Ajakan Menikah

1765 Words
Zira meremas tali tas berwarna putih yang dipakainya. Cemas-cemas dia mengekori seorang pria setengah baya yang ditugaskan keluarga nenek Ratna untuk menjemputnya. Katanya, nenek Ratna jatuh sakit dan wanita tua itu ingin bertemu dengannya. Padahal, sepulang bekerja dia hendak mencari pinjaman uang untuk biaya pengobatan Dirga lusa, juga melunasi hutangnya pada dokter Adam. Jujur, dia tengah kebingungan sekaligus tertekan karena uangnya sudah habis dan tanggal gajian masih lama. Sesekali Hazira mengangkat pandangan. Melihat suasana koridor rumah sakit yang menuju ruangan nenek Rahma karena kebetulan, Dirga berobat di rumah sakit ini juga. Namun, ada begitu banyak perbedaan dan tanpa dijelaskan pun, dia mengetahuinya. “Ruangan nyonya Ratna di sebelah sini. Kamu bisa masuk sekarang, Hazira.” “Terima kasih banyak, Pak.” Larut dalam lamunan, membuat Hazira sedikit tersentak begitu sopir itu menunjukkan pintu ruangan nenek Ratna. Tak mau membuang waktu karena dia masih ingin menemui dokter Adam, dia pun mengetuk pintu itu segera dan membukanya dengan perlahan. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, akhirnya Hazira datang.” Jawaban spontan bernada bahagia yang tentulah berasal dari nenek Ratna, membuat Hazira melempar senyuman kilas. Ada perasaan canggung untuk melangkah lebih jauh karena di sana, tidak hanya ada nenek Ratna seorang melainkan seorang lelaki berperawakan dingin yang tengah menatap ke arahnya. Tuan Malik Fahreza. “Masuklah. Jangan hanya mematung di sana.” Suara tegas menusuk telinga itu, sontak saja membuat Hazira mengambil langkah. Sedikitnya masih tak menyangka, jika pria itu akan menyambutnya walau dengan raut wajah tak biasa. “Ibuku ingin bertemu denganmu dan tolong, nasihati dia. Dia tidak mau mendengarkan—“ “Diamlah, Malik. Baiknya kamu keluar saja.” Hazira tertegun sesaat begitu melihat interaksi keduanya. Begitu saja nenek Ratna mengusir pria setengah baya yang terlihat menakutkan itu dan tanpa penolakan, tuan Malik Fahreza meninggalkan ruangan. Sempat tuan Malik melemparkan senyuman kilas yang lagi-lagi membuatnya tak menyangka, jika pria itu memiliki sisi ramah juga. “Titip ibuku sebentar.” Ruangan menjadi hening sesaat sebelum Hazira mencium punggung tangan nenek Ratna dengan raut wajah sedih luar biasa. Wanita tua itu, terlihat begitu lemah. Sangat berbeda dengan hari sebelumnya yang mana, nenek Ratna terlihat baik-baik saja. “Kenapa, Nenek bisa sakit? Apa yang membuat, Nenek sampai terbaring di tempat ini?” Nenek Ratna tersenyum kecil. Ada perasaan menyesal karena sudah membuat Hazira melihat kondisinya dan menjadi sedih seperti saat ini. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk tak menemui Hazira lebih lama lagi karena Hazira sudah menjadi bagian penting. “Tidak apa-apa, Hazira. Tidak perlu merasa sedih karena aku baik-baik saja. Semua ini terjadi, hanya karena tekanan darahku naik saja. Sore nanti, aku yakin bisa pulang.” “Tapi, Nenek sampai pingsan.” Hazira tercekat. Membayangkan nenek Ratna pingsan dan tiada yang menemukan, tentulah membuatnya tak habis pikir. Di rumah sebesar itu dan di antara banyaknya pelayan yang entah berapa banyak, si nyonya rumah justru tidak dijaga dengan ketat. “tekanan darah Nenek tinggi dan, Nenek tidak beristirahat dengan baik. Mengapa begitu?” Nenek Ratna tersenyum samar. Perhatian gadis muda di depannya, tentulah membuat hatinya menghangat. Andai Hazira lah yang menjadi istri Rayyan? Tentu dia akan bersorak riang. Hari-hari di masa tuanya akan dipenuhi canda tawa dan nantinya, dia akan tiada dengan tenang karena Rayyan memiliki istri yang begitu baik hatinya. “Ada beberapa hal, Hazira. Namun aku tidak bisa mengatakannya.” “Kalau begitu, jaga diri Nenek dengan baik jika tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang, Nenek simpan. Jangan banyak pikiran. Jangan membebani kesehatan Nenek dengan sesuatu yang sebenarnya bisa Nenek bagi dengan keluarga. Jangan lupa, Nenek memiliki Tuan Malik dan juga tuan muda yang akan sangat sedih dan terluka jika sampai terjadi sesuatu pada, Nenek. Benar ‘kan?” Nenek Ratna hanya mengangguk. Melihat Hazira memerhatikannya seperti ini, tentu dia merasa senang sekali. Inilah yang turut menjadi alasan kenapa dia senang tinggal di panti. Di sana dia tidak pernah merasa kesepian. Berbeda dengan di rumah yang serupa kuburan. “Mau berjanji jika Nenek akan segera pulih dan sehat seperti hari kemarin?” Hazira mengangkat telapak tangan. Sebenarnya, ada rasa sungkan menasihati wanita kaya raya di depannya. Namun, melihat wanita itu baik-baik saja tentu menjad tanggung jawabnya juga. “mau berjanji juga jika setelah pulang nanti nenek makan yang banyak, istirahat yang cukup dan tidak banyak pikiran?” Tangan keriput nenek Ratna menyambut uluran tangan Hazira. Masih dengan raut wajah bahagia, wanita itu pun menjawab, “Baiklah aku berjanji, Hazira.” Ceklek! Suara pintu yang terbuka, sontak membuat Hazira memutar tubuhnya. Ingin menjauh dari sisi brankar tetapi tangan nenek Ratna menahan sehingga dia terdiam di pijakan. Dari aroma yang menguar saja, dia sudah bisa menebak jika yang masuk ke dalam ruangan bukanlah tuan Malik melainkan ... pewaris keluarga Fahreza. “Oh, ada tamu rupanya.” Dingin menusuk pendengaran. Suara yang terdengar kaku itu sama sekali tak menunjukkan aura bersahabat. Mungkinkah, pria itu masih menaruh kesal atas insiden yang terjadi sebelumnya? “Dari mana saja, Rayyan?” nenek Ratna menyambut kedatangan cucunya yang sedikit berantakan, sedang Hazira hanya menunduk dalam—menatapi ujung sendal yang dipakainya. Dia sama sekali tak memiliki keberanian untuk mengangkat pandangan karena dia sudah tahu, betapa menakutkannya pandangan tajam pria itu. “Pergi ke kantor sebentar, Nek jadi belum sempat pulang dan berganti pakaian.” Bohong. Ekor mata Rayyan melirik ke arah berbeda. Antara menghindari tatapan selidik neneknya, pun merasa tertarik untuk menatapi sekilas, tamu tak diundang yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Wanita itu mengenakan terusan berwarna kopi s**u dengan kerudung bermotif bunga. Sangat tertutup hingga tak menunjukkan porsi tubuhnya. “Dia, Hazira.” “Nenek sudah pernah mengatakannya.” Sejak tadi pagi, hanya wanita itu yang neneknya cari dan alhasil, ayahnya pun memerintah sopir untuk menjemput wanita itu di panti. Heran sekali, kenapa neneknya begitu menyanjung gadis yang dari penampilannya saja dia tahu miskin. Bagaimana jika wanita itu mendekati neneknya karena mengharap belas kasihan saja? “Tapi kalian belum berkenalan.” Nenek Ratna sedikit memaksa dan jawaban yang Rayyan katakan pun membuat Hazira sadar akan posisinya. “Tidak perlu karena aku tidak memiliki urusan dengannya.” Rayyan meninggalkan ruangan. Menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya hingga tinggallah Hazira dan nenek Ratna berdua di kamar. Suasana menjadi sedikit canggung karena jawaban Rayyan tadi. “Maafkan sikap Rayyan, Zira. Dia memang suka seperti itu. Nenek heran juga kenapa itu anak, bisa punya sifat menyebalkan.” “Tidak apa-apa, Nek. Tidak masalah.” Sekitar setengah jam, Hazira menemani nenek Ratna dan setelahnya dia pamit pulang dengan alasan jika adiknya sendirian di rumah. Padahal, dia menemui dokter Adam untuk membicarakan cuci darah Dirga lusa. “Ada apa, Hazira?” Teduh dokter Adam menatap Hazira yang datang dengan raut wajah gundah. Sepertinya, Hazira ingin membahas tentang biaya cuci darah Dirga lusa. “Sekali lagi saya mohon maaf, Dokter. Namun, saya tidak tahu harus kepada siapa lagi saya meminta bantuan__” “Hazira ... bukankah aku sudah mengatakan jika kamu tidak perlu khawatir atasnya? Lihat, biaya cuci darah Dirga lusa bahkan sudah ditangguhkan.” Sebenarnya tidak tega juga memperlihatkan rincian hutang-hutang Hazira atas pengobatan Dirga. Akan tetapi, Hazira bisa curiga jika tidak dia buatkan bukti tertulis seperti ini. “jadi, tenanglah Hazira. Seperti biasa, kamu hanya perlu membawa Dirga datang dan selesai.” Hazira ingat percakapannya dengan dokter Adam seiring langkah pelannya menuju rumah. Rumah kecil peninggalan neneknya yang sudah dia tempati bersama Dirga kurang lebih 5 tahun lamanya karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual. Sedikitnya, dia merasa lega karena biaya cuci darah Dirga lusa sudah ditangguhkan. Setelah ini, mungkin dia harus mencari pekerjaan sampingan lain agar hutang -hutang itu bisa dia cicil dan biaya pengobatan Dirga selalu terpenuhi. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam ... akhirnya Kak Zira pulang.” Senyum bahagia itulah yang selalu membuatnya Hazira kuat dalam setiap keadaan. Tak peduli se berat apa pun dia menjalani kehidupan, Dirgantara adalah obat yang mampu menyembuhkan. “Kamu sudah makan, Dek?” Hazira mendekati Dirga yang duduk di ruang tamu sembari bermain catur. Adiknya yang satu itu memang hobi sekali bermain catur dan dulunya, Dirga adalah perwakilan sekolah dalam berbagai perlombaan. Sayang, semua masa-masa itu harus terenggut karena penyakit Dirga yang kejam. “Sudah, Mbak. Sop buatan Mbak adalah yang terlezat. Aku sampai habis 2 piring tadi.” Zira mengulum senyum tipis. Tak terasa, ada air mata yang memenuhi bola mata dan memaksa jatuh kala Dirga memegang telapak tangannya yang dingin. Pikirnya, kapan dia bisa membahagiakan adiknya yang satu ini? Dulu, Dirgantara memiliki porsi tubuh yang tegap—berisi. Wajahnya tampan dan kulitnya putih bersih. Seiring penyakit yang menggerogoti, tubuh Dirga kian mengurus. Wajahnya tirus dan kelopak matanya menjadi cekung. Sungguh, dia ingin semua yang ada pada Dirga kembali dan entah kapan Tuhan mau mengabulkan permintaannya ini? “Tangan, Mbak sampai kasar begini karena bekerja keras untukku yang tidak berguna ini. Harusnya, Mbak—“ “Dirgantara ... mau Mbak cubit?” Dua saudara yang saling menyayangi itu sama-sama tertawa kecil. Menyembunyikan perih yang sudah lama menemani dan menguatkan satu sama lain, adalah ikatan yang akan membuat orang lain iri. “Aku janji, Mbak. Aku tidak akan membuat perjuangan, Mbak sia-sia. Aku akan sembuh dan membuat, Mbak bahagia. Siapa pun laki-laki yang menyakiti hati, Mbak. Pasti akan berurusan denganku dan aku buat babak belur sampai mohon ampun.” Hazira tertawa. Tanpa tahu, jika suatu hari nanti ucapan adiknya akan terwujud. ** “Hazira, aku ingin membicarakan sesuatu.” Nampan yang Hazira pegang nyaris saja jatuh menyentuh lantai begitu pria yang sama sekali tidak dia duga, tiba-tiba berdiri di depan mata dengan penampilan elegan seperti biasa. Membuat degup jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, apalagi kedatangan pria ini tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Attarayyan Fahreza. Pria menakutkan dengan pandangan tajam bak elang itu muncul, serupa makhluk tak kasat mata. Lantas, ada gerangan apakah sampai tuan muda kaya raya itu bersudi hati menemuinya? “Ya, Tuan?” tercekat tenggorokan Zira saat mengatakannya. Apalagi keberadaan Rayyan di sana, telah mencuri perhatian semua orang. “Ikuti aku.” Kalimat bernada perintah itu tidak bisa Zira elak sehingga dia pun mengikuti sang tuan muda. Melangkah menjauh dari keramaian sampai akhirnya memasuki sebuah ruangan yang senyap. “Aku tidak mau membuang waktu. Kedatanganku ke tempat ini adalah untuk menjadikanmu sebagai istriku. Kita akan menikah dan kamu tidak punya pilihan untuk menolak.” “Apa?!” Bak petir menyambar di siang yang terik, Hazira mematung dengan tatapan menyipit. Kedatangan pria itu saja masih membuatnya tak bisa berkata-kata dan sekarang, pria itu mengatakan sebuah hal yang ... apakah yang dia dengar tadi adalah lelucon yang Rayyan buat saja? “Jangan besar kepala. Aku melakukannya karena permintaan nenekku dan sebagai timbal baliknya, kamu bisa meminta apa pun. Harta, benda atau apa pun yang kamu mau.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD