Permintaan Nenek

1468 Words
Attarayyan Fahreza. Putra tunggal, serta pewaris satu-satunya dari keluarga Fahreza yang terkenal kaya raya. Pria matang berusia 28 tahun itu memiliki perawakan tegap dengan tubuh tinggi menjulang. Rahangnya terbentuk tegas dengan alis menukik tajam yang sering kali membuat lawannya gentar. Sorot matanya tajam dan bibir tipis bergelombangnya suka sekali mengeluarkan kata-kata kejam. Diam berarti dia marah dan marahnya, bisa saja menghancurkan benda-benda di sekitar. Orang bilang, Attarayyan Fahreza adalah perpaduan sempurna yang mampu membuat para wanita tergila-gila karena memiliki segalanya. Namun, tiadakah kekurangan atasnya? “Di mana nenek dan ayah?” suara menggema yang selama beberapa minggu tidak terdengar di rumah besar bak istana itu, jelas membuat pelayan yang sedang mengepel lantai terperanjat. Lekas pelayan itu memutar tubuh kemudian menatap sang tuan muda yang sensitif dengan pandangan takut. Tidak mau kesabaran sang tuan muda habis dan berakhir mengamuk. “Nyonya Ratna kembali ke panti Jompo beberapa minggu yang lalu, Tuan muda. Dan Tuan besar ada di perusahaan.” Rayyan mendesah kasar. Salahnya tidak memberitahu jika dia pulang hari ini dan kesalnya dia tertipu lagi. Baru saja dia pulang dari Singapura dan malah mendengar kabar seperti ini. Bukankah sudah berulang kali dia meminta, agar neneknya tidak kembali ke tempat itu lagi? “Bagaimana bisa ayah membiarkan nenek kembali ke sana.” Rayyan menggerutu kesal seiring langkahnya yang meninggalkan rumah. Tidak jadi masuk ke dalam istananya sekalipun dia merasa lelah dan butuh istirahat sebentar. Dia harus menemui neneknya sekarang juga kemudian memaksanya pulang. Apa-apaan tinggal di tempat itu yang berarti melanggar perjanjian dengannya? Tak lama kemudian Rayyan sampai dan benar menemui neneknya di panti jompo seperti sebelum-sebelumnya. Begitu saja dia mengajak neneknya pulang walaupun dia melihat, jika neneknya sehat tanpa kekurangan apa-apa. Ada perasaan lega luar biasa juga karena neneknya tidak memberontak sekaligus mengancam seperti biasanya. “Apa kamu mengenal Hazira?” pertanyaan nenek Ratna ketika mobil yang mereka tumpangi menuju jalan pulang, tentu membuat Rayyan melirik asal. “Hazira? Siapa Hazira?” “Itu ... gadis muda yang ada di kamar nenek tadi. Yang kamu lihat mulai ujung kepala sampai ujung kaki.” Nenek Ratna ingat jelas, bagaimana Rayyan menelisik Hazira yang terdiam salah tingkah sebelum mengajaknya pulang. “ingat?” Rayyan menghela napas lagi. Posisinya yang duduk di kursi belakang bersama nenek Ratna, pun membuatnya menatap wanita tua itu dengan pandangan seksama. “Jadi namanya Hazira?” “Ya. Cantik ‘kan? Kamu mengenal Hazira di mana?” nenek Ratna menjadi bersemangat. Namun, sebuah jawaban yang Rayyan berikan, pun membuat pukulan tangan nenek Ratna mendarat di bahu tegapnya. “Gadis itu ceroboh. Dia sudah mengotori sepatuku.” “Alah ... paling kamu juga yang salah. Setahu nenek, Zira selalu berhati-hati ketika bekerja.” Nenek Ratna tidak terima dan Rayyan menjadi tidak suka karenanya. “Kenapa, Nenek jadi membela dia?” Rayyan merajuk dan tiada hal lain yang bisa nenek Ratna lakukan selain menghiburnya. Rayyan adalah cucu kesayangannya dan juga satu-satunya. Mana mungkin dia membuat Rayyan kekurangan kasih sayang. “Nenek bercanda. Kamu ini, semakin tua semakin sensitif saja.” Tak lama kemudian, mobil yang ditumpangi keduanya sampai di rumah. Bersamaan dengan langkah tuan Malik yang mendekat dengan tergesa. Membuka pintu mobil di samping nenek Ratna bahkan sebelum sopir melakukannya. “Akhirnya kalian berdua pulang.” Tuan Malik merangkul nenek Ratna keluar dari mobil. Menuju rumah keluarga yang sudah bertahun mereka tinggali. Tak ketinggalan, Rayyan pun melakukannya dari sisi kiri. “Tidak usah begini. Aku masih bisa berdiri dan berjalan tanpa bantuan orang lain.” Nenek Ratna bergerak risih. Membuat dua pria di sampingnya sama-sama melepaskan tangan mereka dengan senyuman kilas. “Lalu kenapa nenek tinggal di panti jompo kalau masih segar bugar?” “Ya. Di sana kan tempatnya para orang tua yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa.” Malik dan Rayyan kompak menyudutkan nenek Ratna sehingga lontaran yang wanita itu katakan, pun membuat Rayyan mematung sembari mengusap tengkuk kepala. “Suruh Rayyan menikah dan punya anak. Baru Ibu menetap di rumah.” ** “Nenek belum tidur?” Rayyan membuka pintu kamar. Dengan tingkahnya yang polah, dia mendekati nenek Ratna yang saat itu duduk bersandar di kepala ranjang sembari memegang sebuah bingkai foto berukuran sedang. “masih ke pikiran sama tempat itu? Yang benar saja?” Nenek Ratna meletakkan foto yang dipegangnya kemudian menepuk tangan Rayyan pelan. Dia memandang lekat wajah cucunya yang bisa dibilang berubah 360 derajat. Bukan lagi remaja cekikikan yang suka berulah. “Nenek tidak bisa tidur karena memikirkanmu.” “Memikirkan aku? Memangnya kenapa denganku?” Rayyan mengedipkan sebelah matanya. Wanita di depannya, memanglah satu-satunya wanita yang hobi dia goda. “Ayolah Rayyan ... kamu bukan anak kecil lagi yang tidak tahu maksud nenek.” “Nenek—“ Rayyan hendak menyela begitu tahu ke mana arah pembicaraan ini tetapi, nenek Ratna lekas menyahuti dengan suara lembut tetapi, terselip ketegasan di sana. “Dengar, Rayyan. Nenek sudah tua dan bisa kapan saja dipanggil oleh yang maha kuasa. Tentu sebelum hal itu tiba, Nenek ingin melihatmu bahagia. Nenek ingin melihat seorang wanita setia dan baik hatinya mendampingi cucu nenek satu-satunya serta, Nenek ingin melihat rumah ini tidak lagi sepi seperti kuburan. Tidakkah kamu melihat, jika ayahmu juga kesepian?” nenek Ratna mengambil napas. Sembari menatap Rayyan lekat untuk menunjukkan kesungguhannya. “Jadi kalian sudah bosan padaku?” Ingin rasanya mencubit gemas wajah itu tetapi, nenek Ratna menahan diri agar pembicaraan ini tetap terkendali. Jadi, jangan harap Rayyan berhasil mengelabui. “Jujur kami berdua memang sudah bosan karena kamu sudah dewasa. Tidak bisa lagi diajak bercanda dan bermain mobil-mobilan. Jadi, dengan jujur juga ingin nenek katakan, jika kami berdua kesepian, Rayyan. Kami ingin mendengar tawa anak-anak kecil di rumah ini dan melihat mereka bermain. Kami ingin melihat pewaris keluarga ini kelak dan hanya kamulah harapan kami. Satu-satunya dan tidak ada lagi.” Tegas nenek Ratna mengatakan sehingga membuat Rayhan menunduk kemudian menghela napas pelan. Dia sudah tidak terkejut dengan permintaan ini karena memang sudah berulang kali neneknya meminta sampai merajuk dan mengancam akan pergi. Berbeda dengan ayahnya yang hanya memendam dalam hati walau sebenarnya dia tahu, ayahnya pun sudah sangat ingin ada pernikahan di rumah ini. Lantas, mungkinkah dia siap mengambil langkah ini? Memiliki seorang istri dan membagi semuanya sampai akhir nanti? “Aku--” “Apa? Belum siap?” nenek Ratna lagi-lagi menyela. “lantas lebih siap mana kamu menikah atau melihat nenekmu ini tiada?” “Jangan bicara seperti itu, Nek. Mengapa suka sekali mengancamku?” Rayyan ingin merajuk. Akan tetapi, wajah memelasnya sudah tidak mempan untuk meluluhkan wanita tua itu. “aku hanya butuh sedikit waktu untuk menyiapkan diri. Setelahnya, aku pasti mengenalkan calon istriku kepada nenek dan ayah nanti.” Nenek Ratna berdecih. “Alasan! Nenek sudah tidak percaya lagi dengan janji yang kamu buat, Rayyan. Ini sudah 6 bulan sejak kamu mengatakan kepada Nenek untuk membawa calon istrimu ke rumah ini. Tapi mana? Tidak ada sampai sekarang.” Penuntutan terjadi terang-terangan. “Apa sebenarnya ... kamu tidak menyukai wanita?” “Astaga!” nenek Ratna menelisik tajam dan raut wajah Rayyan dibuat pucat pasi karena lontarannya. “seratus persen aku ini pria normal, Nek. Aku menyukai wanita dan memiliki kekasih.” Jawaban Rayyan agaknya membuat nenek Ratna patah hati. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang menyimpan kecewa. Mungkin, nenek Ratna ingin Hazira lah yang menjadi cucu menantunya. Namun, mau bagaimana lagi jika Rayyan sudah memiliki kekasih? Bukankah yang terpenting Rayyan segera menikah dan memberikan pewaris untuk keluarga ini? “Kalau begitu, lekas buktikan pada Nenek. Bawa kekasihmu itu ke rumah ini dan akan segera kita atur tanggal pernikahannya.” Lagi-lagi Rayyan mengendurkan bahu tegapnya. “Tidak semudah itu, Nek. Aku tidak mungkin menikahi wanita besok pagi tanpa ada persiapan yang matang. Bisa-bisa, nama baik keluarga kita di bicarakan orang.” “Nenek hanya memintamu untuk mengenalkan wanita itu kepada nenek secepatnya, Rayyan. Soalan menikah, nenek akan beri waktu cukup lama.” Nenek Ratna berpikir sejenak. Kali ini, Rayyan tidak akan bisa lagi mengelak dari permintaannya. “2 minggu. Ya ... waktu 2 minggu cukup untuk memantapkan keraguanmu itu. Lagi pula, wanita itu adalah kekasihmu bukan? Jadi ada masalah apa lagi? Kenapa harus memantapkan hati untuk menuju jenjang pernikahan yang harusnya menjadi masalah kecil?” nenek Ratna melanjutkan. “jadi, keputusan nenek sudah final. Nenek ingin kamu menikah secepatnya.” Rayyan memilih diam. Lebih tepatnya, tidak memiliki jawaban lagi untuk mengelak karena sudah berulang kali juga dia mengingkari janji yang dia buat. Sampai harus keluar negeri untuk waktu yang cukup lama juga hanya demi menghindari permintaan neneknya. Mungkin, memang sudah saatnya dia memantapkan hati dengan yang namanya pernikahan. Membagi hidupnya dengan seorang wanita tanpa ada lagi yang disembunyikan. Dia tidak mau juga, jika terjadi sesuatu pada neneknya hanya karena sebuah permintaan yang begitu saja bisa dia lakukan. Baiklah. Tidak apa-apa. Besok pagi, dia akan menemui Indah Yudharsa untuk mengutarakan keputusannya. Yakni, membawa hubungan ini ke jenjang pernikahan seperti yang neneknya inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD