Yura menelan ludahnya kasar mendengar kalimat itu. Dia melempar pandangan meminta tolong pada Retno, yang awalnya juga sedikit heran, tapi kemudian segera paham dan pamit pergi dari sana, meninggalkannya sendirian dengan orang ini.
“Baik, Pak. Saya permisi dulu. Mbak Yura, sama Pak Ramada langsung ya, kebetulan saya ada tugas yang belum selesai. Permisi.”
Yura tak punya pilihan lain. Sebelum dia menyadari apa terjadi, dia sudah berada di dalam sebuah ruangan besar dengan lampu terang menyala. Suara pintu tertutup di belakangnya menyadarkannya, membuatnya kembali pada kenyataan yang sempat ditinggalkannya ke dalam lamunan beberapa saat lalu.
“B-Ba ….” Dia menghentikan dirinya sendiri segera. “Pak Ra ….” Dia berdehem kecil saat nama itu tak keluar dengan mudah dari tenggorokannya. Yura kembali mencoba lagi setelah beberapa saat. “Pak Ramada, ini buku tabungan yang kami janjikan.” Dia berjalan menuju meja besar yang ada di sana dengan komputar di atasnya, dan meletakkan tumpukan buku yang dia bawa sedari tadi di sana. “Kalau begitu saya permi ….”
“Duduk, Yura.”
Yura menelan ludahnya kasar. Perutnya mulas luar biasa. Setelah semalam, kenapa cepat banget dia harus bertemu pria ini lagi? Apalagi tak ada pemberitahuan sebelumnya. Rasanya jantungnya nyaris putus dari arteri dan turun ke dasar perutnya.
“Maaf, Pak, kalau tak ada yang …”
“Duduk dulu.”
Yura ingin menolak dengan tetap bersikap profesional, tapi suara yang tegas tak ingin dibantah itu … dia tak bisa menolaknya. Setiap kali dia ingin melawannya, tubuhnya jadi gemetaran tak karuan dan hatinya menjadi gelisah. Perang batin terjadi di dalam dirinya. Perang yang bahkan tak tahu yang mana yang harus dia menangkan.
“Yura, kamu nggak lupa kan, kalo aku nggak suka dibantah?”
Yura menelan ludahnya dengan gugup. Masih sambil menunduk, dia berjalan menuju sofa yang ada di ruangan tersebut dan duduk di sana dengan tubuh kaku. Dia tak ingin berada di sini, hatinya nelangsa antara ingin bersama pria itu, atau lari sejauh - jauhnya menghindar.
"Niel…" Hati Yura melecos mendengar nama anaknya keluar dari mulut Ramada. Apakah dia sudah ketahuan oleh pria ini? Secepat ini? Langsung ketahuan tepat setelah mereka ketemu?! Mengingat usahanya melarikan dan menyembunyikan diri selama ini, dia jadi ingin menangis. Merasa tak adil. "Di mana Papanya?"
"Huh?"
Yura mendongak cepat, menatap Ramada yang berdiri di depannya bersandar pada rak display yang berisi banyak pigura, plakat dan piagam penghargaan di sana. Posturnya terlihat santai, tapi matanya menatap Yura tajam.
"Papa Niel. Kamu nggak mungkin kan, tau - tau hamil sendiri tanpa ada pasangannya? Atau Niel bukan anak kandung kamu?"
Yura menelan ludah kasar. Jantungnya berdentam keras di rongga dadanya. Kedua tangannya saling meremas di atas pangkuannya. Dia harus jawab apa? Papa Niel di sini? Di depannya? Apakah harus dia katakan hal bodoh seperti itu?! Tidak boleh!
Pria ini tak boleh tahu tentang hal itu. Dia sudah menikah dengan Kak Manda, Kakak tirinya. Ramada adalah suami orang. Dia tak mungkin menghancurkan rumah tangga orang lain. Dia tak mau. Sebesar apa pun rasanya pada pria ini, mereput apa yang sudah menjadi milik orang lain … rasanya tetap salah.
"Yura?"
"Eh…"
Ini bukan kali pertama dia ditanya hal - hal seperti ini. Bahkan sejak Niel masih di dalam kandungan, banyak yang bertanya di mana pasangannya. Biasanya dia hanya menjawab sekenanya saja jika harus. Tapi kenapa sekarang lidahnya terasa kelu? Kenapa tak keluar darinya jawaban yang biasanya?!
"Siapa dia, Ra? Siapa dia yang sudah bikin kamu harus lari dan menghindari kami semua?"
Yura semakin gugup karena Ramada bangkit meluruskan dirinya dan kini tengah bergerak pelan menuju ke arahnya.
"Bilang, Ra. Aku sekarang Abang kamu. Sudah seharusnya kita saling bantu karena kita keluarga."
Yura tertegun. Abangnya … keluarganya … itu yang harus Yura ingat. Ramada adalah Abang Iparnya! Selamanya pria itu tak akan pernah menjadi miliknya!
Kenyataan itu membuat mata Yura memanas karena sengatan air mata. Dia menjadi kaget saat menyadari Ramada sudah amat dekat darinya.
Nggak, nggak! Jangan maju! Udah, please di situ aja! Yura berteriak panik dalam hati. Dia bukan orang yang kuat imannya, dia lemah, dia takut jika Ramada memaksa maju lebih dalam lagi dia akan menyerah dan mengatakan semuanya. Lalu membuat semua hal menjadi lebih pelik dan rumit.
Yura berdoa dengan panik dalam hati. Memohon dengan sangat agar bisa keluar dari situasi ini.
Dan pertolongan pun segera datang sesaat setelah dia selesai berdoa.
Ponselnya bergetar, buru - buru dia mengambil benda tersebut dari dalam tasnya, senang karena punya alasan untuk tak berfokus pada Ramada yang kini sedang duduk di dekatnya.
Jeffry!!
"Permisi, Pak. Saya benar - benar harus kembali ke kantor sekarang. Selamat siang."
Yura tak menunggu Ramada untuk menjawab salam pamitnya dan langsung menghambur keluar dari sana.
***
Sepanjang sisa hari itu, Yura tak bisa fokus pada pekerjaannya. Dia melakukan beberapa kesalahan kecil yang biasanya tak pernah dia lakukan di kantor. Tangan dan tubuhnya tak bergerak secara otomatis seperti biasanya.
Pertemuannya dengan Ramada, pertanyaan Ramada, semuanya mengganggunya. Tapi dari semua itu, yang paling mengganggunya adalah, fakta bahwa perasaannya berdesir dan berdebar hebat pada suami orang, suami kakaknya!
Tak ada pembenaran baginya dalam hal ini. Semua kesalahan akan tertuju padanya. Orang tak akan peduli bahwa dia lah yang bertemu Ramada lebih dulu dari Amanda. Bahwa dia lah yang lebih dulu menaruh hati pada pria itu.
Mereka tak akan peduli bahwa Ramada lah yang datang ke rumahnya malam itu dan merenggut semuanya darinya; kesuciannya, masa depannya, keluarganya … mereka tak akan mau mengerti itu. Yang mereka pedulikan adalah dia yang merusak rumah tangga Kakaknya.
"Kamu udah mau pulang?"
Yura mengangguki pertanyaan Jeffry. "Di luar panas banget tadi, aku jadi agak pusing."
Wajah tampan Jeffry yang mulus sedikit berkerut karena khawatir. Dia langsung mendekat ke arah Yura. Tak perlu khawatir akan nasabah yang mungkin melihat mereka. Jam operasional mereka sudah berakhir sejak satu jam lalu, tapi jam kerja mereka baru saja berakhir.
"Mau aku anter pulang? Aku bawa mobil hari ini." tawarnya.
Yura tersenyum tipis lalu menggeleng menolak tawaran Jeffry. Dia bukan tak tahu kalau Jeffry memiliki rasa yang berbeda padanya. Kadang Yura juga merasa bersalah dan kesal pada dirinya sendiri kenapa dia tak mau membuka hati. Tapi dia juga tahu, bahwa hatinya masih terjebak pada seseorang di masa lalunya. Dan masih berlanjut hingga sekarang hampir enam tahun lamanya. Dan selama dia masih terjebak dalam masa lalu, membiarkan Jeffry ikut masuk dan membuat pria itu merasa sakit bukalah pilihan yang bagus.
Lebih baik begini. Tak ada ikatan apa pun sehingga saat Jeffry lelah menunggu, dia bisa pergi tanpa harus merasa bertanggung jawab atas perasaan Yura.
"Nggak usah, Jef. Aku mau jemput Niel dulu."
"Kamu yakin? Nanti kalau ada apa - apa gimana?"
"Nggak papa. Aku nggak sepusing itu." Yura sudah selesai mengemasi barangnya. Dia kemudian beranjak dari kursinya dan melambai pada Jeffry. "Duluan, ya. Sampai besok."
Dia pergi, meninggalkan Jeffry yang memandangnya sendu dari tempatnya.
Yura tak menghiraukan hal itu dan langsung keluar dari gedung. Perasaannya tak enak. Gelisah dan galau. Seharusnya dia tak kaget lagi, dia baru saja bertemu dengan satu - satunya orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Apa lagi memang yang seharusnya dia rasakan saat ini.
Yang jelas bukan ketakutan. Dia takut. Rahasia ini tak boleh terbongkar. Dia takut Niel ….
"Niel!"
"Maa!! Ma datang cepet hari ini!" Anak kecil itu berlari senang menyongsong Yura yang baru datang.
Melihat wajah yang amat mirip dengan pria itu, Yura tak bisa menahan diri. Dia ikut berlari dan langsung memeluk Niel erat. Air mata yang dia tahan seharian ini pecah sudah menjadi tangis.
Dia takut … Dia berharap pria itu tak pernah menyadari bahwa Niel semirip itu dengannya. Dia khawatir Niel akan diambil darinya jika Ramada tau bahwa Niel adalah anak kandungnya.
Karena Ramada dan Amanda, mereka belum memiliki keturunan dari pernikahan mereka.