagai alasan dan tekanan yang dia tanggung atas pengobatan Dirga, pun membuatnya menerima begitu saja. Tak lagi berpikir, bagaimana nasib pernikahan ini ke depannya karena Rayyan adalah si pemilik kuasa. Yang terpenting untuknya adalah, kondisi nenek Ratna membaik dan semua hutangnya lunas pada rumah sakit. Hazira menghela napas dalam. Masih serupa mimpi menjadi istri dari seorang Attarayyan Fahreza karena pernikahan yang digelar pun jauh dari kata mewah. Jangankan meriah, pernikahan ini sangat menunjukkan betapa Rayyan tidak menginginkan orang di luar sana mengetahui statusnya. Seperti, pernikahan ini sengaja dirahasiakan dan terbukti dari hadirnya tuan Malik seorang. Begitu sampai di depan pintu, dengan bahu mengendur Hazira menutup pintu, Bingung atas apa yang harus dia lakukan selanjutnya dan kehadiran tuan Malik yang begitu tiba-tiba, jelas membuat detak jantungnya berpacu begitu kencang untuk yang kedua kalinya. Raut wajah pria itu tak lagi sama seperti yang dia lihat sebelumnya. Tidak lagi hangat melainkan dingin dan menakutkan. "Aku mengira, kamu adalah wanita berhati tulus tapi ternyata, kamu sama saja seperti wanita di luar sana yang menghalalkan segala cara demi uang.” Tuan Malik melemparkan kata-kata sengit dan Hazira memilih menunduk dari pada sakit hati. Perkenalan sebelumnya, tidaklah seperti ini. Tuan Malik begitu ramah dan baik. "Apa saja yang kamu katakan pada ibuku sehingga ibuku memaksa Rayyan menikahimu, Hazira?" Hazira terdiam. Tiada daya untuk menjawab pertanyaan tuan Malik yang semakin tajam karena dia pun tidak merasa. Dia tidak pernah mengatakan apa pun pada nenek Ratna dan dia bisa memastikannya. "Jangan kamu pikir, dengan menjadi istri Rayyan kamu bisa mendapatkan bagian dari warisan keluargaku. Jangan kamu mengira bisa menguasai semuanya karena kamu tidak akan mendapatkan sepeser pun, Hazira. Aku tidak akan membiarkan ibuku terhasut dan kamu sebaiknya menyadari posisimu itu.” Kelopak mata Hazira mengatup rapat. Tuduhan tuan Malik, tentu lebih menyakitkan dari pada sembilu yang menyayat. Sungguh, dia bukanlah wanita sekuat baja yang akan tahan menerima. Dia perasa dan bisa dikatakan ... lemah. "Dan lagi, aku tidak pernah menganggapmu sebagai menantuku. Kamu harus ingat itu!” Cukup sudah. Seiring langkah kaki tuan Malik yang meninggalkan pijakan, saat itulah air mata Hazira berjatuhan tanpa bisa dia kendalikan. Berada di posisi ini, ternyata menyakitkan. Kelas sosial menjadi menantu keluarga Fahreza ternyata tidak se menyenangkan yang orang-orang mimpikan. Di hari pertama dirinya menjadi menantu, justru dirinya juga ditolak masuk. Lantas, bagian mana yang termasuk dalam kategori wanita beruntung? Ini demi Dirga. Kamu tidak harus bersedih atas apa yang terjadi pada hidupmu, Zira. Lekas Hazira mengusap air matanya walaupun masih menyisakan jejak. Mencoba tersenyum kilas walau kata-kata tuan Malik masih meninggalkan luka. Dia tidak seharusnya menjadi lemah. Dia tidak seharusnya hanyut dalam kenyataan menyakitkan yang Rayyan ciptakan. Seharusnya dia sadar diri, jika keluarga yang dia miliki tetaplah Dirga seorang diri. Tiada yang lain. Terlebih suami yang mencintai. Brrmm! Langkah Hazira yang tiba di depan gerbang kantor KUA, lagi-lagi tertahan begitu deru suara mobil yang tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang terdengar. Dia menegakkan kepala. Melihat mobil berwarna hitam mengkilap itu dengan seksama. Rayyan. Rupanya, pria itu masih menunggunya. Tak mau membuang waktu, Zira segera mendekati pemilik mobil itu. Mungkin Rayyan ingin mengatakan sesuatu setelah lama membisu. "Masuk!” Lagi-lagi suara dingin itu memerintah. Sikap otoriternya, membuat Zira tak memiliki pilihan untuk menolak dan dengan perasaan waswas luar biasa, dia pun memasuki mobil yang serupa penjara. "Ini bagianmu!" Amplop berwarna coklat yang bervolume sedikit tebal itu jatuh ke pangkuan Hazira setelah menabrak d**a. Sangatlah tidak sopan Rayyan memberikannya namun dia bisa apa. Bahkan Rayyan tak sedikit pun melihat ke arahnya serupa dia adalah seorang wanita yang begitu menjijikkan. "Sekarang pergi dan jangan pulang terlambat. Ingat! Rumahmu sudah bukan di perkampungan kumuh itu." suara Rayyan terdengar lagi. Lagi-lagi bernada keji dan Hazira memilih tak menanggapi. Tangannya lebih dulu bergerak mengambil amplop coklat berisi uang tunai 250 juta yang sukses, membuat tuan Malik membencinya. "Sekarang keluar dari mobilku dan jaga uang itu dengan baik karena aku tidak akan mau ganti rugi jika uang itu sampai hilang atau dicuri." "Terima kasih." Dia mungkin dari keluarga miskin. Tetapi, dia cukup tau bagaimana caranya berterima kasih meskipun Rayyan bersikap sedingin ini. Persetujuan Rayyan yang mau memberinya maskawin dalam jumlah yang tak seharusnya, sudah cukup membuatnya berhutang budi. Dengan uang ini, semua hutangnya lunas dan pengobatan Dirga untuk beberapa bulan ke depan sudah terjamin. Apa lagi yang lebih melegakan dari ini? Begitu Hazira keluar dari mobil, saat itu juga Rayyan mengemudikan mobilnya dan meninggalkan Hazira begitu saja. Sikapnya masih serupa orang asing yang tak pernah mengenal dan Hazira memakluminya. Dia pun memilih memasukkan amplop coklat yang dia pegang ke dalam tas selempang berwarna hitam yang dia bawa. Seperti yang dikatakan Rayyan tadi, pria itu tak akan mau ganti rugi. Oleh karena itu dia harus menjaga uang ini dengan baik sampai dia tiba di rumah sakit. Tidak mengapa jika tuan Malik menganggapnya sebagai wanita gila uang. Tidak mengapa, jika pria itu membencinya karena kesembuhan Dirgantara tidak akan pernah membuatnya menyesal. Walau setelah ini dia harus tinggal di rumah Attarayyan Fahreza yang entah seperti apa. ** Panas matahari yang terik, sama sekali tak menyurutkan langkah Zira yang mengelana mencari. Lewat secarik kertas yang berisikan alamat rumah Rayyan, dia melangkah inci demi inci. Berharap menemukan rumah Rayyan segera karena pria itu sudah mengancamnya untuk tidak pulang terlambat atau akan ada sesuatu yang terjadi. Salahnya juga tak menggunakan taxi karena angkutan umum hanya berhenti di halte yang jaraknya cukup jauh dari lingkungan perumahan ini. Alhasil, dia pun berjalan kaki sembari menenteng tas berukuran sedikit besar yang tentu berisikan baju juga barang-barang miliknya. "Rumah Nomor 102.” Zira membaca alamat itu lagi begitu dia sudah sampai di depan rumah berukuran 3 kali lipat dari rumah yang dia tempati selama ini. Sedikit menelisik sekitar dan meyakinkan diri jika rumah di depannya, benarlah rumah Rayyan yang dia cari. Ya. Tidak salah lagi. Posisi gerbang yang terbuka, membuat Hazira memberanikan diri untuk melangkah masuk ke halaman rumah yang tak begitu besar. Terus saja melanjutkan langkah sampai di depan pintu walau jantungnya mulai berdegup tak karuan. Tet! Tet! Zira menekan bel dengan tangan gemetar. Bersiap menghadapi Rayyan yang entah muncul dengan ekspresi bagaimana lewat sebuah senyuman yang coba dia tunjukkan. Mungkin dia bisa memperbaik suasana dengan bersikap ramah. "Iya?" Namun, sosok wanita yang tiba-tiba berdiri di depannya setelah pintu ber cat putih itu terbuka, sontak saja membuat senyumannya mengatup seketika. Apakah dia salah rumah? Zira bertanya-tanya. "Maaf, apakah benar ini kediaman tuan--" "Siapa, Sayang?" Suara yang menyahut dari dalam, entah kenapa membuat telinga Hazira berdengung seketika. Apalagi setelah sosok Rayyan muncul di sana, kemudian tiada ragu memeluk wanita asing itu dengan mesra. Tepat di depan matanya yang jelas-jelas melihat bagaimana pria itu melempar senyuman culas. "Oh, rupanya istriku sudah datang.” Begitu santai Rayyan mengatakannya tanpa sesal. Sama sekali tak peduli dengan raut wajah Hazira yang sudah memucat seperti kapas terlebih saat wanita itu mengatakan, "Jadi, wanita ini yang akan menjadi kantung bayi kita, Rayyan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD