Part 6

1151 Words
Ketika Maita terbangun dari tidurnya, dia merasakan ada yang aneh ketika membuka matanya. pandangan matanya tertuju kepada lelaki yang tertidur dengan pulasnya di sampingnya. “Omar?” gumam Maita. Lelaki itu tertidur dengan posisi yang kurang nyaman menurut Maita. “Sejak kapan infus ini terpasang di tanganku?” lirih Maita yang menyadari ternyata di tangannya sudah terpasang infus. “Sejak semalam,” kata Omar dengan mata yang masih tertutup rapat. “Maaf ... aku malah merepotkan kamu,” kata Maita. Omar mulai duduk memposisikan dirinya. Lelaki itu mulai merentangkan kedua tangannya, meluruskan sedi-sendinya yang terasa kaku karena posisi tidur yang salah. “Hoam ... jawngan minta maaf, melihatmu dengan wajah memucat malah akan membuatku menjadi tidak tenang. Apalagi kamu tidur dengan keadaan perut kosong. Aneh banget sih kamu, aku bangunkan berkali-kali bahkan sampai aku tusuk jarum kamu nggak bangun juga. Tidur apa mati?” gerutu Omar sambil beranjak meninggalkan Maita. Sementara itu, Maita nampak tersipu malu menyadari kelakuan minusnya. Setelah Omar benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Maita terlihat memejamkan kedua bola matanya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Mai-Mai, kenapa sih ... sehari aja nggak buat malu diri sendiri di depan orang,” gerutu Maita merututki kebodohannya. Maita menatap ke arah Infus yang terpasang di tangannya. “Ini gimana lepasnya? aku mau mandi gimana ceritanya?” ujar Maita yang nampak terlihat bingung. . Setelah selesai dengan mandi paginya, Maita keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk. Tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh seseorang. “Sarapannya sudah siap,” kata Omar yang belom sadar sepenuhnya dengan apa yang ada di hadapannya. “Aaaa ... apa yang kamu lakukan!” teriak Maita sambil memegang handuknya, takut jika terjatuh sewaktu-waktu. “Oopss ... maaf,” kata Omar yang langsung menutup pintu kembali tanpa rasa bersalahnya. “Bisa-bisanya dia masuk tanpa mengetuk pintu,” gerutu Maita. Sementara itu Omar yang berada di luar pintu masih menatap bingung. “Aneh ... dia sendiri yang tidak mengunci pintu, kenapa dia juga yang marah,” ujar Omar lalu menuju ke meja makan. Lima belas menit berlalu Maita masih belum menampakkan diri di meja maka. Padahal Omar sudah merasa sangat lapar menunggu wanita hamil itu. “Jangan bilang dia tidur mati lagi,” ujar Omar berusaha menebak-nebak. Saat Omar hendak beranjak dari kursinya, Maita sudah keluar dari arah pintu kamarnya. “Akhirnya cacing di perutku akan segera berhenti berdemo,” lirik Omar. Maita berjalan mendekati Omar. “Maaf sudah menunggu lama,” jelas Maita dengan raut wajah bersalahnya. “Its oke. Aku kira kamu kembali tidur,” kata Omar sambil memberi Maita piring. “Maaf, aku kesulitan memakai baju gara-gara ini,” jelas Maita sembari menunjukkan infus yang menempel di tangannya. “Kenapa tidak bilang, kan aku bisa melepaskannya dulu,” jelas Omar. “Gimana mau bilang kamu anda sudah keluar duluan,” kesal Maita. “Ya sudah makan dulu ini,” kata Omar yang sudah menyiapkan sarapan untuk Maita. “Tidak ada nasi untukku?” tanya Maita heran. “Yogurt dan buah akan mengurangi mual pada ibu hamil, aku tidak tega jika membarimu makanan berat sepagi ini. Mulai hari ini menu yang akan kamu makan aku yang akan siapkan semuanya!” jelas Omar. “Kalo begini mana kenyang,” gerutu Maita. “Jangan cerewet, makan dulu ... aku sudah menyiapkan menu yang sehat untuk kamu,” jelas Omar. “Iya maaf, aduh ... kenapa aku jadi nggak bersyukur gini sih,” gumam Maita yang masih bisa di dengar oleh Omar. “Jangan sungkan denganku, kita akan tinggal bersama beberapa tahun ke depan. Satu lagi, kamu jangan khawatir jika aku akan jatuh cinta kepadamu,” jelas Omar. Maita nampak mengerutkan dahinya mencerna perkataan Omar. Ya kali siapa yang mau jatuh cinta dengan Maita, secara prinsip hidup Omar hanya kerja dan senang-senang. Tidak ada istilah menikah ataupun pacaran. Dirinya menolong Maita hanya semata-mata karena kasihan saja. “Terserah anda saja lah,” kata Maita. Dalam waktu singkat Maita sudah menghabiskan semua makanan yang ada di hadapannya. “Hari ini kita ke kantor imigrasi ya ... urusan paspor harus kita selesaikan segera,” jelas Omar. “Iya ... aku akan bersiap,” kata Maita. . Maita dan Omar bertolak menuju ke kantor imigrasi terdekat. “Ada yang ingin kamu makan?” tangan Omar yang masih fokus menatap jalanan kota Samarinda. “Enggak ada. Aku takut jika muntah lagi kalo makan,” jelas Maita. “Oke ... nanti saja kalo pulang, aku akan bawa beli minuman jahe,” jelas Omar. Mereka akhirnya sampai di kantor Imigrasi. “Ayo!” ajak Omar. Mereka memasuki kantor secara beriringan. “Loh ... Mai,” sapa salah seorang teman Maita. Deg Entah mengapa pertemuan Maita dengan temannya malah membuatnya merasa tidak nyaman. “Sudah ganti sama Om-om,” sindir teman sekolah Maita. “Maksud anda saya tua?” kata Omar yang langsung berdiri tepat di hadapan lelaki muda itu. “Sudah ... jangan diladenin,” kata Maita sambil memegangi lengan Omar. “Bukan sih ... lebih tepatnya dewasa,” kata teman Maita yang begitu kurang ajar itu. “Jangan di ladeni, nanti yang ada masalahnya makin panjang,” jelas Maita sedikit berbisik. “Kenapa memangnya jika dia ganti sama Om-om? bukankah Om-om seperti saya ini lebih mapan dan banyak di cari,” telak Omar. Hening. Sesaat suasana menjadi aneh dan tidak bersahabat. “Ayo sayang, kita akan segera mengurus paspor dan berbulan madu keliling dunia,” ujar Omar sembari meraih pundak Maita berlalu meninggalkan teman Maita yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Sayang, bulan madu?” kata Selin yang masih tidak bisa berpikir jernih setelah mendengar ucapan pria yang bersama dengan Maita. “Jika dia bersama dengan pria lain dan akan berbulan madu, berarti dia sudah putus dong dengan Jackson?” ujar Selin. “kesempaatan bagus nih buat aku dapetin Jackson,” seringai Selin. Kemudian dia segera meninggalkan kantor imigrasi dan berniat ingin menyebarkan berita bohong yang dia dengar dari Omar. “Kamu apa-apaan sih?” kata Maita dengan raut wajah kesalnya, tangannya tak lupa menepis lengan Omar dari pundaknya. “Kenapa ...? aku hanya membantumu menyingkirkan manusia tidak berguna seperti temanmu tadi,” jelas Omar sambil terkekeh tanpa dosa. “Bukan begitu cara mengusirnya Tuan Omar,” kata Maita dengan penekanan di akhir kalimat, sembari mengemerutukkan gigi-giginya. “Hai ... santai dong. Kamu takut dia akan menyebarkan gosip murahan?” tanya Omar dengan santai nya. “Tentu saja dia akan menyebarkan gosip-gosip murahan itu. Apalagi dia memang di kenal sebagai biang kerok dan rau gosip di sekolah.” “Sudah ku kayaknya kamu tenang saja. Aku akan bertanggung jawab dengan semua yang terjadi kepadamu, kita akan berangkat secepatnya dan kamu tidak akan mendengar gosip murahan itu lagi,” tekan Omar. Lelaki itu segera berlalu meninggalkan Maita menuju pusat pelayanan di kantor imigrasi. Dengan kekuatan uang, Omar bahkan bisa menerbitkan paspor untuk Maita dalam waktu kurang dari satu minggu. . “Besok kita akan berangkat, bersiaplah dan segera kemasi barang-barang mu!” ujar Omar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD