Part 19

1131 Words
Maita berjalan menuju ke kelasnya perlahan-lahan. Langkah kakinya mendadak menjadi berat ketika perutnya terasa sakit. “Mai, kamu Oke?” tanya Desy salah seorang mahasiswi yang berasal dari Indonesia juga. Maita masih bergeming menahan rasa sakit yang tiba-tiba melanda. Maita memang pundak Desy lalu mencengkramnya dengan kuat. “Kamu mau melahirkan Mai?” ujar Desy. Maita hanya mengangguk. “Kamu duduk di sini dulu aku akan cari pertolongan,” kata Desy. Maita segera mengambil ponsel miliknya lalu segera menghubungi Omar. Maita kini sudah dikerumni oleh orang-orang. . Ambulance datang tetapi Omar belum juga muncul, ada sedikit rasa khawatir di dalam hati Maita saat ini. Ia berharap jika Omar segera datang untuk sekadar menemani dirinya di perjalanan ke rumah sakit. Omar berlari menuju ke kampus Maita. Beruntung ketika Omar sampai, Maita hendak dimasukkan ke dalam Ambulance. “Excusme ....” Omar mencoba menerobos masuk ke dalam untuk menenangkan keadaan Maita. “Omar,” gumam Maita Ada sedikit garapan terpancar di wajah Maita saat ini. Omar segera menenrobos masuk dan duduk di samping Maita. “Kamu ngeyel,” kata Omar sambil memencet hidung Maita. “Maaf, aku baru saja merasakan kontraksi. Memang tadi pagi belum terasa sama sekali,” lirik Maita yang terlihat sangat lemah. “Kamu masih kuat kan?” tanya Omar tidak yakin. “Insyaallah ... aku akan berusaha kuat demi anakku. Jangan pergi ya,” lirih Maita sembari menggenggam jemari Omar. “Iya, aku tidak akan pergi. Apapun yang terjadi aku akan selalu menemani kamu,” kata Omar menenangkan. Sesekali Maita merasakan sakit akibat kontraksi yang dia rasakan. “Omar, ma ... sih jauh ...?” rintih Maita. “Sebentar lagi sampai,” sahut Omar sambil mengelus punggung Maita. “Tarik napas lalu keluarkan. pelan-pelan saja, saat perutmu terasa sakit,” jelas Omar. “Omar, jika aku mati.” “Tidak ada yg akan mati Caroll!” potong Omar dengan tatapan nyalangnya. “Tapi ini sakit Omar,” rintih Maita lagi. “Siapa yang suruh buat anak?” ketus Omar. Maita kesal lalu mencengkram lengan pria itu dengan kuat. “Aduuu ... duh ... sakit Carol, kalo kamu tidak tenang aku akan menyuntikkan obat tidur buatmu!” ancam Omar. “Kamu mau aku mati?” selama Maita. “Daripada kamu cerewet begini,” gerutu Omar. “Sudah diam, aku yang kesakitan malah kamu yang ribut,” rajuk Maita. “Iya deh maaf, calon ibu jangan suka marah-marah nanti kamu cepet tua,” ejek Omar. . . Kini Omar hanya bisa menunggu Maita melahirkan anaknya di dalam ruang bersalin sendirian. Omar masih mondar-mandir seperti gasing. “Kenapa lama sekali sih?” gerutu Omar ketika menyadari persalinan Maita sangatlah lama. Seorang perawat perempuan keluar dengan senyuman mengembang menghampiri Omar. “Congratulations Mr. Omar, your baby is a girl.” *Selamat pak Omar, anak anda perempuan. “Thank you sus, may I come in to see how it is?” tanya Omar penuh harap. ia tidak sabar untuk melihat anak Maita saat ini. *Terimakasih sus, apakah saya boleh masuk untuk melihat keadaannya? “Of course, go ahead.” *Tentu saja silahkan. Omar memasuki ruangan bersalin, sementara itu para dokter dan perawat masih membereskan semua perlengkapan yang digunakan untuk membantu Maita melahirkan. “Hai!” sapa Omar kepada Maita yang masih terlihat lemah. “Hai Om ... mar,” lirih Maita. “Hai, you look so beautiful Baby,” lirik Omar di hadapan bayi mungil itu. *Hai, kamu terlihat sangat cantik Sayang. Maita tersenyum melihat Omar memuji putrinya. . Omar sudah memindahkan Maita ke ruang rawat VVIP di rumah sakit tempat dia bekerja. “Carol, kamu akan menamai siapa anak manis ini?” tanya Omar penasaran. Maita nampak berpikir sejenak untuk menyusun nama yang cocok bagi putri kecilnya. “Mecca, aku ingin menamainya Mecca. Aku mengambil dari kata Mekkah, yang dijadikan oleh umat muslim sebagai kiblat. Aku ingin putriku kelak menjadi seorang yang rendah hati, berbudi luhur dan menyayangi sesamanya. Serta manjadi kesayangan bagi orang di sekitarnya,” jelas Maita dengan mata berkaca-kaca. “Nama yang bagus, hanya itu saja?” tanya Omar. “Aku ingin menambah namaku dan nama belakang Jackson,” jelas Maita. Deg. Omar terdiam beberapa saat. Dunianya serasa berhenti, biar bagaimanapun dirinya juga tidak memiliki hak untuk sekadar menamai anak Maita “Untuk namamu di belakang aku setuju Caroll, tapi.” Omar melirik ke arah Maita sesaat. “Why?” “Kenapa nama si kunyuk juga kamu sertakan?” protes Omar. “Karna dia ayahnya, Omar,” tegas Maita. “Ayah yang tidak berusaha mencari keberadaan kalian?” potong Omar dengan kesal. “Maafkan aku, aku sangat mencintainya,” jelas Maita. “Sorry,” lirih Omar berlalu meninggalkan Maita di dalam kamar sendiri. Maita merasa heran dengan apa yang baru saja Omar lakukan. Dirinya tidak menyangka jika lelaki itu benar-benar berharap ka pada dirinya. . Omar berjalan menuju ke arah taman, menghirup udara sebanyak mungkin lalu segera mengembuskannya dengan keras. “Caroll, sampai kapan kamu tidak akan pernah melihatku!” teriak Omar. Seketika itu juga semua mata tertuju ke arahnya. Tiba-tiba saja ponsel Omar berdering. “s**t, kenapa dia menelponku di saat seperti ini,” gerutu Omar. “Halo!” “Kanapa lagi?” tanya Omar sedikit kesal. “Apakah anaknya sudah lahir?” tanya orang di seberang sana. “Kenapa anda tidak melihatnya sendiri saja,” cetus Omar tanpa memikirkan ucapannya. “Oh ... begitu caramu sekarang ya, jika itu maumu, jangan salahkan jika kamu tidak menemukan Maita dan putrinya besok,” ancam orang di seberang telepon. “Berani anda mengambil atau menyakiti mereka, maka akan kupastikan hidup anda tidak akan tenang,” kata Omar mengancam balik. Panggilan itu segera diakhiri oleh Omar. Omar segera kembali menuju ke kamar Maita. Tanpa Omar sadari, pergerakannya dari tadi memang sudah diperhatikan oleh sepasang mata elang dari kejauhan. Omar mengetuk pintu beberapa kali. “Masuk!" teriak Maita. Omar duduk di samping Maita terbaring saat ini. “Caroll, maafkan aku ya,” lirih Omar. “Aku yang seharusnya minta maaf, dan terimakasih juga. Karnamu aku bisa melakukan semua keinginanku, tanpa mengorbankan putri kecilku. Jika saja dulu aku tidak bertemu denganmu di jembatan. Sudah aku pastikan saat ini aku menderita di dalam Neraka, tanpa membagikan hukuman kepada Jackson.” Omar segera menutup mulut Maita menggunakan jari telunjuknya. Netral keduanya beradu untuk beberapa saat. “Jangan katakan atau kamu sebut nama lelaki lain jika sedang bersama denganku, Caroll. Jangan pernah,” lirih Omar. “Tolong berikan aku kesempatan, dan cobalah kamu buka sedikit saja hatimu untukku,” lirih Omar penuh harap. “Tapi.” Omar kembali menempelkan jari telunjuknya di bibir tipis Maita. “Aku belum selesai berbicara, jangan suka memotong perkataanku. Dengarkan jika tidak aku akan menciummu!” ancam Omar. “Kamu tidak akan berani melakukan itu,” ejek Maita dengan penuh percaya diri. Omar menangkup wajah Maita lalu mendekatkan bibirnya ke arah Maita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD