“Perasaan aku pernah melihat orang yang berada di samping omar tadi deh, tapi di mana ya?” gumam Maita yang saat ini sedang berdiri di balkon menatap kosong.
Entah kenapa dia begitu tertarik dengan foto yang berada di ruang tamu Omar.
“Ah ... sepertinya aku mengenal orang yang tadi, atau aku salah?”
Antara benar atau salah, Maita hanya menebak-nebak.
Wajah yang menurutnya familiar baginya tadi memang seperti wajah Jackson kekasihnya yang menghilang entah kemana.
Maita tidak begitu yakin, karena posisi foto dengan angle yang tidak begitu jelas.
Bagaimana tidak, posisi orang yang ada di foto bersama dengan Omar sedang membelakangi kamera dan menutupi wajahnya menggunakan telapak tangannya.
“Tapi jika benar itu Jackson, ada hubungan apa dia dengan Omar? ataukah hanya mirip saja, kan manusia di dunia ini begitu banyak dan memang banyak yang memiliki wajah hampir sama,” lanjut Maita yang masih saja bergumam sendirian.
Maita kembali ke dalam kamar lalu berusaha memejamkan matanya.
Namun ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
Perut Maita kini serasa diaduk-aduk.
Perutnya mendadak menjadi mual, dia segera berlari menuju kamar mandi.
“Hoek ... hoek ...,”
Omar yang tidak sengaja lewat di depan kamar Maitapun mulai penasaran dengan keadaan wanita hamil itu.
“Carol ... kamu tidak apa-apa?” teriak Omar dari luar sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Maita.
Namun lelaki itu tidak mendapatkan jawaban apapun dari dalam.
“Carol ... buka pintunya!” teriak Omar yang mulai meninggi.
“Hoek ...,” Maita ingin sekali membukakan pintu untuk Omar namun perutnya kini tidak bisa diajak kompromi.
“Maita Carolina ... kamu mendengatku?” teriak Omar yang terlihat mulai panik di depan kamar Maita.
“Duh ... kenapa lagi dia?” kata Omar sambil mondar-mandir di depan pintu kamar Maita.
“Hah ... padahal aku barusaja makan, tapi semuanya ha bisa dalam waktu sekejap,” cuma Mati yang terlihat sangat lemas saat ini.
Dengan langkah perlahan wanita itu berjalan menuju ke arah pintu.
Perlahan-lahan Maita menarik tuas, membukakan pintu untuk Omar.
Melihat pintu terbuka Omar segera menghampiri Maita.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Omar yang dengan reflek menangkap kedua pipi Maita.
Deg.
Tiba-tiba saja Omar langsung tersadar saat itu juga.
“Maaf, aku hanya panik mendengar kamu ...,” kata Omar yang segera melepaskan tangannya dari pipi Maita.
Omar nampak begitu canggung, dan kini dia hanya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak terasa gatal sama sekali.
“Maaf, sudah membuatmu khawatir. Aku hanya mengeluarkan sedikit makanan saja,” jelas Maita yang terlihat mulai lemas.
“Kamu yakin?” tanya Omar menaikkan sebelah alisnya, memastikan.
“I ... hugh,” Maita segera berlari meninggalkan Omar sambil memegang mulutnya.
“Ck ... begini bilang baik-baik saja, dasar sok kuat. Lihat saja kamu yang bikin anak orang menderita. Jika kamu kembali tidak akan aku biarkan kamu bertemu dengan anakmu!” Gumam Omar sembari memasuki kamar Maita untuk menyusul wanita hamil itu.
“Kan aku sudah bilang, kalo butuh apa-apa kamu bisa panggil aku,” kata Omar sembari memijit-mijit tengkuk Maita.
Sementara itu Maita masih belum berhenti mengeluarkan isi perutnya, bahkan hingga isi yang terakhir dan bahkan asam lambung Maita juga terasa ikut keluar.
“Ini nggak bener deh, kamu harus ke rumah sakit Carol!” kata Omar.
Maita menggeleng, ia bahkan sudah tidak mampu berkata-kata saat ini.
Omar membantu Maita berdiri lalu membawanya menuju ke kasur.
Saat hendak pergi Maita mencekal tangan Omar.
“Jangan bawa aku ke rumah sakit,” kata Maita sedikit memohon.
“Dengan keadaan kamu seperti ini?” Omar nampak menaikkan sebelah alisnya.
“Aku nggak mau ke rumah sakit, siapa yang akan bayar semua tagihannya?” tanya Maita dengan begitu polosnya.
Ya ... secara dia kan tidak memiliki uang sepeserpun.
“Kenapa alasanmu malah membuat aku ingin tertawa Carol. Kamu meremehkan Omar?” ujar Omar sembari menatap Maita.
Maita hanya mengangguk.
“Ck ... ya sudah kalau kamu tidak mau. Aku keluar sebentar. Ini aku sudah membelikan kamu ponsel baru beserta dengan nomernya, maaf tadi siang aku mengagetkanku,” kata Omar memberikan sebuah ponsel yang dia keluarkan dari saku celananya.
Bukannya menerima ponsel pemberian Omar, Maita malah menangis tergugu di atas ranjang.
“Hei ... kenapa malah menangis sih?” kata Omar yang mulai bingung dengan keadaan Maita saat ini.
Ya jelas saja Omar bingung, secara jomblo akut sepertinya mana tahu memperlakukan wanita.
Omar berjalan mendekati Maita.
“Jangan menangis dong, aku kan jadi bingung.”
”Terimakasih ... sudah mau menampung dan membantuku. Padahal kamu bukan siapa-siapa, tapi kamu baik banget sama aku. Ngomong-ngomong kamu bukan penjual perempuan kan?” tanya Maita dengan polosnya di akhir kalimat.
“Astaga ... jadi selama ini kamu berpikir aku seorang kriminal yang jahat?” selidik Omar.
Maita mengangguk pelan.
”Dengarkan aku Maita Carolina, jika aku orang jahat yang ada niat menjualmu, kenapa aku nggak memakaimu atau mengikatmu?” tanya Omar kemudian.
“Yah ... mana tau kan sekarang banyak orang jahat,” jelas Maita.
“Ehem ... tadi siang, siapa yang minta diculik terus di buang ke palung lautan ya?” sindir Omar sembari berjalan meninggalkan Maita tak lupa dia menutup pintu kamar Maita.
“Hem ... dasar aneh, dia kira aku lelaki apaan?” gerutu Omar.
Dirinya segera mengirim pesan singkat ke nomor Maita.
(Jangan kunci pintu kamar, aku akan mencari obat di apotek sebentar. Jika butuh sesuatu jangan sungkan untuk menelpon aku)
Maita yang mendengar sebuah notifikasi pesan masuk dari ponselnya, dengan cepat dirinya meraih benda pipih itu lalu membaca pesan Omar sambil tersenyum geli.
“Bisa-bisanya aku berkata hal se konyol itu,” gumam Maita.
.
Sementara itu Omar segera menuju apotek yang paling dekat dari rumahnya.
”Saya beli semua yang ada di list ini mbak,” kata Omar yang mengulurkan sebuah catatan kepada apoteker wanita itu.
“Boleh saya tahu anda membeli semua ini untuk apa?” tanya apoteker itu dengan sedikit ragu.
Omar memberikan sebuah kartu nama miliknya kepada apoteker itu.
“Saya dokter Mbak, di rumah sedang ada yang sakit. Oh ... Tuhan apakah tampangku memang tidak mencerminkan seorang dokter,” gerutut Omar.
“Oh ... maaf dok, saya tidak tahu,” jawab apoteker wanita itu.
Dengan cepat dirinya segera mengambil semua yang telah di catat oleh Omar.
Sesekali apoteker wanita itu mencuri pandang kepada Omar.
Padahal tujuannya meminta penjelasan untuk apa obat-obatan yang di beli omar tak lain ingin mengajak Okar berbicara.
Namun ternyata dia malah mendapatkan jeckpot dengan tambahan nomor telepon Omar.
Omar memang terkenal di kalangan perempuan dan ibu-ibu di area komplek dirinya tinggal saat ini.
Namun omar memang terbilang lelaki yang sangat cuek.
Bahkan banyak perawat dan dokter wanita yang berusaha mendekati dirinya.
Namun Omar yang tidak peka itu malah menganggap semua perhatian dan kebaikan para wanita di sekelilingnya sebagai bentuk dari keberuntungannya.
Dia yang hidup sendiri dibrantau merasa ada yang memperhatikan dengan cara memberikan dirinya makanan gratis dan bahkan camilan juga.
Emang dasar Omar.
Si lelaki tidak peka.
Omar segera pulang dan segera memasuki rumah dengan terburu-buru.
Dirinya takut jika Carolnya mengalami hal yang tidak diinginkan.
Omar mengetuk pintu kamar Maita yang tidak dikunci.
Namun tidak ada jawaban dari Maita.
Perlahan-lahan omar membuka pintu kamar Maita lalu berjalan mendekatinya.
“Carol?” kata Omar pelan berusaha membangunkan Maita dengan sabar.
“Hem ...,” gumam Maita.
“Kita pasang infus sebentar yuk, biar kamu nggak lemes besok,” kata Omar.
“Jackson ... jangan pergi lagi dari aku. Aku benar-benar membutuhkan kamu. Kamu bilang jika aku hamil, kamu akan bertanggung jawab,” ujar Maita di dalam tidurnya.
Deg.
“Dasar Jackson berengsek!” gumam Omar dengan penuh emosi.
Tanpa terasa di dalam d**a Omar terasa sedikit nyeri.
Apalagi melihat wajah polos Maita yang dia rasa tidak berdosa ini.