Pertemuannya yang tiba - tiba dengan Ramada, kedatangan Ramada ke rumah kontrakan mereka, gosip yang mengalir dari mulut - mulut tetangga tentang dia yang menjadi simpanan om - om kaya, semua hal - hal yang mengguncang dunianya di atas sepertinya masih belum cukup dahsyat. Setibanya dia tiba di kantor, menejernya langsung memanggil Yura ke ruangannya. Perasaan Yura sedikit tak enak karenanya. Tapi toh dia tetap melangkah ke sana.
“Jangan cemberut, dong. Pagi - pagi udah sepet aja mukanya. Nggak sedep banget di pandang. Senyum dikit, naaah gitu kan cantik.” Sapaan Jeffry pagi ini membuat dia sedikit menarik sudut bibirnya yang kaku.
“Thanks.” Bisikmya penuh rasa terima kasih.
“Good luck apa pun yang Bunda Ratu sampein ke kamu nanti. Kalo butuh bantuan bilang aja.” tawarnya yang diangguki oleh Yura.
Bukan dia ingin dibantu dan mengharapkan bantuan dari Jeffry, tapi hanya sekedar formalitas saja, diiyakan biar diam.
“Ck, Bang Jeffry nih kalo sama Kak Yura baik bener. Giliran sama kita - kita minta bantuan, melet doang.” Isrina, pegawai CS yang lain menyahut dengan wajah manyun, membuatnya meringis salah tingkah.
Mungkin sebenarnya Isrina hanya bercanda sih, tapi entah kenapa Yura merasa tersindir dan jadi nggak enak sendiri. Dia segera berdiri dan meluruskan seragamnya dan pamit dari sana. Menghindari suasana canggung tak enak yang membuatnya tak nyaman.
“Aku dipanggil Bu Menejer. Duluan, ya.”
Dia berjalan pelan menuju back office kantor, tempat di mana semua kegiatan administrasi bank tempat Yura bekerja berlangsung. Jalannya pelan. Bukan sengaja dilambat - lambatkan, tapi entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah ke sana. Seolah - olah yang terpasang di kedua kakinya bukanlah sepatu fantofel, melainkan sepatu besi.
Setelah beberapa saat, pintu kayu putih itu pun tampak di depannya. Dengan ragu - ragu dia mengangkat tangan dan mengetuk permukaannya tiga kali.
“Masuk.”
“Selamat pagi, Bu. Ibu panggil saya?” Tanyanya sopan setelah menutup kembali pintu di belakangnya.
“Oh, Yura. Iya. Duduk dulu, duduk dulu. Saya selesaikan ini dulu.”
Yura menurut. Duduk di salah satu kursi di depan meja menejernya. Matanya tak sengaja mendarat pada tumpukan buku tabungan yang ada di salah satu sisi meja menejernya. Perutnya langsung mulas. Perasaannya jadi tak enak.
Ya Tuhan, jangan lagi hari ini, please… dia berdoa sepenuh hati. Meskipun itu belum tentu buku tabungan yang kemarin lusa dia setorkan pada atasannya itu… tapi tetap saja! Efek baginya itu sama.
Dia langsung memasang pose tegak saat menejernya berdehem untuk menarik perhatiannya. Kedua tangannya yang tadi sibuk membolak balik kertas dan menandatangani sesuatu kini terkait rapi di atas meja di depan tubuhnya.
Ini dia.
“Nah, Yura, saya mau minta tolong sama kamu…”
***
Satu setengah jam berlalu sejak dia dipanggil oleh menejernya, dan sekarang, di sinilah dia. Kembali ke gudang furniture yang kemarin dulu dia datangi untuk mendata karyawan yang membuka tabungan payrol di bank tempatnya bekerja.
Dia sudah sampai sejak lima menit yang lalu, tapi masih belum ingin turun dari motornya. Digigitnya bibir bawahnya dengan perasaan cemas dan gelisah. Dia sudah sampai sini. Buku tabungannya juga sudah di bawa. Terus dia harus bagaimana? Masuk?
Dia menoleh pada deretan mobil - mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya parkir di bawah pohon. Dia tak tahu jenis - jenis mobil. Dia juga tak hafal mobil apa yang dipakai Ramada kemarin. Jadi dia tak bisa memastikan apakah saat ini pria itu ada di sini atau tidak.
“Mbak Bank yang kemarin, ya?! Cari Mbak Retno?!”
Yura tersentak kaget sampai hampir jatuh dari motornya saat sebuah suara cempreng menyapa dari pintu masuk utama gudang. Di sana berdiri wanita yang rambutnya digelung asal ke atas, memakai masker dan kacamata hitam dengan baju penuh serbuk kayu.
Itu suaranya mbak tadi? Keren banget, mereka berdiri berjauhan, ada jalan raya dengan banyak mobil dan motor lalu lalang di belakangnya, tapi suara tersebut nyaris seperti di seruka di samping telinganya. Sungguh vokal yang luar biasa.
“Mbak?!”
“Eh iya iya.” Dia buru - buru turun dari motor dan membuka helmnya, kemudian setengah berlari menghampiri si perempuan bermasker dan berkacamata hitam tadi agar tak berteriak lagi. Entah kenapa dia yang malu diteriakin seperti itu padahal dia nggak ngapa - ngapain.. “Siang, Mbak. Iya, saya ke sini mau ketemu Bu Retno. Ada?”
“Oh, ada! Yuk, saya anter masuk!”
Yura merem - merem mendengar suara Mbak ini dari dekat. Sungguh luar biasa. Sauaranya mampu mengalihkan dunianya. Pengang seketika. Mungkin Mbak ini masih keturunan Bilal, jadi suaranya kencang dan membahana. Ah, lupakan. Itu hanya pikiran ngawur Yura untuk mengalihkan fokusnya, karena saat ini dia sedang amat sangat gugup.
Dia mengikuti perempuan tersebut masuk, dan lagi - lagi dia menyesal kenapa tadi tak membawa masker. Debu di sini amat tebal sehingga menggelitik bulu hidung. Salah irama nafas satu kali, bisa bersin sampai berkali - kali. Dan sejak melahirkan Nael, perut bawahnya akan terasa ngilu - ngilu kalau bersin terlalu kencang. Dia butuh posisi dan tarikan yang tepat sebelum bisa bersin. Karena hal itu, dia adi sering sekali menahan bersinnya. Dia tak punya banyak pilihan.
Mereka sampai di ruangan kantor para staff. Tak seperti di luar sini yang berisik musik dangdut dan campur sari saling bersahutan, bunyi berbagai macam mesin mengiringi gelak tawa dan celotehan para pekerja harian, di dalam sini suasana hening. Ada musik yang mengalun pelan, tapi selain itu, tak ada yang berbicara. Sunyi, bahkan cinderung ke tegang.
“Ssst!!!!”
Yura antara kaget dan menahan tawa saat bunyi ‘sst’ langsung terdengar bersahut - sahutan di seluruh penjuru ruangan ini begitu perempuan yang mengantarnya ke dalam sini membuka mulut, ingin mengabarkan maksud kedatangannya ke sini.
“Apa sih, kok pada reseh.” Ternyata pengantarnya bisa berbicara di nada normal cenderung rendah juga. Yura kira, akan selalu kencang dalam segala situasi dan kondisi. “Ini Mbak Bank cari Mbak Retno. Ya udah, aku balik.”
***
Mereka bilang Mbak Retno belum bisa diganggu karena ada pertemuan penting. Jadi Yura diminta menunggu. Dia kira pasti tak akan lama, karena tadi dia sempat bertanya pertemuannya di kantor ini. Mungkin di ruangan Mbak Retno di atas.
Tapi setelah hampir satu jam tak ada tanda - tanda Mbak Retno selesai, dia bertanya kembali pada salah satu pegawai yang ada di sana.
“Mbak, ini nggak bisa dipanggilkan dulu, kah? Saya bentar aja, kok. Atau bisa saya titip ke mbak aja?” tanyanya sopan. Ini terlalu lama. Estimasinya hanya sekitar satu setengah sampai dua jam saja untuk ke sini. Bukan selama ini.
“Ditunggu dulu ya Mbak, ya. Pertemuannya sama orang penting soalnya, kita nggak ada yang berani ganggu. Dan saya juga nggak berani dititipi kalau yang berkaitan dengan Mbak Retno. Kalu bosen, boleh kok sambil lihat - lihat kantor kami. Lantai bawah boleh untuk umum.”
Lalu nasibnya harus bagaimana? Iya kalau sebentar lagi selesai. Kalau ternyata sampai sore?! Memang sih, ini salahnya, yang asal datang saja, nggak telpon dulu dan bikin janji atau sekedar mengabarkan. Tapi ini sudah terlalu lama. Dia harus bagaimana?!
Dia terpaksa mundur saat staff yang dia tanyai tadi sudah kembali sibuk pada pekerjaannya. Mungkin buar nggak ditanya - tanya lagi oleh Yura. Tahu bahwa dia tak punya pilihan, akhirnya dia memutuskan untuk keliling - keliling kantor ini saja. Kata staff tadi yang bawah terbuka untuk umum. Dia asal berjalan saja menyusuri lorong yang berisi sejarah meuble dan perkayuan. Dia sedang membaca tentang sejarah tentang kayu Stigi, Dewandaru dan Kalimasada yang berasal dari kepulauan Karimunjawa saat pintu di belakangnya tiba - tiba terbuka.
“Oh, Mbak Yura. Kok nggak ngabarin mau dateng.”
Bukan suara dan sosok Mbak Retno yang membuat matanya melebar. Tapi sosok tegap tinggi di belakangnya yang juga menatapnya tepat di kedua matanya.
“Kamu lanjutkan yang tadi saya bilang. Anda, Yura? Bisa masuk sebentar? Ada yang ingin saya bahas mengenai produk bank anda.”