Yura mematung dengan wajah pucat pasi melihat siapa yang datang ke kontrakan mungilnya.
Melihat Maa nya yang tak kunjung kembali dari membukakan pintu untuk tamu mereka, Nael akhirnya menyusul ke depan. Dia menelengkan kepalanya melihat Maa nya hanya berdiri saja di depan pintu dan tidak mempersilakan tamunya masuk. Tumben, pikirnya.
“Maa?”
Yura tersentak, kemudian memandang ngeri pada Ramada yang sekarang melongok ke balik pintu rumahnya dengan pandangan ingin tahu. Nggak! Nggak boleh! Mereka nggak boleh ketemu sekarang! Yura belum siap!
Dengan sigap dia bermaksud menutup pintu rumahnya, namun kalah cepat dengan gerakan Ramada. Mereka saling tatap. Yura dengan pandangan terbelalak ketakutan dan Ramada dengan pandangan ingin tahu dan curiga.
Sementara itu di dalam, nael yang melihat ibunya terlihat aneh dari belakang, menghampiri dan menarik ujung daster rumahan yang dipakai Yura pelan.
“Maa, kenapa?”
Tindakan Nael itu justru malah membuat semua usaha Yura sia - sia karena Nael sekarang malah berhadapan langsung dengan Ramada.
“Tamunya nggak Maa suruh masuk?”
“Maa?”
***
Yura duduk gelisah di sofa kecil yang dibelinya sebagai pemanis di ruang tamunya. Benar, pemanis. Karena sofa tersebut nyaris tidak pernah menerima tamu sejak dibelinya beberapa tahun lalu. Di seberangnya, Ramada duduk diam memandanginya. Sosoknya yang tinggi dengan bahu lebar tampak terlalu besar bagi sofa mungilnya.
Dia sudah menyuruh Nael kembali ke ruang belakang, ke ruang makan yang menjadi satu dengan dapur untuk mengerjakan PR nya setelah sebelumnya berjanji akan mengecek begitu Nael selesai.
“Anak kecil tadi… anak siapa?”
Pertanyaan yang diucapkan dengan pelan itu terdengar bagaikan letupan peluru di telinga Yura, hingga mampu membuatnya terlonjak. Matanya menatap gugup pada apa saja yang ada di ruang tamunya selain pada manik hitam nan tegas milik Ramada. Sungguh, saat ini Yura bingung setengah mati. Bagaimana caranya dia menjawab pertanyaan Ramada tentang siapa Nael?
“Anak asuhku.” Jawabnya tanpa berpikir beberapa saat kemudian.
“Anak asuh?”
Yura mengangguk. Berharap Nael tidak mendengar jawabannya karena apapun yang dikatakannya saat ini hanya akan menyakiti hati Nael. Tapi pilihan yang dia punya hanya itu. Pilihan lainnya adalah untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi dia tidak bisa, dia takut Ramada tak akan mempercayai ceritanya dan menolak mereka berdua. Lebih baik tidak diakui daripada meminta pengakuan tapi tak diberikan.
Yura tak ingin merasa sakit dan hancur lagi seperti dulu. Dia tahu, dia egois, tapi dia juga tahu kalau dia hancur, maka tak akan ada yang melindungi Nael lagi.
“Hmm. Kesepian pas awal kesini. Jadi ambil anak tetangga yang butuh bantuan.”
“Mulia banget.”
Yura tak se polos itu untuk tahu bahwa kalimat pendek barusan adalah kalimat sindiran. Tapi dia diam saja. Memilih tak menanggapi kalimat Ramada lebih jauh. Lebih baik dia diam, karena saat dia berbicara, selalu ada kemungkinan bahwa dia an mengungkapkan rahasia yang dia sembunyikan di dasar hatinya. Kebenaran yang tak pernah ingin dia ungkapkan. Karena kebenaran yang dia bawa hanya akan menyakiti banyak orang.
“Berapa umurnya?”
“Enam tahun.” Entah kenapa malam ini Yura fasih sekali berbohong. Padahal biasanya dia akan tergagap - gagap parah saat mulutnya melafalkan kebohongan. “Abang mau apa ke sini. Udah malam. Nggak enak dilihat tetangga.” Dia berusaha mengusir Ramada.
“Kenapa harus nggak enak. Bilang aja Abang kamu datang berkunjung.” Ramada menjawab enteng.
Kenyataannya memang begitu. Ramada adalah Abang iparnya. Abang ipar tiri lebih tepatnya. Tapi itu jika mengesampingkan fakta bahwa pria matang ini adalah ayah biologis dari Nael, buah hatinya. Dan bahwa dia tidak memiliki debaran tertentu pada Ramada di sudut hatinya.
Bahkan setelah sekian tahun berlalu. Setelah semua rasa sakit yang dia alami, dia masih saja menyimpan getaran itu untuk Ramada. Dia membenci dirinya sendiri yang lemah karena hal itu. Sekarang ini, jika ada yang harus disalahkan, itu adalah Yura dan kebodohannya. Seharusnya dia tidak begini. Seharusnya dia tidak lemah seperti ini. Bagaimana dia bisa melindungi Nael jika dia selemah ini?!
“Tapi udah lama nggak ada yang main ke sini. Nanti ditanya - tanyain.”
“Kamu ngusir aku?”
Iya!
Tapi kata itu tidak keluar dari mulutnya.
“Cuma nggak enak aja, Bang. Lagian Abang belum terlalu hafal daerah sini, takutnya nanti malah kenapa - napa.”
Yura menguatkan diri dengan tetap menatap mata Ramada dan tidak melepaskannya terlebih dulu. Untuk membuktikan pada pria itu bahwa dia benar - benar berpikir seperti itu. Dan tidak semata - mata ingin mengusir pria ini dari kontrakannya.
“Fine.”
Hatinya bersorak senang saat akhirnya Ramada bangkit dari duduknya.
“Anakmu mana?”
Yura mendongak kaget, menatap dengan bingung pada wajah tampan yang seperti terpahat dari batu karena keindahannya tak lekang oleh waktu, .” Buat apa?”
“Mau pamitan. Masa sama ponakannya nggak pamitan mau pulang?”
“Nggak usah, Bang. Nggak perlu.” Dengan panik Yura melarangnya.
“Le?!”
Ramada mengabaikan perkataan Yura dan berseru memanggil Nael. Merasa dipanggil, Nael melongokkan kepalanya dari balik tembok.
“Nael, Om?”
“Namamu Nael?” Ramada mendekat dan berjongkok, menyamakan tingginya dengan Nael.
Melihat pemandangan itu, Yura malah merasakan sakit luar biasa di hatinya. Matanya berkaca - kaca melihat pemandangan yang mengharukan tapi amat menyakitkan tersebut. Seharusnya ini adalah hak Nael, tapi karena kesalahan di masa lalu, Yura tak dapat memberikannya pada Nael.
Yura bersyukur, karena Nael tidak memiliki sisi dominan baik dirinya maupun Ramada. Anak itu adalah kombinasi sempurna dari pertemuan dua DNA. hanya jika melihat lebih dekat dan lebih jeli, maka akan tahu bahwa mata dan alis Nael adalah pemberian Ayahnya. Serta dagu dan garis rahang yang tegas. Yura meremat tangannya, berdiri gelisah dan kaku di tempatnya, memohon agar Ramada tidak menyadari apapun tentang hal ini.
“Iya Om, Nael.
“Panggil Om Mada, ya.”
Nael menelengkan kepalanya bingung.
“Om, Suaminya Kakaknya Mamamu.”
“Maa punya kakak?”
“Punya, Kakak perempuan. Nanti nael panggil Tante, ya.”
“Nanti Om ajak ke sini?” Anaknya bertanya dengan penuh semangat.
Jangan! Jangan, tolong Tuhan.Yura memprotes dengan panik dalam hati. Sungguh. Jangan. Yura nggak akan sanggup! Sudah cukup sulit baginya bertemu dengan Ramada lagi seperti saat ini. Apalagi nanti jika ditambah dengan bertemu Kakaknya, dan melihat kemesraan mereka di depan matanya lagi.
Dulu dia merasa sakit dengan itu semua. Sekarang, saat dia mengira waktu akan membuatnya kuat dan melupakan segalanya, ternyata waktu mengkhianatinya. Perasannya masih tetap sama untuk Ramada. Dan sekarang, dengan kehadiran Neil, membuat kebutuhannya akan pria itu semakin besar.
“Nanti kalau Tantenya mau, ya. Nih, Om ada uang jajan buat kamu. Ditabung, jangan jajan banyak - banyak, okay?”
Neil mengangguk bersemangat. Neil selalu begitu saat bertemu dengan sosok pria yang menurutnya bisa dijadikan role model. Yura paham. Mungkin itu karena kebutuhannya akan figure seorang Ayah yang gagal Yura berikan dengan sempurna untuk Neil. Dan setiap kali melihat itu, hati Yura serasa tercubit sakit. Kali ini pun, sama.
“Kamu sekarang kelas berapa? Kelas satu ya?”
“TK, Om.”
“Oh, TK besar?”
“TK kecil.”
Tangan yang sedang mengelus kepala Neil terhenti. “Umur Neil berapa?”
Di belakangnya Yura sudah terbelalak ketakutan. Neil adalah anak yang jujur dan tak bisa berbohong. Dia belum bilang apapun pada Neil tentang ini. Dan neil pasti…
“Lima tahun. Om.”
… berkata yang sejujurnya.
Tuhan, sungguh, tolong, Yura!