“Jackson kamu mau ke mana?” teriak Sofia ketika melihat putaran yang membawa koper menuruni anak tangga.
Namun Jackson tidak menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh Sofia.
Di dalam hatinya sudah terlanjur sakit, kerena mendengar bahwa Mamanya tidak mengharapkan Maita dan malah menjadi di usir seperti sekarang.
“Biarkan dia menebus kesalahan yang telah dia perbuat,” ujar Hirano.
“Jackson, berani kamu keluar dari pintu Mama tidak akan mengakui kamu sebagai anak Mama lagi!” ancam Sofia.
“Lebih baik seperti itu Ma, daripada Mama tidak mengakui calon cucu Mama. Asal Mama tahu karena Mama tidak memberitahu Jackson mengenai kehamilan Maita, dia menjadi diusir oleh Ayahnya. Setega itukah hati Mama sebagai seorang ibu dan Nenek, di mama naluri Mama sebagai seorang ibu?” bentak Jackson.
Tatapan matanya membuat d**a Sofia mendadak sakit dan nyeri.
Jackson dengan cepat meninggalkan Mama dan Papanya menuju ke Bandara.
Bahkan dia sama sekali tidak memperdulikan teriakan dari Sofia.
“Maafkan Jeckson Ma, kali ini aku harus mengejar mimpiku sambil mencari Maita,” lirih Jackson sembari memejamkan matanya, lalu ia menghirup udara sebanyak mungkin guna menghilangkan sesak yang memenuhi dadanya.
“Antar saya ke bandara Pak!” kata Jackson kepada supir pribadi sang Papa.
Tiba-tiba saja Jacson mengingat masa-masa di mana dia bertemu pertama kali dengan Maita.
Kenangan manis bersama dengan Maita sama sekali tidak bisa dia lupakan.
“Maita, awal pertemuan kita pertama kali bukanlah hal yang disengaja. Sejak saat itu, hari-hariku selalu terasa sejalan denganmu. Hanya kamu yang selalu ada di saat aku butuh dan rapuh. Apakah kamu tahu aku di sini sangat merindukan kamu. Ketika kamu pergi, aku hanya sendiri melawan sepi. Tak tahu harus melakukan apa tanpa kehadiran dirimu. Aku yakin, meskipun kamu jauh hatimu akan tetap selalu untukku, aku yakin dengan hal itu. Aku di sini tak sanggup menahan rindu yang begitu dalam kepadamu, apakah kamu di sana juga merasakan hal yang sama? Aku tak berniat meragukan cintamu, tapi jika aku boleh jujur aku sengaja menanam benih cinta kita ketika kita melakukan hal yang tak seharusnya kala itu. Aku berharap kita bisa menyatu dan segera menikah. Sayangnya aku lupa memberikan kabar kepadamu ketika aku pergi ke luar negri kala itu. Suatu hal yang hanya bisa menjadi sesal di dalam hstiku saat ini. Jaga anak kita, aku pasti akan kembali dan menemukan kamu suatu hari nanti,” kata Jackson di dalam hatinya.
Sepanjang perjalanan menuju ke Bandara, Jackson tak henti-hentinya menatap keluar jendela.
Harapannya hanya satu. Bisa bertemu dengan Maita di jalan dan langsung membawanya pergi bersama.
Namun sepertinya harapan itu harus dikubur dengan sia-sia.
Maita sudah jauh berada di benua lain dengan dirinya.
Tujuan Jackson saat ini adalah Harvard di Cambridge.
Dia berpikir jika tidak melanjutkan pendidikannya maka suatu hari nanti jika dia bertemu kembali dengan Maita dirinya bukanlah siapa-siapa.
Dia juga yakin jika Maita saat ini baik-baik saja.
.
.
Maita terbangun dari tidurnya.
Jam menunjukkan pukul satu dini hari waktu setempat.
Maita bangun dari tidurnya.
Entah mengapa dirinya tidak bisa melanjutkan tidurnya saat ini.
Maita berjalan menuju balkon kamarnya.
Embusan angin menelusup menusuk hingga ke sela-sela kulitnya.
Udara malam hari yang dingin dan segar membuatnya merasakan kesegaran di malam hari.
Dia mendadak kepikiran tentang Bundanya.
Maita kembali ke dalam kamar mengambil ponselnya.
Dia berusaha mencari-cari kontak Bunda tercintanya.
Ingin sekali dia menanyakan kabar atau hanya sekadar mendengar suaranya saja.
Rasa rindunya saat ini sudah tidak bisa dibendung lagi olehnya.
Namun ketika Maita sudah menemukan kontak sang Bunda dirinya mendadak ragu, antara mau dan tidak berbicara kepada ibunya.
Dengan membulatkan tekad akhirnya dia men-dial nomor sang Bunda.
Nada sambung sudah mulai terdengar, namun sepertinya usahanya kali ini tidak berhasil.
Tidak ada jawaban dari seberang sana.
Dia mencoba mengulang sekali lagi.
“Halo?” sapa orang dari seberang telepon.
“Bunda.” Ucapan itu tidak bisa keluar dari bibir Maita saat ini.
“Halo ... halo? ini siapa ya?” ucapnaya dengan lembut.
Maita masih bergeming tanpa merespon sama sekali.
Baginya mendengar suaranya saja sudah cukup untuk menghilangkan rasa rindu di dalam hatinya.
“Halooo ... kenapa tidak menjawab ya, Maita?” kata sang bunda menebak di ujung kalimatnya.
Deg
Butiran bening berhasil lolos membasahi pipi Maita.
Dengan cepat Maita menyapu cairan basah itu menggunakan jemarinya.
Maita segera memutuskan menyudahi sambungan teleponnya.
“Bunda, maafkan Mai ... karena tidak bisa menyapa Bunda. Bagi Mai semua tiru tidak penting, mendengar suara Bunda sudah membuat hati Mai menjadi lebih baik dan tenang,” gumam Maita.
Omar keluar menuju ke balkon kamarnya.
Kamar Omar terletak bersebelahan dengan kamar Maita.
Jika Omar duduk di balkon maka Balkon kamar Maita anak terlihat dengan jelas dari tempatnya.
“Kamu ngapain di situ Caroll?” tanya Omar.
Maita yang kaget malah menjatuhkan ponselnya dan pecah berhambur menjadi beberapa bagian.
“Maaf, membuat kamu kaget. Aku akan ke situ,” kata Omar.
“Tidak perlu, aku baik-baik saja,” tolak Maita.
“Tapi wajahmu menggambarkan jika kamu tidak baik sama sekali Caroll,” sergah Omar seolah tidak mau kalah dari Maita.
Tanpa menunggu persetujuan dari Maita, Omar segera berjalan menuju ke kamar Maita.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Omar menginterogasi.
“Tidak ada,” elak Maita.
“Oh ... tidak ada ya,” sindir Omar menyerigai.
“Beneran tidak ada Omar,” kata Maita yang masih mengelak.
“Terus ngapain kamu di sini jalan-jalan begini?” selidik Omar menaikkan sebelah alisnya.
“Aa ... aku ..., lagi ... lagi nyari angin segar,” jelas Maita yang berusaha mengalihkan arah pembicaraan mereka.
“Angin malam tidak bagus untuk kesehatan kamu Caroll, ayo masuk dan aku akan membuatku kamu coklat hangat,” ajak Omar.
Tanpa menolak atau membantah perkataan Omar, Maita segera berjalan membuntuti Omar menuju ke dapur.
“Semalam kaku tidak makan, pasti kamu lapar kan?” tanga Omar.
“Iya, aku ketiduran. Maaf ya,” sesal Maita.
“Kenapa minta Maaf sih, aku tidak marah Kok,” jelas Omar.
“Karena aku malah tidur ketika kamu membuatkan aku makanan,” jelas Maita.
“Sudah nggak usah di bahas lagi, kamu sekarang duduk dan tunggu sebentar. Aku siapkan makan untuk kamu,” jelas Omar.
Maita segera menuruti perkataan Omar.
“Besok pagi, kita ke obgyn kita belum memeriksakan kandungan kamu,” jelas Omar.
“Iya kamu benar, tapi aku harus bagaimana nanti?” tanya Maita dengan polosnya.
“Ya kaku tinggal ikuti semua perintah dokternya, nanti kan juga akan diperiksa,” jelas Omar.
Omar segera menaruh dua cangkir coklat hangat dan segera mengambil sandwich yang sudah dia buat semalam.
Omar menaruhnya di dalam kulkas agata ketika Maita bangun dia bisa memakan sandwich buatannya.
“Ini, kamu makan dulu. Biar ada isi perutmu dan anakmu bisa makan juga,” jelas Omar.
Tanpa berpikir panjang, Maita segera melahap semua makanan yang disediakan oleh Omar, tanpa sisa sedikitpun.
Omar hanya menatap Maita tanpa berkedip sedikitpun.
Namun sepertinya Maita sama sekali tidak merasa jika dirinya diperhatikan oleh Omar.
“Stop memandangi nya Omar,” teriak Omar di dalam hatinya kepada dirinya sendiri.
Dia segera menggelengkan kepalanya berharap segera sadar, jika yang dia lakukan tidaklah benar.
“Kenapa kamu?” tanya Maita, heran menatap tingkah Omar yang menurut dia aneh.
“Tidak hanya meranggangkan leher saja. Silahkan di lanjut aku akan kembali tidur,” kata Omar berlalu meninggalkan Maita sendirian.
“Aaaaa ... Omar!” jerit Maita.