“Aduh,” rintih Maita lalu segera melempar pisau yang ada di tangannya.
Omar yang melihat Maita kesakitan segera melihat dengan panik.
“Caroll, kamu okey?” tanya Omar.
“Perih.”
Omar segera mengambil sebuah kotak obat dengan sigap.
“Jangan dijilat!” tariak Omar ketika melihat Maita hendak menjilat darah di jarinya.
Omar segera meraih jemari Maita lalu segera memberikan pertolongan pertama.
“Lain kali hati-hati dong, mulai sekarang kamu tidak usah berada di dapur lagi. Biarkan aku yang menyiapkan segalanya untukmu!”
“Tapi kan.”
“Tidak ada tapi-tapian, lihatlah baru saja kamu memegang pisau kamu sudah terluka. Aku tidak sanggup melihat kamu menangis karena sakit,” potong omar sambil menyelesaikan perawatan di tangan Maita.
“Iya aku nggak akan pegang pisau lagi,” gumam Maita kecewa.
“Kamu duduk di sini saja, biar aku yang memasak untukmu,” jelas Omar.
Dengan cepat Omar segera menyelesaikan kegiatannya di dapur.
“Makanan sudah siap,” kata Omar berjalan mendekati Maita yang sedang menonton televisi.
“Lah ... kok tidur,” lirih Omar menatap ke arah Maita yang tertidur dengan posisi tidak nyaman.
Omar ingin membiarkan Maita tetap terlelap dalam mimpinya.
Namun mengingat Maita lapar membuat dia mengurungkan niatnya.
“Carol, bangun!” bisik Omar di samping telinga Maita.
“Hem ...,” gumamnya tanpa membuka Mata.
Perut Maita terasa lapar namun matanya tidak bisa diajak kerja sama.
“Caroll, bangun! Kamu harus makan!” ujar Omar mengulang.
Namun bukannya mendapat jawaban dari Maita, wanita itu malah semakin terlelap.
“Bikin ribet saja,” gumam Omar.
Dia segera mengangkat Maita menuju ke kamarnya. Omar menaruh Mata di atas tempat tidurnya.
Omar menatap wajah cantik Maita dengan lekat.
Seolah terhipnotis dengan kecantikan yang dimiliki oleh Maita membuat Omar merasakan glenyeran aneh do dalam dadanya.
Meskipun Omar sering menggoda Maita untuk menikahi dirinya, namun perasaan Omar yang sebenarnya masih abu-abu.
Omar memiliki trauma menjalin hubungan dengan wanita.
Jika dia mengajak Maita untuk menikah itu karena dirinya tidak ingin anak yang lahir nanti tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua yang lengkap.
“Kamu ceroboh, kamu wanita paling sembrono yang pernah aku temui,” gumam Omar menatap wajah Maita.
Lelaki itu duduk di lantai sembari mengamati wajah Maita.
“Kenapa kamu bisa percaya semudah itu kepadaku, bahkan kita baru bertemu dan kamu mau ikut denganku. Jika ternyata aku adalah orang yang jahat. Apakah kamu masih akan mempercayai ku?” tanya Omar di dalam hatinya.
Kali ini lelaki itu tidak berani mengucapkan kata-katanya. Ia takut jika Maita mendengar apa yang dia ucapkan.
Omar segera meninggalkan Maita lalu melanjutkan makan malamnya yang tertunda.
.
.
Kediaman Yukihiro.
Hirano menarik kenop pintu kamar Jackson.
“Jackson, Papa ingin berbicara kepada kamu sekarang!” ujar Hirano kepada putranya.
“Baik Pa.” Jackson segera keluar menuju ke ruang kerja sang Papa.
Saat ini Jackson sedang berdiri di hadapan sang Papa.
“Ada apa Pa?”
“Kapan kamu akan kembali ke luar negri?” tanya Hirano.
“Jackson masih belum memutuskannya Pa?”
“Why?” Hirano menatap Jackson seolah meminta penjelasan dari putranya.
“Itu, karena.”
“Apa? kamu duduk di sini,” titah Hirano menepuk kursi kosong di sampingnya.
Tanpa berpikir panjang Jackson segera duduk di samping sang Papa.
“Jackson mau cerita ke Papa,” katanya ragu.
“Katakanlah!”
“Jackson menghamili Maita Pa,” lirihnya penuh penyesalan.
“Kau harus bertanggung jawab!” bentak Hirano.
“Iya Pa aku pasti bertanggung jawab, masalahnya.” Jackson menghentikan ucapannya lalu melihat ke arah sang Papa.
“Apa katakanlah. Papa selalu mengajari kamu agar selalu berhati-hati ketika melakukan apapun, termasuk dalam hal percintaan mu itu. Apa kamu tahu jika kamu telah merusak masa depan anak orang,” cecar Hirano.
“Iya Pa, maafkan aku. Aku tahu kalo itu salah, masalahnya Jackson tidak tahu keberadaan Maita. Dia diusir Pa, aku harus bagaimana?” kata Jackson dengan panik.
“Aku beri waktu kamu dua hari segera cari dan temukan kekasihmu! biar bagaimanapun dia mengandung cucuku. Dasar anak bodoh!” bentak Hirano.
Jackson hanya tergugu di tempat duduknya, ia tak tahu harus mencari ke mana lagi.
Mata sipitnya kini telah menjadi sembab dan berkantung karena kurang tidur dan sering menangis.
Penampilan maskulin dan keadaannya berubah menjadi tidak karuan karena jarang mandi.
“Jadilah lelaki yang bertanggung jawab dengan apa yang telah kamu buat. Bagaimana aku bisa mempercayaimu untuk mengambil alih Yukihiro grup jika kamu saja tidak bisa bertanggung jawab dengan hal-hal di dalam hidupmu. Di sana banyak orang yang harus kamu tanggung hidupnya. Jangan menjadi lelaki yang lemah. Jika kamu tidak menemukan kekasihku dalam waktu dekat, sudah Papa putuskan kamu harus kembali ke luar negri dan melanjutkan pendidikan mu di sana!” tutur Hirano.
Pria paruh baya itu meninggalkan putranya dalam keadaan tidak baik.
Ia tidak ingin memanjakan Putranya seperti istrinya.
“Sofia!” teriak Hirano.
Pria keturunan Jepang asli itu memang lahir di Indonesia, sehingga dalam berbicara dia sangat fasih.
Namun jika orang melihatnya pertama kali pasti akan mengira jika Hirano tidak bisa berbahasa indonesia.
“Kenapa sayang?” jawab Sofia saat keluar dari kamarnya.
“Lihat, beginikah caramu mendidik putramu, hah ...?”
“Apa maksud dari ucapanmu?” tanya Sofia yang begitu heran, kenapa tiba-tiba saja suaminya yang selalu bersikap lembut kepada dirinya malah membentaknya dan memarahinya tidak jelas.
“Karena didikanmu dan perlakuan mu yang selalu memanjakan anakmu, dia menjadi pria yang kurang ajar!” teriak Hirano.
“Apa maksudmu, tidak udah berbelit-belit Hirano!” kata Sofia yang tidak terima dengan bentakan Hirano.
“Anakmu, dia menghamili kekasihnya!”
“Aku sudah tahu,” jawab Sofia dengan santai.
“Kau sudah tahu dan kau diam saja!” kata Hirano kaget.
“Ya ... tentu aku tahu, karena gadis itu sempat ke sini. Aku sudah membuat kesepakatan bagusnya dengannya, namun dia cukup naif dan malah ingin mempertahankan bayinya itu,” ujar Sofia dengan begitu santai nya.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Sofia. Bahkan wanita itu sampai menoleh ke arah samping karena kerasnya tamparan Hirano kepada dirinya. Pelakunya tak lain adalah Hirano sendiri.
“Hah.” Sofia nampak menyunggingkan senyum memyerigainya.
Seolah harga dirinya telah runtuh di hadapan sang suami.
“Stop Ma, Pa!” teriak Jackson.
“Diam kamu! semua ini gara-gara kamu!” bentak Hirano.
“Kamu membela perempuan yang telah merusak masa depan anakmu? hah!”
“Dia mengandung cucu kita Sofia! Anak dari Jackson, bisa-bisanya kamu mengatai dia seperti ini. Di mana nuranimu?” ujar Hirano
“Cucu kita? bayi itu bukan cucu kita tapi anak haram!” teriak Sofia.
“Stop Ma, berhenti mengatai anakku sebagai anak haram!” ujar Jackson yang tidak terima.
“Kamu juga membela wanita itu?” kata Sofia menyunggingkan senyum sinisnya.
“Hentikan semua ini, jika mama tidak mengakui anak kami, maka jangan salahkan jika Jackson juga tidak akan menganggap keberadaan Mama saat ini,” ujar Jackson.
Dia segera pergi berlalu meninggalkan kedua orang tuanya.
Jackson segera mengemasi barang- barangnya untuk dia bawa pergi kembali ke luar negri.