ENAM

1137 Words
Seperti yang sudah seharusnya, Bekerja membantu Yura melupakan sejenak kekalutan dan ketakutannya akan pertemuan dengan Ramada di hari sebelumnya. Pekerjaan yang ditinggalkannya seharian kemarin hari ini menumpuk, membuat nya sibuk hingga jam tiga sore harinya. Dia melihat antrian di komputernya yang tersambung pada mesin pencetak nomor antrian di samping pintu masuk Bank. "Dua lagi. Akhirnya." Desahnya lega memencet tombol mouse nya dan bunyi suara statis mezin memanggil nomor antrian selanjutnya untuk datang ke mejanya terdengar. Selama menunggu nasabah selanjutnya sampai di mejanya, dia menyibukkan dirinya dengan hal lain. Ini hal biasa baginya. Sejak ada Nael, dia terbiasa untuk melakukan beberapa hal secara bersamaan dengan fokus yang tinggi. Itu agar dia bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu dan bisa menjemput Nael tepat waktu juga dari daycare nya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu…." Senyumnya membeku, dan sapaan ramahnya juga berakhir menggantung di udara. Matanya memandang nanar pada sosok di depannya. "Yura." Ramada. Orang yang sedang duduk di depannya ini adalah Ramada. Yura melirik gugup pada rekan CS di sekitarnya. Mereka semua sama - sama sibuk masing - masing dengan satu nasabah bank mereka. Sepertinya tak ada seorangpun yang bisa dia ajak tukeran nasabah. Dia menelan ludahnya gugup, meyakinkan dirinya bahwa dia sedang berada di kantor dan Ramada nggak akan bisa berbuat macam - macam padanya. Jadi dia berdehem dan kembali memasang senyum profesionalnya. "Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Dia berdoa semoga bibirnya tidak bergetar karena saat ini tangannya dan kakinya sudah panas dingin ketakutan. "Jadi selama ini kamu di sini? Kenapa kamu nggak pernah pulang." Yura berkedip kaget. Mungkin karena lama tak pernah bertemu atau karena mereka sudah beranjak dewasa, gaya bicara Ramada juga sudah berubah. Dulu dia tak ber aku kamu an dengan Yura. Seringnya mereka ber lo gue karena itu terasa lebih akrab namun tetap berjarak untuk mereka. Jarak yang memang seharusnya karena ada Amanda yang harus mereka jaga perasaannya. "Ada yang bisa saya bantu, Bapak? Keluhannya seputar pelayanan kami?" Yura mengulang lagi pertanyaannya dan mengabaikan pertanyaan Ramada. "Kakak kamu nyariin. Mama berpulang tahun lalu. Sakit. Stroke. Kami berusaha menghubungi dan mencari kamu, tapi nggak ada hasilnya." Ramada juga sama, mengacuhkan pertanyaan Yura dan terus saja dengan monolognya. Saat mendengar Mama tirinya telah tiada, Yura sedikit lemas, tak menyangka. Tapi dia sedang di kantor. Dia harus tetap profesional. Jadi dia akan mengabaikannya saat ini. "Kalau tidak ada hal lain yang ingin dibantu atau disampaikan, mohon maaf Pak, silakan bergeser untuk antrian selanjutnya." "Kamu tinggal di mana di sini? Aku anter pulang ya, kamu pulang jam berapa?"  "Maaf, Pak, silakan bergeser jika tidak ada lagi yang perlu kami bantu." Dia mengatakan itu dengan suara yang agak melengking karena ketakutan sehingga membuat beberapa rekan kerja yang duduk di dekatnya menoleh. Ramada juga menyadari hal itu sehingga dia tidak punya pilihan lain selain beranjak pergi dari sana. Sepeninggal Ramada, dia segera membalik papan namanya menjadi 'next counter, please' dan buru - buru menuju toilet.  Dia langsung masuk ke salah satu bilik dan langsung terduduk lemas di atas kloset yang tertutup. Tangannya mengusap rambut panjangnya yang kini teegelung rapi dan terlihat profesional. "Ya Tuhan…. Tolong hamba… harus bagaimana hamba menghadapi keadaan ini." *** Sisa hari itu dilewati Yura dengan linglung. Meskipun dia ingat dia pulang kantor dan menjemput Nael dari daycare untuk pulang ke rumah, tapi dia tidak bisa mengingat detailnya. Bagaimana dia menyelesaikan pekerjaannya. Bertemu siapa saja dia selama berjalan ke parkiran, apa warna langit saat dia melewati persawahan di dekat kantornya, apa warna baju Mbak Arum hari ini, hingga adakah Mak Iah di luar saat dia sampai di kontrakan tadi. Semuanya blur dan tak jelas. Pertemuan kembali dengan Ramada membuat Yura seperti komputer yang terkena bug. Tak bisa berfungsi normal sebagai mana mestinya.  Dia takut. Banyak hal yang dia takutkan akan terjadi setelah ini.  Dia khawatir kalau Ramada akan membawa Kakak dan juga Papanya kemari. Rindu, tentu saja. Tapi penolakan dan pengusiran yang dulu dia terima masih membekas amat dalam di hatinya. Dia takut juga hal serupa akan terjadi lagi.  Dia tahu Ramada dan kakak tirinya Amanda sudah menikah sejak empat tahun yang lalu. Dia bukan benar - benar pergi tanpa menoleh ke belakang. Jaman sudah terlalu modern. Banyak social media yang bisa digunakan. Seperti dirinya yang diam - diam membuat akun social media baru hanya untuk stalking social media kakaknya. Dari situlah dia tahu bahwa  Kakaknya sudah menikah dengan Ramada.  Dia tidak tahu tentang Mama tirinya, karena Kakaknya tidak memposting apapun tentang hal itu. Dia hanya pernah memposting status galau tentang kehilangan tahun lalu. Mungkin saat itu. "Maa, gosong loh nanti tempenya." Seruan Nael membuat Yura tersadar.  Dengan gugup dia langsung mematikan kompor dan mengangkat tempe goreng yang akan menjadi lauk makan makan malam mereka kali ini. Tempe goreng dengan terong balado ekstra tomat. Meskipun seharusnya balado tidak pakai tomat, tapi karena Nael ikut makan, jadi Yura memodifikasi resepnya sendiri atas dasar kreativitas. "Maa melamun lagi."  Dia tersenyum pada Nael yang lagi - lagi menegurnya dengan wajah digalak - galakkan. Mirip seperti Yura saat dia berusaha menegur Nael. "Maaf ya, Maa lagibagak capek." "Makan. Minum banyak, terus tidur, Maa." Nael memberikan resep istirahatnya dengan mantap. Wajah polos putranya yang serius itu membuatnya terkekeh sambil mengangguk - angguk. "Iya, makan terus tidur ya. Yuk makam dulu. Nael ada PR nggak?" Pdia kecil itu terlihat ragu - ragu sejenak. Dia ada PR, menuliskan huruf R. Huruf yang menurutnya oaking susah karena memiliki lengkungan dan garis yang kompleks. Dia butuh Ibunya untuk membimbing. Tapi kalau dia bilang ada, nanti Ibunya tidak jadi istirahat dan malah akan mendampingi dia mengerjakan PR nya.  Apa sebaiknya dia tak perlu mengerjakan PR? Mungkin dia bisa bilang pada gurunya besok kalau dia ketiduran? Dia belum pernah tidak mengerjakan PR. Mungkin dia akan di strap. Disuruh berdiri di depan kelas saat pelajaran berlangsung. Sekali saja tentu tak masalah kan. Malam ini ibunya butuh istirahat. "Nael? Kalau ada, bang ada, kalau nggak ada, berarti nggak ada." Yura menegur pelan. Bocah lelaki itu meringis menggaruk rambutnya. Meringis bingung. Yura menggeleng. Apa sebenarnya yang menjadi konflik batin Nael saat ini? "Cuci tangan, makan dulu habis itu kerjain PR sama Maa, okay?" *** Selesai makan, Nael terpaksa mengeluarkan ransel sekolah dan mengeluarkan apa yang dibutuhkannya untuk mengerjakan PR kali ini.  Yura duduk diam memperhatikan. Dia membiasakan Nael untuk mandiri sejak dini. Jadi dia bisa menyiapkan apa yang menjadi kebutuhan dasarnya sendiri secara sederhana. "Nulis huruf R?" Tanyanya. Nael mengangguk. Tampak kurang bersemangat. Tapi tetap menurut untuk mengerjakan tugasnya.  Saat sedang serius mengerjakan tugasnya, mendadak pintu depan diketuk oleh seseorang. Dua kepala dengan mata yang mirip itu menoleh berbarengan ke arah pintu. "Ada tamu." Nael berbisik. "Nael tetep di sini, Maa buka pintu dulu." Nael mengangguk dan Yura segera beranjak menuju pintu dan membukanya.  Sama sekali tak menyangka akan melihat orang yang sekarang sedang berdiri di depan pintunya saat ini. Bagaimana mungkin dia tau di mana dia tinggal?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD