FIRST CALL

1007 Words
“Hanya itu yang bisa kau lakukan, hm?” Pria berjas itu menatap bosan kepada wanita berambut pirang yang mencoba mencari perhatiannya dengan cara menggerakan tubuh. Seductive, melebur mengikuti irama yang sebenarnya tidak singkron sama sekali dengan ketukan. Bagi si wanita pirang, itu tak masalah, yang penting terlihat meyakinkan–satu kata murahan yang diperhalus. Jika wanita pirang itu ikut acara bakat, sudah pasti keamanan akan mendendangnya keluar tanpa bertanya terlebih dahulu apa maksudnya menari seperti boneka rusak tak berotak. Tapi, si wanita pirang tahu kelebihannya–memang bukan tampil di acara bakat. Wanita itu menggerakan bokongnya bukan untuk mendapatkan tepuk tangan penonton di acara televisi, melainkan bekerja dengan tubuhnya–berharap para eksekutif berkantung tebal akan menghamburkan dan sengaja melemparkan beberapa lembar dollar kepadanya, ke arahnya yang sedang menari. Pria itu semakin bosan, dan merasa tidak menemukan kesenangan sama sekali. “Dayton bilang kau terbaik di sini. Aku tidak lihat hal mengesankan selain pinggul milikmu yang aku yakini sudah dipermak beberapa kali,” katanya terdengar seperti penghinaan dibanding pujian. Tapi si pirang tidak akan protes meski ia tersinggung. Pria-pria seperti itu lah yang membuatnya memiliki uang untuk mempertahankan atau merubah bentuk tubuhnya. Kau harus siap menghadapi apa pun untuk mendapatkan apa pun. “I’m sorry, Sir.” Si wanita pirang berhenti menggerakan tubuhnya, ia berdiri dengan sensual menghadap sang Tuan yang membeli waktunya malam ini. Gaun ketat berwarna merah dan gerakan pinggulnya sepertinya tidak membuat pria itu terkesan. “I hate sorry.” Pria itu berdecak kepada Bellatrix, si wanita pirang. Bellatrix diberi tahu oleh Boss-nya bahwa ada tamu spesial yang harus ia temani. Dan karena Bellatrix sangat pandai menjaga rahasia selain memuaskan para pria, ia ditunjuk untuk membuat William Addison Charles mendapatkan kesenangan. Tetapi, ekspresi bosan milik pria itu membuatnya sedikit tidak percaya diri. “Kalau begitu aku tidak akan meminta maaf untuk malam ini karena Anda akan aku bawa ke surga, Tuan.” Bellatrix menghampiri Liam, berlutut di hadapan pria itu yang duduk di sofa seolah itu adalah singgasana pria itu dan Bellatrix siap mengabdi. Melakukan apa saja untuk Liam. “Kembali berdiri di sana, lalu lepaskan pakaianmu.” Suara dominan dari Liam terdengar ingin dituruti. “And touch yourself. Gunakan jarimu, masukkan ke tempat lembab yang membuatmu mendapatkan uang.” Bellatrix mengangguk. Ia kembali ke tempatnya, lima langkah di depan Liam. Gaunnya ia lucuti dari bahu, menurunkannya melewati bagian tubuh atasnya sampai pinggang lau benar-benar terlepas. Liam mengamati wanita pirang itu yang membuka seluruh kain yang menutupi tubuhnya. “Go ahead.” Liam memberikan persetujuan agar wanita pirang itu menyentuh dirinya sendiri bersamaan dengan Liam menyenderkan tubuhnya pada belakang sofa. Mengamati Bellatrix yang mencoba mengerahkan seluruh pengalamannya bekerja selama ini. Bellatrix bermain-main dengan jari-jarinya. Tangan kiri sengaja membelai yang berada di antara kakinya, sedangkan tangan kanan menggoda mata Liam dengan dua aset tubuh atasnya yang penuh dan bulat sempurna. Liam tidak menunjukkan ekspresi apa pun, masih datar seperti lima belas menit lalu, dan si wanita pirang tetap menyentuh dirinya sendiri. Bahkan kini mengeluarkan suara desahan yang tidak asli, yang ia pelajari dari menonton banyak film porno. “Come here,” Liam membuat perintah lain dengan tangan kanannya. Bellatrik menurut. Wanita itu berjalan perlahan tanpa mengelurkan jarinya sebab ia takut Liam tidak menyukainya. Liam berdiri, menatap ke bawah, mengusap tangan kiri Bellatrix lalu mengambilnya. Dua jari Bellatrix yang basah ia bawa ke depan bibir wanita itu. “Lick it,” ujarnya dengan jelas. Bellatrix membuka mulutnya, memasukkan dua jarinya sendiri ketika pergelangan tangannya digenggam kuat oleh Liam. wanita pirang itu mengulum jari-jarinya dihadapan Liam, dan tidak memutuskan tatapan. Memberi tahu Liam bahwa ia melakukan ini untuk pria itu. “Good girl.” Liam menyeringai. “Tapi kau masih sangat membosankan. Aku tidak menyetubuhi wanita penurut yang membosankan.” Liam membenarkan jas hitamnya yang mewah, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Bellatrix selalu suka uang, maka dari itu ia bekerja seperti ini. Namun detik ini ia takut Liam mengadukannya kepada atasannya tentang kewajibannya yang tidak memuaskan. “Sir, maafkan saya jika saya–” “I hate sorry.” Liam memotong, membuat Bellatrix langsung menutup mulutnya. “Ambil uangnya dan pergi dari sini.” Bellatrix mengangguk. Dengan cepat ia memakai gaun ketatnya kembali lalu pergi meninggalkan Liam yang juga keluar dari kamar seharga lima ratus dollar untuk satu malam. Liam turun menggunakan lift menuju Paradise–club malam private di Los Angeles–untuk menemui adiknya yang sedang menyapa tamu-tamu dari kalangan elit. “Dayton, aku akan pulang.” Liam bisa saja mengirim pesan untuk itu, namun ia ingin menunjukkan kepada adiknya bahwa apa yang Dayton tawarkan malam ini tidak membuatnya tertarik. “Kak, tunggu!” Pria yang tingginya sama dengan Liam namun lebih muda sepuluh tahun itu berlari ke arah kakaknya. “Bellatrix tidak memuaskanmu?” “Kau sebut wanita membosankan itu Ratu di sini?” Liam mendengus kepada Dayton Iefan Charles, adiknya. Sekaligus pemilik hotel dan juga penyedia jasa wanita-wanita seperti Bellatrix. “Bellatrix membuat para VVIP aku kembali ke Paradise. Dia memang Ratu.” Dayton sangat bangga dengan asetnya, namun sepertinya kakaknya tidak berpikir yang sama. Sangat sulit membuat pria seperti William Addison Charles merasa terkesan. “Apa Kakak mau aku carikan wanita lain?” tawar Dayton. “Aku akan pulang.” Liam berkata final sehingga adiknya tidak melanjutkan percakapan. Ketika Liam keluar dari Paradise, ponselnya berbunyi. Satu kontak yang tidak penah ia berani hubungi lima tahun lamanya kini tertera pada layar. Liam diam beberapa detik untuk meyakinkan dirinya bahwa orang yang meneleponnya benar-benar wanita itu. Emily Laurel, cinta pertamanya, cinta dalam hidupnya. “Hallo?” Liam akhirnya menerima panggilan dengan kecanggungan pada suaranya. “Will…” suara Emily, Emily-nya, terdengar sangat sendu. Hanya Emily yang memanggilnya seperti itu. “Emily? Ada apa?” Liam merasa khawatir. Lima tahun adalah waktu yang sangat lama untuk berbicara lagi. Apa yang menjadi alasan Emily meneleponnya? “Will, apa kamu bisa ke Boston?” Emily mulai terisak. “Ada satu hal yang ingin aku katakan kepada kamu. Sangat penting. Please, temui aku di Boston, William.” []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD