Giani tersenyum manis menatap kedua anaknya penuh sayang. Kedua tangannya merengkuh kepala sang anak yang kemudian ia kecup keningnya.
“Oke. Hari ini kita ke rumah Nenek!” Giani berucap ceria, kembali menjadi pembohong jitu karena sebenarnya, dirinya masih tidak baik-baik saja. Demi masa depan lebih baik, Giani berencana menitipkan kedua anaknya pada Ina sang bibi, selaku satu-satunya keluarga yang Giani miliki.
Semuanya terasa pelik terlebih setelah Giani berbincang dengan perempuan yang menjawab teleponnya terhadap Adi, belum ada kabar lanjutan. Ponsel milik Giani yang layarnya menjadi retak parah, sama sekali tidak dihiasi pesan apalagi telepon dari Adi. Baik itu dari nomor Adi yang Giani miliki, atau nomor baru yang mengaku sebagai Adi. Padahal meski ulah Giani membanting ponsel membuat layar ponselnya retak parah, sederet pesan sekaligus telepon masuk dari nomor lain masih meramaikan ponsel tersebut. Dan dengan kata lain, memang Adi yang tidak menghubungi Giani.
Hari ini, Giani mendapatkan panggilan wawancara kerja. Itu kenapa, ia sengaja mendandani Gio dan Gia sebelum ia mendagangkan gorengannya. Giani sengaja makin bekerja keras. Giani yakin, makin banyak dirinya bekerja, makin banyak juga penghasilan yang Giani dapatkan untuk kelanjutan keluarga mereka.
Giani tidak mau berharap pada Adi karena uang dari Adi hanya cukup untuk membayar sewa kontrakan selain untuk membiayai sebagian kecil kebutuhan Gio dan Gia. Parahnya, untuk bulan lalu, selain Adi yang mendadak menghilang, Adi juga absen memberikan nafkah pada Gio dan Gia. Sungguh tidak ada uang masuk dari Adi ke ATM Giani. Beruntung, kesibukan Giani dalam berjualan gorengan membuatnya memiliki tabungan dan bisa Giani gunakan untuk membayar biaya sewa kontrakan.
Setelah gorengan ludes terjual, tujuan Giani tak lain kediaman Ina sang bibi. Giani memboyong anak-anaknya melalui ojek online yang ia pesan.
“Sudah lama, yah, Mah, kita enggak motoran bareng Papah.” Gio yang duduk di tengah dan tidak sampai digendong layaknya Gia, sungguh rindu pada sang papah. “Kangen Papah ....”
Giani yang hanya diam meski Gio terus menanyakan kabar Adi, sudah berkaca-kaca. Hampir lima tahun tinggal bersama dan kamu begitu sibuk bekerja dengan gaji yang hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari, bahkan aku harus memutar otak agar uang itu tidak kurang apalagi membuatku terpaksa hutang. Salah enggak sih, kalau aku mikir, jangan-jangan sebagian uangmu yang enggak buat kami, justru buat yang lain? Buktinya secepat ini kamu melupakan kami, melupakan Gio dan Gia? Lalu, buat apa kamu ingin punya banyak anak kalau dua saja, kamu enggak becus urus? Atau jangan-jangan, kamu sengaja menuntut banyak anak padaku agar kamu bisa cerai dari aku? Karena kamu sudah bosan? Sepanjang perjalanan, Giani terus meratapi nasibnya. Ia sampai berlinang air mata karenanya.
Sudah, Gi. Adi sudah bahagia jadi kamu sama anak-anakmu juga harus bisa melupakan Adi. Sudah, enggak perlu berharap lagi pada Adi. Percaya deh, Tuhan pasti akan kasih kalian rezeki tanpa harus membuat kalian berharap apalagi mengemis pada Adi. Hati kecil Giani menasehati. Segera Giani menyeka air matanya menggunakan punggung tangan kanannya.
Tiba-tiba Giani menemukan ide yang boleh dibilang gila. Mengenai Adi dan anak-anak mereka. Karena andai saja Adi tetap tidak peduli, lebih baik Giani mengatakan pada anak-anak mereka bahwa Adi sudah mati!
****
Giani memasuki pelataran sebuah gedung cukup megah di tengah terik mentari yang membuat tubuhnya kuyup keringat. Tepat pukul setengah sebelas pagi tapi hari ini suasananya benar-benar panas. Setelah mengarungi perjalanan selama satu jam lebih dari kediaman Ina menggunakan ojek, setelah Giani juga harus susah payah merayu Gio dan Gia agar keduanya mau dititipkan pada Ina, kini Giani akan sangat berjuang, bekerja keras agar bisa lulus wawancara dan membuatnya mendapatkan pekerjaan tetap.
Dalam agenda wawancara yang Giani jalani, tak ada perlakuan istimewa karena Giani menjalani wawancara layaknya pelamar kerjaan lainnya. Hanya saja, sosok pria yang memimpin jalannya wawancara di ruang tertutup yang Giani masuki, membuat Giani terdiam menerka-nerka.
Mirip Rarendra, pikir Giani meski jika dilihat dari penampilan pria yang duduk di kursi di hadapannya, harusnya itu bukan Rarendra. Apalagi yang Giani tahu, Rarendra tipikal yang sangat menyukai kebersihan sekaligus kerapihan. Jangankan rambut gondrong, kumis tipis saja tidak pernah Rarendra biarkan merusaak penampilan. Namun kini, pria di hadapan Giani sungguh tidak menjaga penampilan. Rambut gondrong dikuncir kuda, wajah kusam berberewok bahkan berkumis tebal hingga tampilan pria tersebut terlihat garang.
Namun kalau dilihat-lihat, sepintas memang mirip Rendra. Eh, ini kan, dia orang yang beberapa hari lalu pulpennya jatuh! Giani teringat agenda pertemuannya dengan sosok di hadapannya, beberapa hari lalu.
Sadar Giani memperhatikannya dengan berlebihan, Rarendra berdeham kemudian mengetukkan setumpuk dokumen yang ia kendalikan menggunakan kedua tangan, pada meja di hadapannya.
“Eh?” Giani refleks berseru tak percaya, sesaat setelah Rarendra berdeham. Kedua tangannya refleks menekap mulut. Giani makin yakin bahwa pria di hadapannya memang Rarendra.
Rarendra menyisihkan setumpuk dokumen tadi ke sisi kanan tangannya. Ia menghela napas dalam kemudian melepas kacamata beningnya sambil terus menatap Giani. Wanita di hadapannya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Rarendra yakin, kenyataan tersebut terjadi karena Giani sudah mengenalinya.
“Kalau kamu kerja, yang urus anak-anak kamu siapa?” ucap Rarendra dengan suara tertata sarat perhatian.
Benar-benar tidak ada yang berubah dari seorang Rarendra meski penampilannya membuat pria itu sulit dikenali.
“Aku tidak bisa menerima kamu apalagi kamu tahu bagaimana sifat suami kamu. Jangankan padaku yang sudah telanjur kalian cap bobbrok, pada Sasmita saja, suami kamu tidak pernah mau menerima bantuan.” Rarendra masih menatap Giani sarat pengertian.
Giani yang masih menekap mulutnya, buru-buru menggeleng. “Aku sedang sangat butuh pekerjaan!”
Rarendra, ya Tuhan ... Rarendra jadi begini. Rarendra pasti sengaja menghukum dirinya setelah apa yang terjadi padanya bersama Sasmita dan juga Suci! pikir Giani yang menjadi berlinang air mata. Apa yang terjadi pada Rarendra menegaskan betapa pria itu menyesal telah menyia-nyiakan Sasmita. Kontras dengan Adi yang justru langsung memiliki pasangan lagi dan lupa pada anak-anaknya!
Dengan gaya yang masih tenang, Rarendra yang masih menatap Giani, menggeleng pelan. “Lebih baik sekarang kamu pulang. Urus anak-anak kamu dan bahagiakan mereka. Enggak semua orang bisa memiliki anak sehat seperti kamu. Kamu benar-benar harus menjaga mereka, Gi. Sudah sana pulang, biar aku mewawancarai pekerja lain.”
“Ren, please! Aku beneran sedang sangat butuh pekerjaan. Aku butuh pekerjaan untuk anak-anakku!” Sadar Rarendra akan menyela selain pria itu yang masih sangat meragukannya, Giani sengaja berkata lebih tegas, “Aku sudah bercerai. Aku dan Adi sudah tidak sama-sama lagi! Aku harus bekerja agar anak-anakku tetap bisa makan. Agar anak-anakku bisa sekolah dan memiliki kehidupan layak.” Giani tak kuasa mengontrol emosinya. Emosi yang membuatnya berlinang air mata. Bahkan tanpa Giani sadari, dirinya telah membagikan kisahnya pada Rarendra. Rarendra yang langsung menatapnya iba.
Giani memalingkan wajah, menepis tatapan iba Rarendra sambil menyeka cepat air matanya. Ia berdeham sesaat sebelum akhirnya ia berkata, “Tolong wawancara saya karena saya sangat ingin bekerja. Saya sangat butuh pekerjaan.”
“Apakah Adi sudah mati? Kenapa dia membiarkan kalian berjuang sendiri?” Rarendra menatap heran Giani.
Giani refleks menelan salivanya kemudian menghela napas secepatnya. “Dia dan kamu sama-sama setresnya.”
“Jadi dia benar-benar belum mati?” tanya Rarendra lagi.
Pertanyaan tersebut membuat Giani jengkel. “Aku ke sini karena aku harus wawancara, Ren!” omelnya.
Rarendra yang masih menatap Giani mengangguk paham. “Ya, ini pun bagian dari wawancara.” Ia bertutur yakin, tapi Giani yang ia maksud menjadi terlihat kebingungan.
“Apakah nomor ponselnya masih sama?” lanjut Rarendra.
Giani berdeham, merasa keberatan dengan pertanyaan yang Rarendra berikan. Ia melirik sinis pria tersebut yang masih menatapnya dengan sangat serius. “Ini beneran bagian dari wawancara?” ucapnya memastikan.
Rarendra langsung mengangguk sambil terus menatap lurus kedua manik mata Giani.
“Aku rasa dia sudah menikah lagi bahkan mungkin sebelum kami bercerai. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa dia sama setresnya dengan kamu?” cibir Giani sambil menatap sengit Rarendra.
Rarendra menjadi menunduk dalam. Dulu aku juga begini. Benar-benar memalukan. Aku meninggalkan istri dan calon anak kami demi wanita yang hanya memperbudakku, sesalnya dalam hati.
****
Sekitar pukul dua sore, ojek yang membawa Giani menepi di gang menuju kontrakan Ina. Giani dengan segala ketegarannya melangkah tegas sekalipun rasa lelah telah bergabung dengan kerapuhan yang membuatnya tidak baik-baik saja setelah perceraiannya dengan Adi.
“Assalamualaikum? Gio, Gia, Mamah pulang.” Giani mengetuk pintu dan kembali ceria, kenyataan yang akan selalu Giani lakukan pada anak-anaknya meski karena kenyataan tersebut pula, dirinya menjadi pembohong jitu.
Sekitar dua menit kemudian, setelah sampai membuat Giani was-was karena tak kunjung mendapat balasan, akhirnya Ina membukakan pintu. Namun, tampak Ina yang judes dan seperti sedang sangat marah, membuat firasat Giani menjadi buruk.
“Bi, anak-anak, sudah makan, kan?” Giani kebingungan karena bukannya menjawab apalagi mengorbol untuk sekadar basa-basi, Ina langsung masuk dan meninggalkannya begitu saja.
Bergegas Giani menutup pintu dan sengaja menguncinya. Giani sungguh takut Gio dan Gia kenapa-kenapa. “Gio, Gia, Mamah pulang.” Gio dan Gia yang ada di kamar belakang, tetap bungkam sekalipun mereka sudah menatap Giani. Keduanya tetap duduk diam bahkan sekadar menatap Giani saja terlihat takut.
“Kalian kenapa?” Giani menurunkan tas hitam dari pundak kanannya. Ia mendekati kedua anaknya yang duduk di tikar karakter. Tampak dua ransel keduanya yang masih berjejer di sebelah bantal. Giani berpikir, mungkin keduanya baru saja bangun tidur hingga selain keduanya tetap diam kebingungan, mata keduanya juga terbilang sembam.
“Sini, aduh ... sini, Mamah peluk, Sayang.” Giani baru saja memeluk Gia dan Gio secara bersamaan, tapi keduanya langsung menjengit seperti sangat terkejut. Giani yang awalnya memejamkan mata refleks membuka mata, menatap bingung Gia dan Gio silih berganti.
Gio dan Gia kompak menunduk dengan kedua tangan membekap mulut.
“Kami enggak nangis. Kami janji kami enggak akan nakal. Kami janji kami enggak akan ngadu. Jangan pukul kami. Jangan pukul kami, takut ....”
Berderai air mata dan terlihat sangat ketakutan, Gio menuntun Gia menjauhi Giani. Kenyataan yang teramat menyakitkan bagi Giani. Ada apa? Kenapa anak-anaknya berkata seperti itu, dan kenapa Gio seolah ingin membawa pergi Gia demi melindungi bocah itu meski tak lama setelah itu, tangis Gia pecah.
“Mamah, syakit!“
Tangis Gia pecah, tangannya terulur dan ketika Giani memastikan, tangan mungil berkulit putih suusu itu sudah biru seperti bekas hantaman sangat keras.
Merasa hancur, Giani yang berderai air mata langsung mengecek keadaan anak-anaknya. Giani membuka baju anak-anaknya yang seketika membuat hatinya hancur sehancur-hancurnya.
Semuanya lebam, tanpa terkecuali kepala yang menjadi bertekstur lembek hingga ketika Gia dan Gio tersentuh bahkan karena Giani ingin memeluk kedua bocah itu, tangis tak berkesudahan dari keduanya makin pecah.
“Bibi, Gio dan Gia kenapa?!”
Bersambung ....