Pertemuan Pertama

1643 Words
“Saya tidak sengaja, Tuan. Sungguh saya minta maaf.” Pria itu tidak menjawab, dan sekali lagi Zira mencoba memperbaiki kesalahannya. “biar saya bersihkan—“ “Tidak usah! Biarkan saja!” Penolakan pria itu bersamaan dengan langkah lebarnya yang meninggalkan Zira. Membuat Zira mengutuk kecerobohannya karena bisa saja insiden ini membuatnya kehilangan pekerjaan. Ya ... walau yang sebenarnya insiden tadi bukanlah kesalahannya. Tetap saja dia harus berjaga-jaga. “Semoga saja pria tadi tidak mengadukanku pada pengurus panti.” Zira memungut kotak makanan yang terjatuh. Karena insiden tadi, dia harus mengganti makanan yang tumpah dengan makanan baru. Para orang tua itu pasti sudah menunggu, jadi dia harus bekerja cepat atau mereka akan merajuk. “Kenapa, Zira?” tanya seorang teman begitu melihat dia kembali ke dapur utama. Sedang makanan di troli yang dia bawa masih cukup sesuai hitungan. “Ini makanannya tidak sengaja terjatuh, Nirna.” “Walah ... lain kali hati-hati ya? Nanti kalau kamu dimarahi bu ketua gimana?” Nirna mendekati Zira. Kepribadiannya yang tenang dan lemah lembut, tentu membuat Zira disukai para orang tua yang tinggal. Zira tersenyum sumbang. “Kalau sudah salah ya mau tidak mau harus menerima,” jawabnya sembari meletakkan makanan yang dia ambil ke atas troli. Nirna adalah teman bekerja yang paling baik. Satu-satunya wanita yang paling dekat dengannya di tempat ini sampai seperti kerabat dekat. Namun, pertemuannya dengan Nirna hari ini harus sebentar saja karena Nirna sudah mau pulang. “jadi, apa tugas kamu sudah selesai?” lanjutnya sembari melanjutkan langkah karena Nirna pun mengikutinya. “Sisa 1. Nenek Suci seperti biasa mengajakku berjalan-jalan dulu sebelum aku pulang.” Nirna tersenyum lebar. “Jompo-jompo di sini semakin manja saja setiap harinya.” “Sttss ... Nirna. Jangan keras-keras. Nanti kalau ada yang mendengar bagaimana?” Zira sampai celingak-celinguk tidak jelas dan Nirna malah tertawa terpingkal-pingkal. Zira memang sepolos dan sepenakut itu padahal Zira tahu, jika di tempat itu tidak ada siapa pun. “Tenang saja, Zira. Tempat ini aman.” Nirna menepuk bahu Zira pelan. “oiya, aku sampai lupa mau cerita kalau panti jompo hari ini mendadak gempar.” “Gempar kenapa? Apa ada yang jatuh dari tempat tidur lagi?” “Eh bukan. Pikiranmu ini tidak ada yang lain kah, selain kakek Indra yang hiperaktif seperti bocah?” Nirna sampai memberengut dan menepuk keningnya pelan. Membuat Zira tertawa kecil karena cara bicara Nirna yang spontan dan selalu menghiburnya. “Lalu?” “Ada pangeran yang jatuh dari langit dan menginjakkan kaki di sini, Zira .... Ya Allah ... aku saja masih terbayang-bayang sama rahangnya yang tegas dan kilat matanya yang menawan.” Zira kembali tertawa. “Dalam seminggu ini, sudah 4 kali kamu memuji seorang pria dan yang terakhir salah sasaran.” Zira ingat benar bagaimana Nirna memata-matai seorang pria yang mengunjungi panti dan ternyata, pria itulah yang menjadi keluarga baru mereka. “Tapi kali ini tidak, Zira. Pria itu benar-benar tampan.” “Ya sudah. Biarkan saja. Buat apa tampan kalau tidak jadi suami kita?” “Iya juga sih.” Nirna dan Zira sampai di ujung koridor. Tempat mereka harus mengubah arah dan tujuan karena tugas, walau Nirna masih belum selesai dan masih ingin melanjutkan ceritanya. “Zira, besok ada waktu tidak? Aku mau mengajakmu jalan-jalan.” Topik pembicaraan mereka berubah sebelum benar-benar berpisah. Zira terdiam sejenak. Ingin menolak tetapi tidak enak. Menerima pun enggan dia lakukan karena weekend, adalah waktunya menghabiskan waktu bersama Dirga di rumah. “Maaf, Nirna. Mungkin lain kali saja karena besok, aku sudah membuat janji dengan seseorang.” “Baiklah. Jika sudah ada waktu, beritahu aku ya?” “Tentu saja.” Keduanya pun melanjutkan langkah di arah berbeda. Zira dengan troli yang dia bawa, mendatangi kamar yang terdapat dalam daftar tugasnya satu-persatu. Menyapa para orang tua yang dia temui sebelum melakukan tugas yang lain. Berlanjut mendatangi kamar selanjutnya sampai akhirnya, dia tiba di kamar terakhir. Zira memandangi pintu kamar itu dengan seksama. Sedikit segan membuka pintu kamar itu dengan tempo cepat seperti yang lainnya karena yang berada di dalamnya bukanlah orang biasa. Tak mau membuang waktu, Zira pun menarik napasnya cukup dalam sebelum mengucap salam. Lantas membuka pintu kamar cukup lebar sampai dia melihat seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi goyang miliknya sembari membaca buku dengan kacamata berbingkai mahal. Dia adalah nenek Ratna . Salah satu penghuni panti yang termasuk dalam daftar keluarga kaya raya di kota ini. Terhitung baru beberapa minggu lamanya nenek Ratna tinggal dan sampai saat ini keberadaan wanita itu masih membuatnya segan. Padahal sebelumnya tidak seperti ini. Dirinya dan nenek Ratna begitu dekat, sampai-sampai dia merasa memiliki nenek kandung sendiri karena wanita itu sangat menyayanginya. Baru setelah nenek Ratna dipindah ruangan dan dia mengetahui statusnya, ada jarak yang sengaja dia buat karena sadar diri akan batasannya, “Selamat siang, Nyonya,” sapa Zira sembari mengambil langkah dan sedetik kemudian wanita paruh baya itu menjawab. “Nenek Ratna seperti biasa, Hazira. Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan seperti itu.” Wanita tua itu menatap Zira dengan sudut matanya yang tajam. Membuat nyali Zira sedikit ciut sama seperti beberapa menit yang lalu kala bertabrakan dengan pria asing itu. Satu hal yang Zira tahu dari pembawaan nenek Ratna yang tegas itu. Yakni kemungkinan besarnya, nenek Ratna adalah wanita karier yang mendominasi di masa mudanya, pun kenyataan pasti jika wanita itu berpengaruh untuk orang-orang terkait. Hanya, yang membuatnya heran sampai saat ini adalah. Kenapa nenek Ratna harus tinggal di tempat ini? Wanita tua itu masih segar bugar. Tidak memiliki keterbatasan apa-apa dan bisa melakukan semuanya tanpa bantuan siapa-siapa. Bisa dibilang, nenek Ratna sangat tidak cocok tinggal di tempat ini. Yang dia tahu, Nenek Ratna pun masih memiliki keluarga yang lengkap. Apakah salah satu keluarga nenek Ratna lah yang memaksanya meninggalkan rumah? Zira melemparkan senyuman ramah begitu mendorong troli yang dia bawa hingga akhirnya sampai di dekat nenek Ratna yang sudah meletakkan buku bacaannya. Lantas menunggunya dengan senyuman yang terlihat menyenangkan. Wanita paruh baya itu memang sangat terampil mengganti ekspresi di wajahnya dan jujur, dia sangat mengaguminya. “Maaf, karena makan siangnya terlambat, Nek,” ucap Zira sedikit tak enak hati. Jika saja tidak terjadi insiden seperti tadi, mungkin nenek Ratna sudah menikmati makan siangnya saat ini. Nenek Ratna tersenyum tipis kemudian mengusap lengan Zira yang tertutup sempurna dengan lembut. Di panti jompo ini, hanya Zira seorang yang membuatnya senang karena wanita itu memiliki hati yang tulus. Zira tidak pernah membedakan status para orang tua yang tinggal di panti jompo ini dan melayani mereka sepenuh hati. Sebelumnya, dia juga tidak begitu dekat dengan Zira. Menganggap Zira sama seperti pekerja lainnya yang sebatas menjadi perawat saja. Lalu, tingkah laku Zira yang dengan senang hati merawatnya walaupun dia tinggal di kamar orang-orang biasa dan selalu menuruti permintaannya, pun membuatnya berubah pikiran. Saat itu juga dia meminta pindah ke kamar yang putranya minta sedari lama. Tentu dengan Zira yang dia minta, dipindah tugaskan juga. “Tidak apa-apa, Hazira. Lagi pula aku sudah makan. Cucuku menjengukku dan membawakanku makanan,” jawab nenek Ratna senang sehingga membuat Zira berbinar dibuatnya. “akhirnya dia pulang juga setelah sekian lama.” Nenek Ratna memang pernah bercerita, jika dia memiliki seorang cucu yang sangat dia banggakan. Hanya saja, cucunya sedang bepergian ke Singapura untuk waktu yang cukup lama sehingga membuat keduanya terpisah. Hanya anak nenek Ratna yang bernama Tuan Malik lah yang sering datang dan pernah sekali bertemu dengannya. Tidak ayal, anggota keluarga kaya raya memang memiliki kesibukan sendiri-sendiri yang tidak bisa ditinggalkan. “Alhamdulillah. Jadi cucu Nenek sudah kembali dari Singapura?” tanya Zira antusias. Melihat nenek Ratna bahagia tentu saja dia ikut senang. “Iya, Zira. Dia datang tadi pagi dan langsung menjengukku di sini.” Nenek Ratna berusaha bangkit dari duduknya dan Zira lekas membantunya. Wanita tua itu duduk di tepi ranjang kemudian menunjuk sebuah tas berwarna coklat yang tergeletak. “Buka tas itu, Zira. Ada banyak makanan yang bisa kamu bawa pulang dan jangan menolak,” ucap nenek Ratna bersemangat. Berharap Zira tidak menolak pemberiannya seperti yang biasa gadis muda itu lakukan. “Nenek, tidak perlu seperti ini. Makanannya nenek simpan saja atau dibagikan kepada yang lain.” “Yang lain punya bagiannya masing-masing, Hazira dan hari ini aku mau pulang ke rumah. Sebentar saja karena cucuku memintanya dan aku tidak bisa menolak.” Nenek Ratna menjeda perkataannya. Lagi-lagi memandang Hazira lekat kemudian melanjutkan. “jadi, mohon diterima ya?” Tidak punya pilihan lain, akhirnya Zira mengangguk. Tidak enak juga karena nenek Ratna sampai memohon padanya seperti tadi. “Baiklah, Nek. Terima kasih banyak.” Tiba-tiba saja, Zira teringat pada Dirga. Dirga selalu senang saat dia bawakan makanan dan nanti malam, reaksinya pastilah sama. “Lalu, apa yang bisa aku lakukan sebelum, Nenek pulang?” “Tidak ada. Cukup duduk di sini dan hela napasmu sejenak. Kamu pasti lelah karena bekerja tanpa jeda.” “Tapi—“ “Sudah ... duduk saja, Zira.” Nenek Ratna menarik tangan Zira sedikit paksa sehingga membuat Zira terduduk di tepi ranjang seperti keinginannya. Wanita tua itu pun mengajukan pertanyaan yang mengganggunya sejak tadi pagi. “apa yang membuatmu mengambil shift kedua hari ini?” Ada rasa tidak senang yang terdengar. “kamu tahu? Aku sampai malas ikut olahraga kalau tidak ada kamu.” Lanjut nenek Ratna terang-terangan. Namun, belum sampai Zira menjawab. Ketukan pintu yang terdengar, menyusul suara berat yang menggema memenuhi ruangan, pun membuat obrolan keduanya terjeda. “Apakah kita bisa pulang sekarang?” Zira lekas bangkit dari posisinya. Apa yang dia lakukan, bisa saja dianggap tidak sopan mengingat status wanita paruh baya itu yang berada jauh di atas kastanya. Cepat-cepat dia memutar tubuhnya kemudian menjauh beberapa langkah dari sisi ranjang. Namun, alangkah terperanjatnya dia kala pandangannya tak sengaja bersitatap dengan pria—yang tak lain adalah pria yang baru saja ditabraknya. Dia? Zira menekan salivanya kasar. Nyatanya, dia sudah menciptakan masalah dengan seseorang yang mungkin saja adalah .... Cucu nenek Ratna? Ya Allah ... bagaimana ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD